Solusi Anti Krisis Energi, Jangan Gegabah Pindah ke Energi Nol Emisi?

Jakarta, law-justice.co - Mantan menteri ESDM Arcandra Tahar merekomendasikan agar Indonesia mengutamakan gas sebagai sumber energi di masa transisi menuju target nol emisi (net zero emission/NZE).


Arcandra menjelaskan pemerintah harus memikirkan strategi yang tepat dalam melakukan masa transisi menuju target nol emisi. Hal ini dilakukan agar Indonesia tidak mengalami krisis energi seperti yang terjadi di Eropa saat ini.

Baca juga : Satelit China ini Ungkap Kehancuran Gaza Lampaui Nagasaki

Menurut Arcandra, Indonesia tak bisa langsung lepas dengan energi berbahan bakar fosil untuk menuju target nol emisi.

"Kita semua tidak boleh gegabah, harus cermat, pertimbangkan banyak hal untuk menuju energi bersih. Gunakan energi fosil tapi dampak ke lingkungan tidak begitu besar. Masih energi bersih, apa itu? Gunakan gas yang didahulukan, bukan minyak," ujar Arcandra Diskusi Energi Bersama Arcandra Tahar secara daring, Jumat (15/10/2021).

Baca juga : Wacana Sawah Padi China Satu Juta Hektare di Kalimantan Tak Masuk Akal

Menurutnya, gas merupakan energi fosil, tetapi masih lebih bersih dibandingkan minyak dan batu bara. Dengan demikian, pemerintah bisa mengurangi penggunaan batu bara dan minyak di masa transisi.

Ia menjelaskan produksi gas di Indonesia sekitar 6.000-7.000 standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Dari total tersebut, 70 persen digunakan untuk kebutuhan di dalam negeri dan 30 persen untuk ekspor.

Baca juga : Apriyani/Fadia Mundur di Babak 16 Besar China Masters

Meski masih surplus, tetapi Arcandra mengingatkan agar perusahaan minyak dan gas tetap harus melakukan eksplorasi. Hal ini agar Indonesia tidak kekurangan gas saat memasuki masa transisi.

"Sebelum EBT, ada prediksi tidak Indonesia akan kekurangan gas? Kemungkinan iya kalau tidak lakukan eksplorasi, jadi harus eksplorasi karena Indonesia butuh porsi gas dalam rangka masa transisi," jelas Arcandra.

Sementara, ia menyebut bukan berarti Indonesia tak memerlukan batu bara ke depannya. Menurut dia, tak masalah jika masih ada perusahaan yang berinvestasi di sektor batu bara.

Hal ini seperti di China. Negeri Tirai Bambu itu sudah berkomitmen untuk menuju energi bersih, tetapi masih terus berinvestasi di sektor batu bara. "Kenyataannya di China masih ada di batu bara," imbuh Arcandra.

Diketahui, krisis energi sedang melanda Eropa, China, hingga India. Krisis yang terjadi di Eropa terjadi karena harga gas alam melonjak sejak September 2021. Harga grosir gas alam menyentuh angka termahal di Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, dan Italia.

Hal ini membuat tagihan listrik rumah tangga dan bisnis di Eropa melonjak. Tarif listrik mahal diproyeksi berlangsung selama musim dingin.

Sementara, krisis listrik di China sebenarnya telah terjadi sejak Juni 2021. Pemerintah telah memerintahkan produsen batu bara menggenjot produksi untuk mengatasi krisis tersebut.

Krisis juga melanda India. Central Electricity Authority (CEA) India mengatakan 63 dari 135 pembangkit listrik tenaga batu bara hanya punya pasokan batu bara untuk dua hari.

Batu bara menyumbang hampir 70 persen pembangkit listrik milik pemerintah India. Pemerintah setempat mengatakan situasi ini tak akan nyaman hingga enam bulan ke depan.