Bancakan Dana PEN Kedok Pemulihan BUMN

Menguak Celah Korupsi Dana PEN di Tengah Pandemi

Jakarta, law-justice.co - Sejak pandemi Covid-19, pemerintah menggelontorkan ratusan triliun untuk dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN. PEN diberikan kepada berbagai lembaga perlindungan sosial, Pemda, insentif, UMKM, hingga beberapa BUMN.

Tujuannya, agar penerima PEN bisa memanfaatkan dana tersebut untuk mendongkrak perekonomian mereka yang berdampak langsung pada perekonomian masyarakat di tengah pandemi. Dana PEN dicairkan dalam beberapa bentuk, seperti subsidi bunga untuk UMKM, Penempatan dana untuk perbankan, penjaminan kredit modal kerja, dan Penyertaan modal negara untuk BUMN.

Baca juga : Usai Ramai Keluhan Netizen, Ini 3 Instruksi Sri Mulyani ke Bea Cukai

Program PEN sendiri dianggarkan pada Juni 2020 dengan jumlah total Rp589,65 triliun. Kemudian naik setelah peningkatan kedua menjadi Rp695,2 triliun pada akhir tahun.

Awal 2021, dana PEN dialokasikan oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp356,5 triliun, namun jumlah itu naik secara tajam pada akhir Juli 2020 menjadi Rp744,75 triliun.

Baca juga : Imbas Gempur Gaza, Utang Israel Melesat Jadi Rp697 Triliun

Tahun depan, Kemenkeu telah mengalokasikan dana PEN untuk awal tahun sebesar Rp321,2 triliun.

Dana PEN ini menjadi masalah karena tidak transparan dalam proses pencairannya kepada beberapa lembaga. Yang paling patut disoroti adalah pemberian PEN kepada beberapa BUMN.

Baca juga : Artis Ini Diduga Ikut Terlibat TPPU Rp4,4 T, Sudah Dilaporkan, Tapi...

PEN kepada BUMN diberikan dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN), pembayaran kompensasi, Talangan investasi modal kerja, serta dukungan-dukungan lainnya seperti pelunasan tagihan, loss limit penjaminan, penundaan dividen, penjaminan pemerintah.

Pada 2020, anggaran PEN klaster BUMN mencapai Rp62,22 triliun setelah mengalami beberapa kali kenaikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik kebijakan pemerintah dalam memberikan bantuan PEN kepada BUMN karena dianggap tidak transparan, minim pengawasan publik, dan sangat rawan dikorupsi.

ICW mencatat, sepanjang tahun 2010-2020 sedikitnya terdapat 160 kasus korupsi di tubuh BUMN. Hasil pemantauan ICW ikut menunjukkan, 11 BUMN penerima dana PEN di awal kebijakan itu dikeluarkan memiliki catatan kinerja yang buruk.

Kesebelas perusahaan BUMN yang masuk dalam list ICW adalah:

  1. PT PLN
  2. PT Hutama Karya
  3. PT Garuda Indonesia
  4. PT Kereta Api Indonesia
  5. PT Perkebunan Nusantara
  6. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)
  7. PT Permodalan Nasional Madani (PNM)
  8. PT Krakatau Steel
  9. Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (PERUMNAS)
  10. PT Pertamina
  11. PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) (ITDC)

Menurut ICW, kinerja buruk kesebelasan perusahaan tersebut dikarenakan adanya lonjakan utang yang konsisten selama kurun waktu 2015-2019. Selain itu, ICW juga menemukan kerugian perusahaan BUMN di atas pada kurun waktu 2015 hingga 2019.

 

Riwayat Keuangan yang Buruk


Sejarah perusahaan pelat merah yang terlilit utang kepada negara menjadi alarm bagi sejumlah BUMN yang tengah mengajukan permohonan dana bantuan kepada pemerintah. Persamaan PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Krakatau Steel Tbk adalah kinerja mereka sudah sama-sama terganjal bahkan sebelum pandemi Covid-19. Bahkan kedua emiten pelat merah ini pernah mendapatkan PMN. Namun kinerja perusahaan belum kunjung membaik.

Dalam 4 tahun terakhir, PT Garuda Indonesia Tbk baru sekali mencetak profit, yaitu pada tahun 2019. PT Krakatau Steel Tbk selalu rugi dalam 8 tahun terakhir, kecuali pada kuartal I tahun 2020. Bahkan PT Garuda Indonesia Tbk memiliki utang obligasi dalam dolar sebesar USD 500 juta yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat, sementara perseroan menghadapi kondisi bisnis berat di tengah terpukulnya industri penerbangan.

