Heboh Jokowi 3 Periode, Gimana Kalau Amandemen Perpendek Masa Jabatan?

Jakarta, law-justice.co - Pakar hukum Tata Negara, Refly Harun melobtarkan pernyataan menohok soal isu Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjabat tiga periode.

Alih-alih diperpanjang, dia menyarankan sebaiknya amandemen UUD 1945 dilakukan untuk memperpendek masa jabatan Presiden Jokowi.

Baca juga : Pakar UGM Beberkan Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

Refly menegaskan aspirasi memperpanjang masa jabatan presiden jelas melanggar konstitusi. Aspirasi, harusnya berada pada jalur yang sesuai dengan faham konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan.

"Kalah memang aspirasi Presiden Jokowi menghormati konstitusi, maka spanduk seperti ini seharusnya dilarang. Karena jelas-jelas aspirasi amandemen, itu adalah aspirasi sudah ditolak paling tidak oleh PDIP, partainya Pak Jokowi," ujar Refly Harun melalui YouTube pribadinya dikutip pada Sabtu (19/3/2022).

Baca juga : Refly Harun Sebut Putusan PHPU Butuh Moral Hakim Konstitusi

"Aspirasi itu tentu tidak boleh melanggar konstitusi atau aspirasi tersebut jangan menyebabkan konstitusi kemudian dihilangkan wataknya yang asli yaitu konstitusionalisme," tandasnya.

Dia kemudian mengajak kepada masyarakat agar menyampaikan aspirasi lain yang lebih produktif dan tidak menabrak Undang-Undang Dasar 1945.

Baca juga : Refly Harun : Haram MK Tidak Kabulkan Permohonan Amin

Sebab, jika yang terus dituntut adalah perpanjangan masa jabatan, kata Refly, maka orang lain juga berhak untuk memberikan aspirasi agar masa jabatan Jokowi diperpendek.

"Misalnya mudah-mudahan penerus Pak Jokowi bisa melanjutkan pembangunan dan lain sebagainya, karena kalau yang dituntut adalah perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu, tiga periode dan lain sebagainya, maka kita akan muter terus di isu yang tidak produktif ini," kata Refly.

"Kalau kita balik bagaimana, bagaimana kemudian kalau amandemennya itu memperpendek masa jabatan? Kan tidak mungkin diperpendek. Karena itu, baik diperpanjang atau diperpendek melalui perubahan konstitusi, itu harusnya tidak berlaku pada pejabat yang sedang menjabat," lanjutnya.

Karena itu, seharusnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini tidak tepat untuk dilanjutkan. Terutama bila mengacu pada negara-negara lain, pembatasan jabatan presiden hanya untuk dua periode adalah norma yang umum.

Refly lantas mencontohkan Amerika Serikat. Sebagai negara maju, Amerika awalnya tidak menganut pembatasan masa jabatan presiden.

Namun setelah melalui beberapa fase ketatanegaraa, Amerika sadar untuk memberikan batasan, meskipun sang presiden dikenal sangat arif dan bijaksana. Pasalnya, seorang pemimpin berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan jika memerintah terlalu lama.

"Sehebat apapun orang, pasti akan terjadi yang namanya abuse of power," tandas Refly.