ASEAN Resmi Tak Undang Pimpinan Junta Militer Myanmar untuk KTT

Jakarta, law-justice.co - Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN memutuskan untuk tidak mengundang kepala junta militer Myanmar ke KTT ASEAN yang akan digelar bulan ini.


Keputusan ini sebagai sebuah teguran langka seiring meningkatnya kekhawatiran atas komitmen pemerintah militer untuk rencana meredakan krisis berdarah di negara tersebut.

Baca juga : Prediksi Opta: Timnas Indonesia Lolos 16 Besar, Peluang Juara 0,1%

Para menteri luar negeri ASEAN sepakat pada pertemuan darurat pada Jumat (15/10/2021) malam bahwa kepala junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing tidak akan diundang ke KTT virtual ASEAN pada 26-28 Oktober. Demikian disampaikan pemerintah Brunei yang saat ini mendapat giliran memegang jabatan ketua ASEAN.

Seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (16/10/2021), ASEAN mengambil sikap tegas ini setelah junta menolak permintaan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, Menteri Luar Negeri Kedua Brunei, Erywan Yusof, untuk bertemu dengan semua pihak terkait, yang mencakup pemimpin pemerintah sipil digulingkan, Aung San Suu Kyi.

Baca juga : Ketika Tim dari ASEAN Ternyata Masih Anak Bawang di Piala Asia

ASEAN dalam pernyataannya mencatat "kemajuan yang tidak memadai" dalam pelaksanaan rencana lima poin yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada April lalu, untuk mengakhiri kekacauan menyusul kudeta pada Februari.

"Dan beberapa negara anggota merekomendasikan memberi ruang kepada Myanmar untuk memulihkan urusan dalam negerinya dan kembali normal," demikian pernyataan ASEAN.

Baca juga : Embargo-Seret ke ICC, Ini Hasil KTT Negara Arab-Muslim soal Israel

"Maka diputuskan untuk mengundang perwakilan non-politik dari Myanmar ke KTT, sambil mencatat keberatan dari perwakilan Myanmar," imbuh ASEAN dalam pernyataannya.


Sebelumnya, juru bicara junta militer, Zaw Min Tin, mengatakan utusan ASEAN tidak akan diizinkan bertemu dengan Aung San Suu Kyi karena dia didakwa melakukan kejahatan.

Kementerian Luar Negeri Myanmar menyatakan, Myanmar bersedia mengizinkan utusan tersebut untuk bertemu orang-orang "dari partai politik yang ada secara sah" dan "utusan khusus harus memprioritaskan dalam perjalanan pertama ini untuk bertemu dengan pihak-pihak terkait ini dan membangun kepercayaan dan keyakinan antara utusan khusus dan negara yang bersangkutan."