Tak menutup kemungkinan pemberian dana investasi pemerintah saat ini berujung gagal bayar, dan dikhawatirkan perusahaan kembali meminta konversi utang menjadi ekuitas. Selain itu jangan sampai bantuan ini justru terpakai untuk menambal kerugian yang bukan disebabkan pandemi Covid-19.

Dalam data Pusat Kajian Anggaran DPR RI edisi 2020, disebutkan penyebab PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Krakatau Steel Tbk mendapatkan dana investasi karena kedua BUMN ini merupakan perusahaan terbuka (Tbk) yang sahamnya sebagian dimiliki oleh publik dan sebagian dimiliki  oleh pemerintah.

Saham PT Garuda Indonesia Tbk sebesar 60,58 persen sahamnya dikuasai pemerintah dan sebagian sahamnya dikuasai publik. Begitu Pula, PT Krakatau Steel Tbk yang sudah melantai di bursa efek sejak tahun 2010 dimana 80 persen sahamnya dikuasai oleh pemerintah dan sebagian sahamnya dikuasai publik. Jika kedua perusahaan ini menggunakan skema PMN, maka konsekuensinya perlu ada penambahan persentase saham milik pemerintah yang akan mengurangi persentase saham kepemilikan publik (terdilusi).

Menurut ICW, celah korupsi di program PEN berpotensi terjadi karena kurangnya akuntabilitas. Selama ini, pemerintah hanya menyebut-nyebut besaran angka PEN yang akan digelontorkan untuk BUMN tapi tak dibarengi dengan rincian alokasi.

Pada tahun 2020, misalnya, anggaran PEN klaster BUMN mencapai Rp 62,22 triliun. Jumlah tersebut didapat setelah mengalami kenaikan berkali-kali dengan alasan dan indikator yang tidak diketahui.

"BUMN pun tidak membuat laporan. Andai saja ada laporan ke mana saja anggaran itu, dan bagaimana pencapaiannya, celah korupsi akan lebih sedikit. Nah, tatkala tak ada laporan kepada publik inilah menjadi celah uang-uang PEN dikorupsi," kata peneliti ICW, Egi Primayogha kepada Law-Justice.

Dengan berkaca pada masalah korupsi dan tata kelola buruk yang membuat berbagai BUMN merugi, Egi mengatakan, dana PEN yang terima dikhawatirkan hanya digunakan untuk membayar hutang BUMN penerima yang akan jatuh tempo.

Egi mengatakan sistem pencairan dana PEN untuk BUMN perlu diubah. Ia menyarankan pemerintah agar menyetop dana itu kepada sejumlah BUMN yang bandel karena tidak menerapkan prinsip transparansi dalam pengelolaan anggarannya.

"Ketika dia (perusahaan BUMN) tidak akuntabel dalam mengalokasikan dana PEN, jangan lagi dikucurkan. Karena bagaimanapun itu uang publik dalam jumlah besar dan harus ada pertanggungjawaban," kata Egi.

Menanggapi anggaran PEN yang besar, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance alias Indef, Tauhid Ahmad mengatakan anggaran yang disiapkan untuk pemulihan ekonomi nasional sudah cukup tinggi.

Meski begitu, Tauhid menyebutkan bila implementasi dan efektivitas dalam program PEN menjadi persoalan yang serius karena menggunakan anggaran yang sangat besar.

"Efektivitas jadi masalah. Pengaruhnya gimana, selama masih ketidakpastian, Covid-19 nya tinggi, maka efektivitas semakin rendah. Kalau tidak ada penanganan dari PEN, misal vaksin tidak memadai, maka efektivitas untuk ekonomi akan semakin rendah," kata Tauhid saat dihubungi Law-Justice.

Tauhid menuturkan kalau anggaran besar belum tentu dapat mendorong konsumsi lebih baik selama situasi pandemi masih seperti saat ini.

Hal ini tercitra dari data Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pemasukan rumah tangga, semakin tinggi simpanan di perbankan.

"Yang dapat program PEN tidak hanya orang paling bawah. Semua dapat. Semakin tinggi pemasukan, semakin besar simpanan. Ini akhirnya membuat PEN dari konsumsi tidak begitu efektif," tuturnya.

Dalam Program PEN sasaran dan mekanisme yang paling besar harus memiliki efek pengganda ke konsumsi. Hal tersebut supaya PEN bisa menjadi penggerak ekonomi nasional di tengah kondisi sulit.

