Dadang Juliantara:

Demokrasi: Masihkah Ada Harapan? Catatan untuk Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Jika kita melakukan perjalanan waktu, dan berusaha menjadi bagian dari peristiwa persidangan yang mempersiapkan berdirinya negara, tentu akan ada kesempatan untuk lebih mengerti apa sebenarnya yang terkandung dalam teks (hukum) dasar pembentuk negara.

Mengapa dikatakan demikian? Karena ketika kita ada di sana, pada waktu itu, maka sudut pandang yang ada adalah sudut pandang hari itu, suatu sudut pandang yang dipengaruhi oleh keadaan dan suasana batin para peserta persidangan waktu itu. Dari sudut pandang hari itu dan di situ, maka segala yang akan datang, merupakan kemungkinan, dan bukan sebagai suatu kepastian.

Baca juga : Prospek Paslon Menang Perselisihan Hasil Pilpres di MK

Sebaliknya, jika sudut pandang hari ini yang digunakan, maka yang kemarin, dapat relatif lebih mudah untuk dikatakan bahwa hari ini berasal dari kemarin, atau kemarin memberikan sumbangan terbesar bagi pembentukan hari ini. Namun, jika kita ada di hari kemarin, apakah hari itu (kemarin), akan dapat memberikan kepastian bahwa dia bakal menuju keadaan persis sebagai yang hari ini dijumpai?

Apakah cara berpikir demikian itu dimungkinkan? Yakni, suatu cara berpikir yang sepenuhnya mengandaikan adanya kemampuan untuk hadir pada periode sebelum negara terbentuk, atau tepatnya pada momen persiapan pembentukan negara. Apakah tersedia fasilitas yang membuat kita terbebas dari keadaan hari-hari ini? Atau, bagaimana caranya agar kita tidak tergoda untuk menggunakan pandangan hari ini dalam melihat peristiwa yang lalu?

Baca juga : PDIP Sebut Kerusakan Demokrasi Diawali Abuse of Power Presiden Jokowi

Apabila kita memeriksa banyak pikiran yang berlaku saat ini, maka dapat dikatakan bahwa masa lalu, atau peristiwa-peristiwa yang dikatakan berlangsung di masa lalu, tidak dapat dilepaskan dari kerangka masa kini. Masa kini telah membentuk cita rasa makna masa lalu. Tentu hal ini tidak keliru atau dalam batas tertentu dapat dibenarkan, jika diletakkan dalam kerangka pembangunan bangsa. Soalnya, apakah dapat dijamin bahwa pemaknaan atas apa yang dikatakan telah terjadi di masa lalu, benar-benar terbebas dari kepentingan di luar kepentingan bangsa?

Demokrasi, Buah Kemerdekaan.

Baca juga : Indeks Demokrasi Indonesia Merosot Lebih Rendah dari Papua Nugini

Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya Pembukaan), dapat dikatakan merupakan dokumen yang pada dirinya termuat peristiwa-peristiwa, perdebatan pikiran dan harapan akan masa depan. Jika merujuk pada naskah risalah persidangan BPUPK, baik buah karya Prof. Mr. H. Muhammad Yamin (Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, 1959:145-197 – naskah ini disertai Kata Pengantar Presiden Indonesia, dengan tulisan tangan dan ditandatangani, tertanggal 22 April 1959), Sekretariat Negara Republik Indonesia (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 1995:86-160; untuk cetakan 1998, yang dicetak ulang Aliansi Kebangsaan, 2014: 111-191), karya RM. A.B Kusuma (Lahirnya Undang-Undang 1945, Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, 2016: 206-249), maka ada momen yang jarang terungkap dalam perdebatan publik, yakni peristiwa sidang hari pertama dari Persidangan Kedua BPUPK, pada 10 Juli 1945.

Peristiwa penting yang dimaksud adalah laporan Ir. Soekarno, selalu Ketua Panitia Kecil, yang pada kesempatan tersebut, mengungkapkan tiga hal penting, yakni: Pertama, selain dari pada usulan tertulis, yang telah digolongkan tersebut, terdapat usulan lisan, yang arah dasarnya adalah meminta agar Indonesia merdeka selekas-lekasnya. Persidangan BPUPK dianggap terlalu bertele-tele, memakan waktu.

Bahkan ada yang mengatakan, sebagaimana dilaporkan Ir. Soekarno: “Lain iin mengatakan minta Indonesia Merdeka selekas-lekasnya, ialah Badan Penyelidik jangan memakai tempo yang lama sekali untuk menyusun laporan-laporan yang panjang-lebar. Pemerintah Balatentara Dai Nippon mendirikan negara merdeka di Birma, di Philippina dan Indo China dengan tidak makan tempo yang lama” (AB Kusuma, 2016:210). Ada tuntutan agar BPUPK menyegerakan sidang, dan tidak mengikuti prosedur yang ada, sehingga dapat segera diperoleh kemerdekaan.

