Sejarah 1 Desember soal Pengakuan Papua yang Kerap Dicap HUT OPM

Jakarta, law-justice.co - Tanggal 1 Desember tiap tahunnya kerap dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Fakta sejarah menunjukkan hal tersebut tidaklah tepat, meskipun erat kaitannya dengan upaya Papua memerdekakan diri dari Indonesia.

Baca juga : Puluhan Bangunan Mengalami Kerusakan Akibat Gempa Bumi di Garut

Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Markus Haluk menjelaskan, momentum 1 Desember dianggap sebagai Hari Kemerdekaan bagi rakyat Papua sejalan dengan pengakuan kemerdekaan oleh pemerintahan Belanda pada 1961 silam.

"Karena hari itu (1 Desember) merupakan hari di mana Bangsa Papua dikenalkan kepada dunia internasional sebagai bangsa yang siap merdeka. Hal itu yang kemudian terus diperjuangkan untuk diakui selama 60 tahun," ujarnya seperti melansir cnnindonesia.com.

Baca juga : Pengamat Asing Sebut Prabowo Bakal Teruskan Model Ekonomi Jokowi

Markus mengatakan inisiasi kemerdekaan tersebut lahir dari manifesto politik yang dibuat oleh Anggota Komite Nasional yang terdiri dari Nicholaas Jouwe, E.J. Bonay, Nicholaas Tanggahma, dan F. Torey, pada 19 Oktober 1961. Dalam manifesto tersebut, Komite Nasional mendesak pemerintahan Belanda memberikan hak bagi Papua untuk berdiri sendiri sebagai bangsa merdeka.

Selain itu, Komite Nasional juga telah menetapkan bahwasanya nama Papua Barat nantinya akan digunakan setelah mendapatkan kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda. Untuk masyarakatnya sendiri, Komite Nasional menamakannya sebagai Bangsa Papua.

Baca juga : Apakah Prabowo-Megawati akan Singkirkan Jokowi?

Sementara nyanyian religi berjudul "Hai tanahku Papua" dijadikan Komite Nasional sebagai lagu kebangsaan Papua Barat. Kemudian untuk bendera kebangsaan, bakal menggunakan simbol bintang kejora.

"Kami bangsa Papua menuntut untuk mendapatkan tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka di antara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia," demikian bunyi manifesto tersebut.

Seperti Indonesia, Markus mengatakan inisiasi kemerdekaan Papua Barat juga diakui oleh pemerintahan Belanda. Momentum pengakuan tersebut jatuh tepat pada 1 Desember 1961.

Peristiwa itu kemudian dirayakan masyarakat dengan berkumpul di kantor-kantor Hoofd van Plaatselijk (HPB) atau pemerintahan daerah untuk mengibarkan Bendera Papua Barat Bintang Kejora untuk pertama kalinya di samping Bendera Belanda.

Inisiasi kemerdekaan tersebut kemudian direspons cepat oleh Pemerintah Indonesia. Presiden saat itu, Sukarno, langsung mengeluarkan maklumat Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 dengan menugaskan Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima dalam penyerangan terhadap Belanda dan pejuang kemerdekaan Papua Barat.

Markus menuturkan, upaya kemerdekaan Papua Barat kemudian terganjal oleh perjanjian New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Menurutnya, perjanjian tersebut dibuat tanpa pelibatan masyarakat asli Papua.

"Akibatnya PBB--melalui Badan pemerintahan sementara UNTEA--mengambil alih Papua Barat pada 1 Oktober 1962. Kemudian, pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi Papua Barat kepada Indonesia," kata penulis buku Mati atau Hidup, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua.

"Penyerahan administrasi yang seharusnya dilakukan untuk proses kemerdekaan ini yang kemudian disalahartikan Pemerintah Indonesia sebagai pengembalian Papua Barat kepada Indonesia," imbuh Markus.

Sejak saat itu, Markus mengatakan, muncul berbagai gerakan masyarakat yang menyuarakan kemerdekaan dan menolak pengembalian kepada Indonesia. Gerakan-gerakan ini menurutnya, kemudian dicap oleh pemerintah sebagai kelompok OPM.

Melalui pengerahan militer di Bumi Cendrawasih, ia mengatakan pemerintah mulai membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat setempat. Kegiatan protes ataupun menyuarakan pendapat menolak bergabung dengan Indonesia kerap berhadapan dengan intimidasi dan kekerasan.

Bahkan menurut Markus, pada periode itu, tidak jarang kepala suku maupun pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan OPM kemudian ditangkap oleh militer Indonesia. Pemberontakan kemudian muncul pertama kali pada 28 Juli 1965, ditandai dengan penyerangan barak pasukan Indonesia di Batalyon 751 (Brawijaya).

Semenjak saat itu, kata Markus, serangan militer Indonesia kerap mendapatkan perlawanan dari pihak OPM.

"Pemberontakan dilakukan setelah ada pertemuan tokoh-tokoh pada 26 Juli 1965. Pemimpinnya Johan Ariks, Ferry Awom, dan Mandatjan bersaudara (Lodwick dan barren)," jelasnya.