"Lepas dari itu kita harus tangani Covid-19 lebih dulu," ujarnya.

Indef mencatat program pemulihan ekonomi nasional tahun 2020 ditutup dengan realisasi sebesar Rp579,78 triliun atau 83,34 persen dari target sebesar Rp695,2 triliun.

Meski program PEN ini sangat besar realisasinya pada triwulan terakhir, tampaknya tidak bisa menjadi pendorong lebih besar pemulihan ekonomi nasional pada triwulan terakhir.

Hal ini dilihat dari beberapa aspek, bantuan sosial yang diberikan yang secara total sebesar Rp220,39 triliun, khususnya melalui program sembako dan non sembako tidak mendorong konsumsi makanan dan minuman tetap terjaga.

"Bahkan konsumsi makanan dan minuman, selain restoran yang sebesar -1,39 persen (yoy) pada triwulan 4. Ketidaktepatan sasaran, mekanisme yang tidak efektif hingga nilai bantuan yang kecil menyebabkan kompleksitas masalah sehingga program ini tidak bisa diharapkan lagi apabila tidak ada perubahan mendasar," pungkasnya.

 

Dipantau DPR

Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI DPR RI), Ahmad Yohan, berpendapat temuan ICW lebih menekankan pada kewaspadaan dan akuntabilitas anggaran PEN pada perusahaan BUMN. Hal ini mengingat kesebelas perusahaan tersebut sebelumnya mempunyai riwayat keuangan yang buruk, bahkan terbukti beberapa kali terjadi korupsi.

Meski demikian, ia mengatakan temuan ICW belum sampai pada pengungkapan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan beberapa perusahaan BUMN. Andaipun ditemukan, kata dia, selagi perkara itu bersifat pidana maka dikembalikan pada ranah hukum.

"Khusus Komisi XI, bekerja pada ranah politik fiskal dengan menekankan efisiensi dan memperkecil ruang inefisien dan potensi kebocoran yang menimbulkan moral hazard," kata Yohan kepada Law-Justice, Kamis (26/8/2021) lalu.

Ia mengatakan dana PEN untuk BUMN bersumber dari APBN atau “keuangan negara yang dipisahkan” kepada perusahaan-perusahaan BUMN sebagai bentuk injeksi fiskal dalam program pemulihan.


Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PAN, Ahmad Yohan (Foto: Instagram @ahmadyohan)


Yohan tak mengungkapkan apa saja yang diketahui komisinya tentang kriteria perusahaan BUMN yang layak mendapatkan anggaran PEN. Ia hanya memastikan Komisi XI tetap melakukan fungsi pengawasan secara rutin dalam rangka mengevaluasi kebijakan APBN yang diberikan kepada BUMN dalam program PEN.

Seturut dengan hal tersebut, Yohan menjelaskan ada dua bentuk dukungan fiskal pada BUMN baik melalui PMN tunai maupun non tunai. PMN tunai dalam bentuk penyertaan modal, adalah sebagai bentuk dukungan fiskal kepada BUMN yang akan melakukan ekspansi usaha.

"Perlu diluruskan kepada masyarakat, terutama civil society seperti ICW, bahwa tidak semua PMN itu on cash, tapi dalam berbagai skema dukungan. Tentu semua bentuk dukungan tersebut mengikuti regulasi korporat," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.

ICW mengatakan anggaran PEN untuk BUMN tidak mendapat pengawasan yang patut. Hanya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku pengawas internal pemerintah yang mendapat kejelasan tugas. Lembaga lembaga lain seperti BPK RI, KPK, Kejaksaan, ataupun DPR RI tidak diketahui secara jelas. Menurut ICW, pengawasan yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut hanya ditekankan pada aspek administrasi.

Adapun Yohan menanggapi, semua BUMN tunduk pada rezim UU perseroan. Ia mengatakan yang mengawasi BUMN adalah pemerintah sendiri selaku komisaris utama dalam setiap RUPS.

"Demikian juga DPR yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan kepada BUMN sesuai UU yang berlaku," kata Yohan.

 

Catatan BPK Soal Dana PEN

Alokasi anggaran PC-PEN tahun 2020 pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BI, OJK, LPS, BUMN, BUMD, dan hibah/sumbangan masyarakat dan dikelola pemerintah adalah sebesar Rp 933,33 triliun. Anggaran tersebut telah direalisasikan sebesar Rp597,06 triliun (64%).