Kedua, usulan Panitia Kecil kepada Sidang, berupa: 

1. Badan Penyelidik ini menentukan bentuk negara dan menyusun Hukum Dasar Negara.

2 Minta lekas dari Pemerintah Agung di Tokyo pengesahan Hukum Dasar itu dan minta agar dengan selekas-lekasnya diadakan Badan Persiapan Kemerdekaan, yang kewajibannya ialah sekadar menyelenggarakan Negara Indonesia Merdeka di atas Hukum Dasar jang ditentukan oleh Badan Penyelidik, serta melantik pemerintah nasional.

3. Soal tentara kebangsaan dan soal keuangan.

Bagi BPUPK yang telah diatur arah dan tata cara persidangan, tentu usulan (yang juga memuat substansi tuntutan publik kala itu) tersebut, menjadi masalah tersendiri – dipandang sebagai usulan yang menyimpang dari ketentuan yang ada. Jika dilihat dari segi substansi, maka yang diharapkan sebenarnya adalah segera dibentuk pemerintahan baru.

Boleh dikatakan, bahwa kemerdekaan pada dasarnya adalah terbentuknya negara baru. Hukum dasar, kelak disebut sebagai Undang-Undang Dasar, merupakan dasar bagi penyelenggaraan negara, yang secara demikian, terbentuknya hukum dasar, yang kemudian disahkan oleh Pemerintah Agung di Tokyo, kala itu, dipandang sebagai wujud berdirinya negara merdeka. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa semangat untuk segera merdeka, merupakan jiwa dari keseluruhan proses.

Ketiga, sebagai langkah untuk mengakselerasi pembentukan Hukum Dasar, telah berlangsung suatu pertemuan, yang dilukiskan Ir. Soekarno, dalam sidang tersebut (10/7/1945), sebagai: “… Maka di dalam rapat itu, yang dihadiri oleh 38 iin, kami menyatakan dengan tegas bahwa inilah rapat pertemuan antara Panitia Kecil dengan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.” Rapat itu sendiri dikatakan berlangsung pada 22 Juni 1945. Salah satu hasil pokok, yang dilaporkan, adalah naskah “preambule Hukum Dasar”, dan kelak dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Naskah tersebut, yang pada satu sisi dikatakan telah merupakan hasil persetujuan, namun di sisi lain, merupakan langkah yang tidak terpisah dari upaya akselerasi, sehingga BPUPK segera dapat melahirkan Hukum Dasar atau UUD. Secara demikian dapat dikatakan bahwa preambule hukum dasar merupakan sebuah rumusan yang datang dari kehendak merdeka. Dalam penjelasan UUD, dikatakan bahwa hukum dasar merupakan wujud dari pokok pikiran yang terkandung dalam preambule.

Apa arti kesemuanya itu? Bahwa seluruh proses yang berlangsung menjelang 17 Agustus 1945 (bila dilihat dari sini, saat ini), merupakan langkah yang digerakkan oleh kehendak merdeka, untuk menuju kemerdekaan. Hendak dikatakan di sini, bahwa setiap langkah, pada dirinya memuat “kehendak untuk merdeka”, atau langkah tersebut merupakan wujud dari jiwa merdeka.

Jejak ini, dapat ditemukan dalam naskah Pembukaan: “… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, …” Sangat jelas dalam rumusan tersebut bahwa kemerdekaan disusun dalam hukum dasar, yang dengan demikian, boleh dimaknai bahwa pada diri konstitusi, termuat watak kemerdekaan.

Tidak berlebihan jika kedaulatan rakyat (baca: demokrasi), sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan, adalah pula anak kandung dari kemerdekaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa bekerjanya demokrasi, merupakan keharusan konstitusional, sebagai cara untuk: (1) agar kekuasaan negara berjalan persis sebagaimana maksud adanya; dan (2) agar seluruh gerak kekuasaan negara, tidak saja melibatkan rakyat, dalam arti yang sebenar-benarnya, namun juga untuk memastikan dicapainya: “kehidupan kebangsaan yang bebas”. 

Perjalanan Demokrasi.

Apakah yang tertulis, dengan sendirinya menjadi wujud? Apabila kita memandang dari kurun waktu dikala naskah Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD’45) disetujui, yakni pada 18 Agustus 1945, maka nampak (jika dilihat dari kurun waktu saat ini), bahwa seluruh teks tidak dapat bekerja seperti maksud dari rumusannya.

