Pinjol Ilegal Dikenakan Pasal Pencucian Uang? Ternyata ini Alasannya

Jakarta, law-justice.co - Saat penggerebekan kantor pinjol atau fintech ilegal, polisi menemukan sejumlah barang bukti, di antaranya ribuan kartu SIM, yang digunakan oleh karyawan pinjol ilegal ini untuk meneror korbannya.

Pertanyaannya, bagaimana cara mereka mendapatkan ribuan sim card tersebut? Bagaimana cara mengaktivasinya?. "Ini kamu sedang lakukan pendalaman, kami akan melakukan kerja sama dengan provider untuk mendalami hal tersebut," ujar Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jumat (15/10/2021).

Baca juga : Ini yang Harus Dilakukan saat Sudah Lunasi Pinjol tapi Tetap Diteror

Dari kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti mulai 121 unit modem, 17 unit CPU, 8 unit monitor, 8 unit laptop, 13 unit HP, kemudian 1 box SIM card baru sebanyak kurang lebih masing 22 boks berisi 500 pcs, dan 2 unit flashdisk.

"Dari penindakan ini kami menerapkan Pasal 458 jo Pasal 29 dan atau Pasal 45 Ayat 1, jo Pasal 27 Ayat 1 dan atau Pasal 46 jo Pasal 33 dan Pasal 45 Ayat 4, jo Pasal 27 ayat 4, dan atau Pasal 51 Ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2016 Tentang perubahan UU ITE," kata Helmy.

Baca juga : Berlakukan Diskon Palsu, Ada Jerat Hukum Bagi Pedagang

"Dan kita juga terapkan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Hukumannya hingga 10 tahun penjara," sambungnya.

Penetapan tersangka terhadap 8 orang ini merupakan hasil penggerebekan di 7 kantor pinjol yang ada di Pantai Indah Kapuk (PIK), Penjaringan, Apartemen Taman Anggrek, Apartemen Laguna Pluit, Apartemen Green Bay Pluit, dan 2 lokasi lainnya berada di Cengkareng, Jakarta Barat.

Baca juga : Simak Berapa Lama Utang Pinjol Hangus dengan Sendirinya?

 

Dasar Hukum Pinjol dan Kaitan dengan Tindak Pencucian Uang

 

Dikutip dari Kompas, Pemerintah menambahkan elemen platform teknologi finansial (fintech/tekfin) sebagai pihak pelapor transaksi keuangan yang dianggap mencurigakan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 61/2021 tentang Perubahan Atas PP No 43/2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Aturan perubahan ini telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 April 2021 dan resmi diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia per 14 April 2021.

Pemerintah memahami bahwa berkembangnya layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi, berpotensi digunakan sebagai sarana oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan pencucian uang hasil tindak pidana.

Oleh sebab itu, untuk melindungi para penyelenggara fintech tersebut dari risiko terperangkap ke dalam tindak pidana pencucian uang, pemerintah menambahkan tiga jenis platform ke dalam regulasi ini.

Antara lain, penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis TI atau fintech peer-to-peer (P2P) lending, penyelenggara layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis TI atau fintech equity crowdfunding (ECF), serta platform penyelenggara layanan transaksi keuangan berbasis teknologi informasi.

Tiga jenis fintech ini pun resmi menjadi pihak pelapor yang sebelumnya telah mencakup seluruh penyedia jasa keuangan, mulai dari bank, asuransi, hingga penyedia e-money dan balai lelang.

Pihak pelapor nantinya wajib menyampaikan kepada PPATK atas transaksi yang dilakukan oleh profesi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama pengguna jasa yang diketahui patut diduga menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana atau disebut transaksi mencurigakan.

Antara lain, mengenai pembelian dan penjualan properti; pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya; pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, rekening efek; pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; serta pendirian, pembelian, dan/atau penjualan badan hukum.

Dalam penjelasan atas PP ini, tiga jenis platform fintech ini ikut termasuk karena telah memiliki regulasi dari lembaga pengawas dan pengatur lembaga jasa keuangan.

Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi penting untuk senantiasa melakukan penyempurnaan terhadap upaya mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme berupa penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan penyampaian laporan kepada PPATK dalam hal terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan dari nasabahnya

Adapun, hal ini pun menilik modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang semakin berkembang, termasuk penyalahgunaan atau pemanfaatan profesi advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan sebagai media tindak pidana pencucian uang.

Mitigasi risiko atas penyalahgunaan atau pemanfaatan dimaksud pun telah dilakukan pemerintah melalui kewajiban profesi advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan untuk menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan ke PPATK.

Namun, pelaksanaan penyampaian Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh profesi dimaksud dirasakan belum optimal dikarenakan kriteria transaksi yang dilakukan profesi yang wajib disampaikan ke PPATK, antara lain karena ketentuan sebelumnya memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, dan belum sejalan dengan standar dan konvensi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.