Biaya Pemilu 2024 Rp110 T, RR: Hasilkan Pemimpin Hebat Atau Boneka?

Jakarta, law-justice.co - Biaya Pemilu Februari 2024 dan Pilkada serentak November 2024 diperkirakan Rp110 triliun.

Dalam kaitan ini, tokoh nasional Rizal Ramli (RR) mempertanyakan: ``Biaya itu sangat besar, apakah pantas ? Apakah akan menghasilan pemimpin pemimpin hebat, atau hanya pemimpin-pemimpin kelas boneka yang hanya bermodalkan pencitraan berbayar via PollsteRp dan MediaRp ?``

Baca juga : Saat Rizal Ramli Pergi di Tengah Pahitnya Kehidupan Ekonomi & Politik

Rizal Ramli sering mengingatkan bahwa, dunia cepat berubah, dan Indonesia tidak akan berjaya jika mengandalkan Pemimpin Boneka. "Pemimpin boneka tidak akan mampu mengadapi tantangan-tantangan geopolitik dan ekonomi yang semakin kompleks tersebut," kata RR

Menurut begawan ekonomi Dr Rizal Ramli, dalam dunia yang cepat berubah tersebut hanya segelintir negara yang bisa bertahan.

Baca juga : Hariman Siregar Beberkan Pesan Terakhir Rizal Ramli Sebelum Wafat

Negara yang bisa bertahan dan berjaya yakni memiliki ketahanan pangan, kedaulatan energi dan teknologi, dan cadangan devisa kuat.

Seperti diketahui, Pemilu pada 14 Februari 2024 dan Pilkada serentak November 2024 diperkirakan butuh anggaran sampai Rp110,4 triliun, untuk KPU Rp 76,6 triliun dan Bawaslu Rp33,8 triliun. Apa yang disampaikan itu adalah lampu hijau terutama bagi pemerintah untuk bersama2 DPR menyetujui anggaran bagi Pemilu 2024.

Baca juga : Kenangan UAS soal Rizal Ramli: Berani Ungkap Kebenaran Walau Pahit

Dalam hal ini, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro, Rami Ramdana, dan Drewya Cinantyan menjelaskan bahwa dari berbagai informasi, anggaran pemilu serentak 2024 berada di kisaran Rp86—110 triliun.

Kebutuhan biaya tinggi karena terdapat pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah pada tahun yang sama.Bahana menjelaskan bahwa sebagian besar anggaran pemilu masuk dalam klasifikasi belanja modal (capital expenditure/capex), yakni mencapai 43,17 persen.

Bahana Sekuritas menilai adanya kemungkinan kompresi fiskal untuk alokasi belanja lainnya, termasuk untuk proyek infrastruktur.

Sementara itu, ruang fiskal dalam dua tahun ke depan akan sangat terbatas, setidaknya karena dua faktor. Pertama adalah pemerintah akan mengembalikan batas defisit fiskal ke bawah 3 persen terhadap PDB mulai tahun depan, dan meningkatnya beban utang dari siklus kenaikan suku bunga global.