Bahkan, jika dibaca dengan lebih kronologis, telah terdapat kejadian, “unik”, yakni bahwa Presiden dan Wakil Presiden, dipilih di tengah-tengah pembahasan UUD. Setelah Presiden dan Wakil Presiden terpilih, pembahasan UUD dilanjutkan, sampai selesai. Keterangan ini, tentu tidak dimaksudkan untuk membatalkan makna dari rumusan dalam teks, melainkan ingin menunjukkan bahwa jika dilihat dari sudut pandang saat ini, maka proses di masa lalu, seperti suatu gerak lurus yang bersinambungan – yang lalu menjadi penyebab masa kini.

Sebaliknya, jika dilihat dari saat itu, maka yang terdapat adalah ketidakpastian, pada apa yang akan terjadi setelahnya. Sebagai contoh, tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa UUD’45 (yang ditetapkan pada 1945), akan menjadi dasar dari satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949.

Mengapa ketentuan UUD’45, tidak dengan sendirinya menjadi acuan, dan dengan mudah tidak digunakan, diabaikan atau bahkan diubah? Sebelum peristiwa terbentuknya RIS, dimana RI menjadi salah satu negara bagiannya, kita ketahui terjadi dinamika, yang dapat dikatakan membutuhkan ketentuan tersendiri, yang belum termuat dalam konstitusi, seperti misalnya, munculnya maklumat pendirian partai politik, adanya kedudukan perdana menteri, dan beberapa hal lainnya.

Jika mengacu pada uraian Presiden Soekarno dalam buku Sarinah, tampak pula bahwa pada periode tersebut, pandangan terhadap konsep negara dan keberadaannya, dapat dikatakan masih beragam, terutama apabila diletakkan dalam teori perubahan sosial. Ajakan untuk “menggunakan” negara sebagai alat perjuangan, memperlihatkan bahwa pada satu sisi kekuatan-kekuatan sosial-kemasyarakatan belum sepenuhnya menerima negara yang baru berdiri, dan sisi lain, format keterlibatan rakyat, sebagai elemen utama adanya negara, belum jelas wujudnya.

Sejarah melukiskan bahwa periode tersebut, masih memuat ketidakpastian, baik karena kekuatan di dalam belum sepenuhnya terkonsolidasi, sementara kekuatan dari luar masih mengintip untuk melihat kemungkinannya kembali berkuasa atas wilayah Indonesia.

Ulasan ini tidak hendak mengupas lebih jauh tentang dinamika dalam proses pembentukan negara, pada periode awal setelah proklamasi, sebaliknya akan berfokus pada melihat bagaimana kinerja demokrasi, yang dilihat dari sudut posisi dan partisipasi rakyat, sebagai elemen utama dari formasi demokrasi. Proses awal pembentukan negara, memang bukan periode yang mudah.

Jika mengacu pada teks awal Undang-Undang Dasar, khususnya Aturan Peralihan, akan nampak jelas, bahwa dari segi badan-badan negara dan aturan penyelenggaraan, yang berlangsung suatu proses yang sepenuhnya menghadirkan kebaruan, sebaliknya suatu proses yang dalam aturan tersebut dikatakan: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. (pasal II, Aturan Peralihan). Dalam batas tertentu, ketentuan ini, sangat besar kemungkinannya, merupakan derivasi dari kalimat kedua pada teks Proklamasi, “Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Ungkapan tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kekuasaan dipindahkan dari satu pihak ke pihak yang lain. Peristiwa ini, dari sudut pembentukan negara, tentu tidak dapat dibaca sebagai proses kontinu, melainkan proses diskontinu, yakni bahwa negara yang terbentuk bukan merupakan kelanjutan dari yang lalu, melainkan pada keseluruhannya baru dengan dasar Pancasila.

Jika demokrasi, secara prinsipil hendak dikatakan sebagai suatu keterlibatan rakyat, baik dari segi formal maupun substansi, maka periode awal, sejak persiapan kemerdekaan, hingga menjelang pemilu 1955, dapat dikatakan merupakan kurun dimana seluruh proses yang berlangsung, yang apabila dilihat dari sebelum semua kejadian berlangsung, merupakan perkembangan atau gerak sosial-politik, yang ujungnya tidak terprediksi, seperti misalnya (1) setelah berakhirnya persidangan BPUPK dengan seluruh keputusannya, kemudian terjadi peristiwa kekalahanan Jepang dalam perang, yang tidak diusahakannya, sehingga apa yang didisain tidak berjalan sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya; dan yang disinggung di atas, bahwa (2) dalam negara RIS, RI hanya menjadi salah bagiannya.

Tentu banyak peristiwa yang dapat ditampilkan, untuk menunjukkan bahwa kejadian-kejadian berlangsung tidak terduga, dan jika dilihat dari sini, memang nampak tidak linear, dan sejarah menyebutnya sebagai masa perang kemerdekaan. Apabila dilihat dari sudut praktek demokrasi, maka memang tidak tampak kehadiran rakyat, terutama dalam proses pembentukan regulasi dan badan-badan penting, yang dinyatakan ada untuk kepentingan rakyat.