Ikhtisar hasil pemeriksaan atas PC-PEN memuat ringkasan 241 objek pemeriksaan yang terdiri atas 111 hasil pemeriksaan kinerja dan 130 hasil pemeriksaan DTT. Pemeriksaan dilaksanakan terhadap 27 objek pemeriksaan pemerintah pusat, 204 objek pemeriksaan pemerintah daerah (pemda), dan 10 objek pemeriksaan BUMN dan badan lainnya.

Hasil pemeriksaan atas PC-PEN mengungkapkan 2.170 temuan yang memuat 2.843 permasalahan sebesar Rp2,94 triliun. Permasalahan tersebut meliputi 887 kelemahan SPI, 715 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan 1.241 permasalahan 3E.


Rekap catatan BPK terhadap dana PEN.


Selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti ketidakpatuhan tersebut dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah sebesar Rp18,54 miliar. BPK menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya tercapai, karena:

  1. Alokasi anggaran PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta realisasi anggaran PC-PEN belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan.
  2. Pertanggungjawaban dan pelaporan PC-PEN, termasuk pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya efektif.

Misalnya adalah anggaran yang dikucurkan untuk Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dalam laporan BPK, realisasi belanja bantuan bagi pelaku usaha mikro (BPUM) belum dan/atau terlambat disalurkan kepada penerima manfaat per 31 Oktober 2020 sebesar Rp14,88 triliun. Dengan rincian penerima BPUM tidak sesuai dengan kriteria sebagai penerima BPUM sebanyak 418.947 sebesar Rp1,00 triliun.

Penyaluran dana bergulir oleh lembaga mitra sebesar Rp 84,62 miliar kepada 9.336 penerima yang tidak memenuhi kriteria yang diatur dalam surat pemberitahuan persetujuan prinsip. Dana tambahan subsidi bunga/margin kredit usaha rakyat (KUR) pada bank penyalur sebesar Rp132,69 miliar belum disalurkan karena debitur telah melakukan pelunasan pinjaman dan bank penyalur beserta kuasa pengguna anggaran (KPA) belum melakukan identifikasi debitur yang berhak atas dana tersebut.

BPK juga mencatat adanya pelanggaran ketentuan dalam pengelolaan dana PEN di Kementerian Sosial dan Kemenko Bidang Perekonomian. Dengan rincian sebagai berikut:

Kementerian Sosial
Jasa giro pada rekening pemerintah lainnya (RPL) belum seluruhnya disetor ke kas negara sebesar Rp10,16 miliar, serta terdapat penggunaan rekening simpanan sementara yang belum dilaporkan.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Nilai yang dibayarkan kepada platform digital dan lembaga pelatihan tidak didasarkan atas pelatihan yang benar-benar diikuti oleh peserta kartu prakerja yang berdampak pada pencapaian tujuan Program Kartu Prakerja, yaitu terdapat biaya pelatihan yang telah dibayarkan namun pelatihan tersebut tidak diikuti oleh peserta atau status pelatihan tersebut belum selesai sampai dengan posisi 31 Desember 2020 sebesar Rp125,93 miliar.

Sedangkan di lembaga Kementerian Keuangan tercatat pemerintah berpotensi menanggung selisih lebih beban bunga sebesar Rp 13,71 triliun atas jangka waktu program penempatan dana yang tidak selaras dengan jatuh tempo pembiayaannya melalui penerbitan surat berharga negara-non public goods (SBN NPG).

Selain itu, BI berpotensi menanggung kelebihan pembebanan bunga minimal sebesar Rp2,08 triliun atas penerbitan SBN NPG yang tidak didasarkan atas data rencana bisnis bank.

 

KPK Awasi Penggunaan Dana PEN

Sementara itu, terkait pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tindakan evaluasi pada seluruh program pandemi Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Wakil Ketua Umum KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan selama pandemi seluruh kegiatan PEN akan dilakukan evaluasi secara menyeluruh oleh KPK.

"Kami melakukan evaluasi pada seluruh program pandemi Covid-19 dan juga pada PEN melalui tugas pokok pencegahan monitoring dan koordinasi," kata Lili melalui keterangan yang diterima Law-Justice.

Ia mengklaim KPK akan selalu memberikan masukan pada formulasi kebijakan yang tertuang dalam PEN seperti pemberian bantuan sosial, bantuan produktif usaha mikro, bantuan subsidi, kartu prakerja hingga pemberian PEN untuk BUMN.

"Di tengah kondisi sulit, KPK tetap bekerja dengan segala keterbatasannya untuk memberikan kontribusi untuk negara," tuturnya.