Hal tersebut kemudian berlanjut dan memuncak kala Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 tidak dijalankan dengan sistem satu suara per orang, yang diakui secara internasional. Melainkan menggunakan sistem perwakilan yang berujung pada suara bulat bergabung dengan Indonesia.

Dua tahun berselang, tepatnya pada 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem mantan anggota TNI-AD Kodam Diponegoro memproklamasikan pemerintahan Papua Barat di Markas Victoria (Mavik), Jayapura. Markus mengatakan, susunan kabinet sementara dan konstitusi Sementara Republik Papua Barat juga telah diumumkan dan ditetapkan secara bersamaan.

Sayangnya, terjadi perpecahan di tubuh pemerintahan Rumkorem. Jacob Prai yang sebelumnya mendukung Rumkorem memutuskan untuk hengkang pada Maret 1976, dan mendirikan kelompok OPM baru pada Desember tahun yang sama.

"Di situlah akar perpecahan terjadi, dan akhirnya beberapa kelompok gerilyawan muncul sendiri-sendiri dengan masing-masing pemimpinnya. Jadi peristiwa perayaan 1 Desember itu murni untuk merayakan cikal-bakal negara Papua yang telah diumumkan oleh Belanda. Bukan pada kelompok-kelompok pembebasan," terang Markus.

Disisi lain, Peneliti Kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elizabeth menilai gerakan pro kemerdekaan Papua tidak hadir secara begitu saja di masyarakat.

Menurutnya, hal tersebut merupakan dampak dari perlakuan tidak adil yang diterima masyarakat Papua dari pemerintah Indonesia yang dianggap represif.

"Yang ada di bayangan mereka selama ini, kehadiran negara dalam sosok TNI itu penuh dengan tindakan represif. Itu sebuah akumulasi ingatan, pengalaman. Akar persoalannya di situ," ujarnya.

Dia mengatakan dalam perkembangannya, OPM terdiri dari tiga faksi yang saling berbeda bidang. Pertama, kelompok bersenjata yang masing-masing memiliki kontrol teritori yang berbeda, semisal dataran tinggi dan pantai utara.

Kedua, kelompok yang melakukan demonstrasi dan protes.

"Ketiga, kelompok di luar negeri yang mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang isu Papua dan membangkitkan dukungan internasional untuk kemerdekaan," ujarnya terpisah.

Kendati demikian, ia mengatakan dalam pelaksanaanya tidak ada komando tunggal terhadap kelompok-kelompok tersebut. Adriana menjelaskan, masing-masing memiliki pemimpin dan caranya tersendiri untuk mencapai kemerdekaan bagi Papua.

Namun pada 2014, terbentuk kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang terdiri dari West Papua National Authority (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Kelompok tersebut kemudian mencoba merangkul pelbagai kelompok bersenjata pada 1 Juli 2019.

Ketua ULMWP saat itu, Benny Wenda bersama pimpinan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Parlemen Nasional West Papua (PNWP), dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) mendeklarasikan West Papua Army. Kelompok bersenjata ini terdiri dari Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Propaganda HUT OPM
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan telah terjadi pergeseran makna peringatan 1 Desember bagi masyarakat papua oleh pemerintah. Menurutnya, dalam beberapa kesempatan pemerintah justru membuat narasi momen itu sebagai HUT OPM.

Pemerintah juga beberapa kali kedapatan mengirimkan tambahan aparat bersenjata saban mendekati 1 Desember. Menurutnya, bukan tidak mungkin hal tersebut memang secara sengaja dilakukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia secara luas.

Pasalnya, hal tersebut dapat digunakan sebagai dalih pembenaran terhadap tindakan represif aparat terhadap mereka yang merayakannya. Padahal apapun tujuan perayaan tersebut, sudah semestinya tidak boleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

Tokoh Papua sekaligus Ketua Sinode Gereja Kingmi, pendeta Benny Giay mengaku tidak heran dengan distorsi informasi terkait peringatan 1 Desember bagi masyarakat Papua. Hal tersebut menurutnya, hanyalah bagian kecil dari narasi-narasi propaganda yang kerap dilakukan pemerintah.

"Iya jadi memang sengaja pemerintah menyebarkan narasi bahwa 1 Desember sebagai HUT OPM. Karena bagi kami peringatan 1 Desember jauh lebih besar daripada itu," jelasnya.

Benny mengatakan penyebaran narasi-narasi tersebut memang sengaja dilakukan pemerintah dan sudah terjadi sejak lama, yakni semenjak Mei 1963 pasca-penyerahan administrasi Papua Barat kepada Indonesia.

Ia menuturkan, tepat setelah prosesi tersebut selesai, pemerintah langsung membatasi akses-akses informasi dan sejarah terkait Papua.

Buku-buku, jurnal, dan pelbagai literatur lainnya yang berisikan informasi tentang Papua dimusnahkan dan dilarang peredarannya oleh pemerintah saat itu. Ia menduga, hal itu dilakukan agar publik hanya mengetahui cerita tentang Papua berdasarkan narasi tunggal milik pemerintah.

"Karena kita orang tidak pernah diberikan kesempatan untuk bersuara. Sejarah kita sendiri, kita yang terlibat langsung, tapi justru kita yang dibungkam," ujarnya.