Fahri Hamzah: Pejabat Sekarang Dilihat dari `Isi Tas`, Bukan Kualitas

law-justice.co - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah menyesalkan masih budaya politik uang yang masih mengakar di Indonesia. Pratik biaya politik yang mahal ini menurut dia menjadi bumerang bagi demokrasi.

Sebab, setiap kali para pejabat atau politikus mengikuti pemilihan umum (pemilu), mereka harus mengeluarkan uang dengan jumlah besar agar bisa lolos dari persaingan politik.

Baca juga : Respons PKS soal Ditolak Partai Gelora Masuk Koalisi Prabowo

"Itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi `isi tas` atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana," kata Fahri Hamzah dalam keterangan tertulis, Ahad (5/9/2021).

Mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai tidak mengherankan apabila ketika para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar "balik modal".

Baca juga : Diungkap Mahfudz Siddiq, Gelora Tegas Tolak PKS Gabung Koalisi Prabowo

Menurut dia, hampir tidak ada klaster politik yang tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus terbaru adalah seorang anggota DPR dengan istrinya yang merupakan seorang bupati ditangkap KPK.

Ia menjelaskan, kerusakan sebuah negara demokrasi bisa dilihat setidaknya dari tingkah laku parpolnya terutama yang masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Baca juga : Fahri Hamzah: Keluarnya Putusan MK, Tanda Pilpres 2024 Usai

"Partai politik itu sebenarnya lembaga pemikiran untuk mengintroduksi cara berpikir dalam penyelenggaraan negara, namun sekarang justru menjelma menjadi mesin kekuasaan," jelasnya.

Fahri menekankan bahwa Partai Gelora berusaha untuk memutus "lingkaran setan" tersebut, karena pertarungan politik adalah pertarungan rakyat, bukan pertarungan pribadi atau partai politik.

Lebih lanjut ia menerangkan, negara yang beres sistem politiknya harus bebas korupsi, sehingga sistemnya harus ditata dan dikelola dengan baik, termasuk soal pembiayaan politik.

"Saya juga tidak mau kalau calon anggota legislatif (caleg) dibiayai partai, karena kalau dia bersalah, partai politik akan mengambil kepemilikannya," kata Fahri.

Fahri menilai pembiayaan politik yang mahal sebenarnya bisa disiasati dan ditekan seminimal mungkin dengan berbagai cara, misalnya menggelar pertemuan secara virtual dibandingkan bertemu dengan cara bertatap muka.