Lili juga menegaskan bahwa kerja yang dilakukan KPK dalam usaha menurunkan tingkat korupsi pada program pemerintah tidak hanya fokus pada penindakan.

Menurutnya, KPK juga akan melakukan optimalisasi pada tiga hal yakni pencegahan sistem, mewujudkan integritas, dan juga penindakan.

"Ketiga hal ini punya kekuatan disebut dengan trisula," tegasnya.

Trisula ini merupakan strategi yang terdiri dari kegiatan pencegahan melalui pendidikan antikorupsi yang fokus pada peningkatan integritas penyelenggara negara, ASN dan penegak hukum, politisi maupun para pelaku usaha.

Selain itu, juga meningkatkan peran serta publik untuk berpartisipasi memberantas korupsi. Sehingga, menurut dia, seluruh pihak tidak ingin lagi melakukan korupsi.

"Pencegahan dengan cara memperbaiki sistem pengelolaan administrasi pada semua lembaga negara dan lembaga pemerintahan dalam menuju pengelolaan yang antikorupsi," ujarnya.

"Strategi ini juga mampu membangun sistem yang tidak ramah pada korupsi. Bahkan juga memastikan sistem ini tidak bisa dikorupsi," sambungnya.

Kejaksaan Agung belum menyelidiki temuan ICW yang berpotensi mengarah pada pelanggaran hukum atas penggunaan anggaran PEN. BPK sebelumnya sudah mengeluarkan hasil pemeriksaan atas program Penanganan Covid-19 dan PEN yang mengungkapkan adanya 2.843 permasalahan sebesar Rp2,94 triliun.

Saat dihubungi, Direktur Penyidikan Jaksa Muda Agung Bidang Pidana Khusus, Supardi, mengatakan pihaknya belum bisa memberikan komentar karena masih harus mempelajari laporan BPK dan temuan ICW tersebut. "Haduuuh.... ribuan temuan? belum bisa komentar dong, baca saja belum," ujarnya singkat.

 

Kemenkeu Angkat Bicara

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Keuangan angkat bicara terkait pemberian dana PEN kepada BUMN. Seperti diketahui anggaran PEN klaster BUMN mencapai Rp 62,22 triliun setelah mengalami beberapa kali kenaikan.

Dana tersebut diberikan kepada sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami kesulitan akibat dampak pandemi Covid-19.

Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta mengatakan memastikan bahwa Kemenkeu tetap selektif dalam penyuntikan modal PEN bagi BUMN.

Keputusan Kemenkeu dalam menyuntikan modal PEN bagi BUMN telah dilakukan dengab pertimbangan matang-matang dan betul betul yang terdampak pandemi covid.

"Kita selektif, enggak sembarang kasih. Kita beri yang betul-betul terdampak tapi di sisi lain memiliki kapasitas pemulihan ekonomi. Seperti mempekerjakan orang dan sebagainya. Ini kita kasih juga ke BUMN penyalur kredit," kata Isa saat dihubungi Law-Justice.

Isa menuturkan dengan memberi contoh terkait pemberian PEN pada BUMN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 7,5 triliun kepada PT Hutama Karya (HK).

Menurutnya, bekal yang diberikan pada HK tersebut diberikan untuk mendukung penugasan di bidang infrastruktur kepada BUMN karya tersebut.

"HK ini menyelenggarakan Jalan Tol Trans Sumatera. Enggak ada covid saja tol ini secara hitungan finansial enggak masuk, karena covid trafiknya turun. Ini untuk menjaga keuangan HK agar tolnya tetap lanjut. Padahal sisi lainnya namanya pembangunan tol ini menyerap tenaga kerja yang cukup banyak dan membangun ekonomi lokal," tuturnya.

Selain HK, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) juga mendapatkan PMN Rp 1,5 triliun, pemerintah sebelumnya berpikir bila dampak pandemi kepada BUMN ini bisa diatasi.

Hanya saja melihat peran PNM terhadap permodalan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), maka pemerintah memberikan suntikan modal.

"Kami tahu dia butuh dana lebih besar untuk bisa menambah supply pinjaman ke UMKM sebagaimana kita harapkan agar UMKM enggak mati dan terus survive. Bahkan beberapa yang tadinya (pekerja) formal jadi karyawan, ini terpaksa beralih ke usaha mandiri dan ini perlu kita dukung, makanya kita dukung," ujarnya.

 

Kontribusi Laporan: Januardi Husin, Alfin Pulungan, Ghivary Apriman