Nyala, Perempuan Disabilitas dalam Bayang-bayang Pelecehan Seksual

Jakarta, law-justice.co - Sudahkah hak kaum perempuan penyandang disabilitas dipenuhi di Indonesia?, Nyala, sebuah film pendek dibuat untuk menyuarakan hak perempuan disabilitas.


Sosok Nyala dalam film pendek ini adalah seorang perempuan penyandang disabilitas mantan atlet lari yang berjuang keluar dari bayang-bayang trauma pelecehan seksual.

Baca juga : Dewas KPK: Nurul Ghufron Urus Pegawai Kementan Dimutasi ke Malang

Ketika sahabat baiknya berada di bawah ancaman pelaku yang sama, dia sadar harus kembali `berlari` untuk menyelamatkannya.

Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) Nurul Saadah Andriani menyampaikan bahwa perempuan penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi menghadapi pelanggaran hak atas otoritas tubuh dan seksualitas.

Baca juga : Kesaksian 4 Menteri di MK Tak Sejalan Narasi Penyalahgunaan Bansos

"Mereka rentan menjadi penyintas kekerasan seksual, kehamilan yang tidak direncanakan, kawin paksa, dan pemakaian kontransepsi, hingga menghadapi risiko kesehatan serius seperti penyakit menular seksual (PMS)," kata Nurul saat launching film Nyala di Purawisata, Sabtu (30/10/2021) sore.


Dia menegaskan kerentanan tersebut juga tak hanya berasal dari keluarga terdekat, tetapi juga dari lingkungan luar. Seperti adanya stigma yang memandang mereka sebagai individu yang aseksual atau bahkan hiperseksual.

Baca juga : Hasto Ungkap Penyalahgunaan Kekuasaan Jokowi, Rakyat Tak Akan Diam

"Sebagai calon pasangan atau orang tua yang tidak layak karena enggak mampu bereproduksi, perempuan penyandang disabilitad juga menjadi kelompok yang relatif tidak tersentuh oleh kebijakan, layanan, media informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi," paparnya.

Nurul berharap semua bentuk tindak kekerasan seksual harus mendapat perhatian serius. Pasalnya, ketika terjadi kasus kekerasan seksual kerap diabaikan ataupun dianggap sepele.

"Kekerasan seksual sering kali hanya dimaknai sebagai pemerkosaan. Padahal kekerasan seksual lainnya yang berupa pelecehan tidak dianggap," ujarnya.

Sehingga tidak mendapatkan perhatian yang serius dalam pencegahan, penananganan, dan pemulihan terhadap korban atau penyintas.


"Mereka kerap mengalami persoalan traumatis dan merasakan dampak yang sangat berarti terhadap kehidupan, penghidupan serta masa depannya. Terutama apabila kekerasan atau pelecehan itu dilakukan oleh orang terdekat atau yang punya relasi kuasa atas ekonomi dan sumber daya lainnya," katanya.

Dijelaskannya, film Nyala diluncurkan atas riset wawancara yang dilakukan pihaknya bersama 10 perempuan penyandang disabilitas di DIY dan Kupang. Riset dilakukan guna memetakan situasi kerentanan perempuan penyandang disabilitas menyangkut otoritas tubuh dan seksualitas.

"Melalui riset tersebut, kami mendapati sebagian besar responden perempuan penyandang disabilitas relatif belum mempunyai otonomi dalam memaknai tubuh dan seksualitas. Mereka juga terkendala dalam memenuhi kebutuhan seksualitas, maupun dari faktor eksternal seperti kebijakan, layanan dan lingkungan sosial budaya yang belum sepenuhnya eksklusif," ucapnya.


Beberapa kebijakan yang direkomendasikan:

1. Perlunya dukungan bagi perempuan penyandang disabilitas agar dapat menentukan pilihan atas tubuh dan seksualitasnya, baik dalam bentuk dulungan kebijakan maupun dukungan dari lingkungan sosial yang lebih inklusif.

2. Perlu adanya peta kebutuhan dukungan bagi perempuan penyandang disabilitas untuk dapat menentukan pilihan secara mandiri atas tubuh dan seksualitasnya, serta kebutuhan perlindungan khusus.

3. Memastikan adanya akses informasi pada perempuan disablitas akan pentingnya kesehatan reproduksi dan seksualitas.

4. Perlu melakukan pendidikan seksualitas khusus pada perempuan penyandang disabilitas sesuai dengan ragam dan kebutuhannya secara intensif.

5. Melibatkan keluarga dan orangtua dengan anak disabilitas dalam kegiatan-kegiatan pendidikan bagi disabilitas.

6. Adanya akses informasi tentang alat kontrasepsi yang dapat diakses dan mudah dipahami oleh perempuan penyandang disabilitas.

7. Adanya layanan yang aksesibel terkait pelayanan /konseling yang berhubungan dengan alat kontrasepsi.

8. Adanya klinik khusus bagi keluarga dengan anak disabilitas.

Peluncuran film pendek tersebut atas dukungan pendanaan dari Women Fund sebagai langkah advokasi SAPDA dalam memperjuangkan hak atas otoritas tubuh dan seksualitas bagi perempuan penyandang disabilitas.