Lindungi Simbol Negara Berlebihan Ancam Demokrasi Hukum dalam RKUHP

Jakarta, law-justice.co - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menilai pasal penghinaan presiden atau wakilnya, pemerintah, penguasa, dan badan umum yang disebut-sebut akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bertolak belakang dengan misi demokratisasi dan dekolonialisasi hukum pidana.


Menurut Fachrizal, pasal-pasal ini melindungi simbol dan ideologi negara secara berlebihan.

"Mengancamkan pidana yang berat bagi pelanggarnya justru bertolak belakang dengan misi demokratisasi hukum pidana yang diusung RKUHP," ujar Fachrizal dalam keterangannya, dikutip Senin (27/6/2022)

Fachrizal yang tergabung dalam penyelenggara Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 itu mengingatkan semangat dekolonisasi dalam RKUHP tidak bisa dimaknai sebatas penggunaan bahasa Indonesia.

Dekolonialisasi RKUHP mesti mengoreksi sejumlah aturan pidana yang mencerminkan sikap kolonialisme Belanda. Ia mengatakan, selain pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, contoh aturan yang bersifat kolonial yaitu ketentuan soal pidana mati.

Ia berpendapat semestinya pemerintah dan DPR menghapus pidana mati dari sistem hukum nasional.

Menurut Fachrizal, model pidana mati yang diterapkan dalam RKUHP belum mewujudkan dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana.

Jika pada akhirnya pemerintah dan DPR tetap menerapkan hukuman mati, RKUHP harus memberikan jaminan masa percobaan selama 10 tahun. Keputusan sanksi tersebut juga tidak boleh diserahkan pada penilaian hakim.

Selain itu, perubahan hukuman mati menjadi pidana seumur hidup juga tidak boleh digantungkan pada kegagalan narapidana mendapatkan grasi.

"Seperti masih diatur dalam Pasal 101 RKUHP," ujar Fachrizal.

Lebih lanjut, kata Fachrizal, para akademisi juga menilai tindakan negara memberlakukan aparatur hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk menangani konflik di masyarakat adat bertentangan dengan kehidupan mereka.

Sebab, tindakan negara mengambil alih penyelesaian kasus tersebut berpeluang mematikan pranata yang selama ini berlangsung di masyarakat adat.

"Skema pengakuan terhadap nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang digunakan untuk menghukum perbuatan seseorang dalam Pasal 2 RKUHP justru kontraproduktif dengan dinamika kehidupan masyarakat adat," tuturnya.

Selain itu, lanjut Fachrizal, akademisi juga menyoroti proses harmonisasi yang belum dilakukan RKUHP dengan hukum pidana yang tersebar di berbagai aturan lainnya.

Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) misalnya, belum dicabut maupun diselaraskan dengan Pasal 439 RKUHP mengenai pidana pencemaran.


Kemudian, RKUHP juga belum merespons delik kekerasan seksual dalam UU Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Pornografi.

"Padahal banyak irisan antara delik-delik tersebut dengan tindak pidana serupa di RKUHP," ujar Fachrizal.

Adapun Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 diselenggarakan oleh 10 perguruan tinggi seperti Universitas Brawijaya, Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, hingga Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa.

Diketahui, saat ini DPR masih menggodok RKUHP. Ada 14 butir perbaikan RKUHP, yang disebut sudah disepakati hasil sosialisasi dengan masyarakat.

Namun, hingga kini draf terbaru RKUHP tak bisa diakses publik. Kemenkumham mengklaim pihaknya masih menggodok RKUHP hasil perbaikan bersama DPR.

RKUHP ditargetkan bakal dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi Undang-undang (UU) sebelum masa reses anggota dewan pada awal Juli 2022.