Ketiadaan keterlibatan rakyat dalam pengertian demokrasi, pada periode setelah proklamasi kemerdekaan, memang dapat dijelaskan atau bahkan mungkin dapat dibenarkan adanya, oleh karena keadaan tidak memungkinkan. Situasi darurat, terutama potensi kembalinya kekuatan kolonial, dan atau situasi tanpa kendali, yang dapat memicu “perpecahan” (konflik horizontal), merupakan dasar argumen yang kuat untuk menerima ketiadaan rakyat dalam kerangka demokrasi, namun pada sisi yang lain, mengandalkan kekuatan rakyat dalam rangka perang atau melakukan negosiasi dengan kekuatan yang hendak kembali menjajah.

Dalam batas tertentu, boleh dikatakan bahwa perspektif inilah, yang ikut menentukan bagaimana sejarah menyusun sejumlah peristiwa yang dinyatakan telah terjadi, berikut makna yang menyertainya. Apa yang dinyatakan sebagai kepentingan pembangunan jiwa bangsa dan ketidakcukupan informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi, membuat pertanyaan-pertanyaan kritis dari sudut pandang demokrasi, terasa kurang relevan, namun akan tetap menjadi tantangan keilmuan.

Pada 3 Nopember 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah, berupa anjuran pemerintah tentang pembentukan partai politik. Ada dua anjuran dalam maklumat tersebut, yakni: (1) pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat; (2) pemerintah berharap partai-partai politik itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan Badan-Badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.

Keberadaan maklumat ini, dapat ditapsirkan memuat tiga hal: Pertama, bahwa memang nyata (pada waktu itu), keadaan yang dapat disebut sebagai ketiadaan rakyat (dalam perspektif kedaulatan rakyat, demokrasi); Kedua, bahwa ada keinginan (kuat) untuk membentuk sambungan antara “atas” dan “bawah”, melalui partai politik; dan Ketiga, bahwa partai, seturut teks maklumat tersebut, diadakan oleh pemerintah, dan bukan sebaliknya (: yakni, rakyat melalui partai politik membentuk pemerintah).

Apa yang diharapkan tidak terjadi: pemilu baru berlangsung pada tahun 1955, dengan dua hasil penting, yakni terbentuknya DPR dan Konstituante (yang bertugas dan berwenang membentuk konstitusi). Hal ini, berarti bahwa dalam kurun tersebut, keharusan melibatkan rakyat, atau prinsip dasar demokrasi, dapat tertunda perwujudannya, selama hampir satu dekade.

Undang-Undang Dasar Sementara (1950), pada bagian VI (azas-azas dasar), pada pasal 35, menyebutkan: Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak-pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara jang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

Meskipun dapat dikatakan tertunda, namun kehadiran rumusan tersebut, memperlihatkan suatu kesadaran baru, yang benar-benar menempatkan rakyat, pada posisi utama dan terutama, persis sebagaimana maksud Pembukaan. Posisi rakyat tidak saja menjadi sumber dan sekaligus ujung dari kinerja pemerintah, akan tetapi juga menjadi sumber bagi terbentuknya konstitusi.

Secara demikian, rakyat diakui sebagai pembentuk negara. Bukan pertama adanya rakyat itu sendiri, melainkan kehendak (kemauan) rakyat. Pasal 134 (Bab V), menyatakan: Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini; pasal 135: 1. Konstituante terdiri dari sejumlah anggota yang besarnja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 150.000 jiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunyai seorang wakil; 2. Anggota-anggota Konstituante dipilih oleh warga-negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Sebenarnya, boleh dikatakan, terdapat pertanyaan akademik yang perlu diajukan, yakni mengapa Pemilu 1955, tidak terlalu mengundang ketertarikan suatu studi yang komprehensif, terutama untuk mencari tahu bagaimana masing-masing partai melakukan pengorganisasian dalam pemenangannya. Jumlah kontestan yang tercatat 172 partai politik, dengan empat partai terbesar, tentu merupakan obyek studi yang menarik.

Seperti dimana kekuatan-kekuatan tersebut, manakala negara tengah dipersiapkan, dalam persidangan BPUPK? Apa peran yang dilakukan, terutama jika dilihat tugas pokok partai politik? Apa yang terjadi setelah pemilu? Apakah sambungan partai dengan rakyat masih terjalin, sehingga seluruh gerak partai merupakan manifestasi dari kehendak rakyat? Atau sebaliknya, sebagaimana yang dikatakan Agus Salim, dalam wawancaranya dengan Kahin (1948), sebagaimana diungkapkan Elson (2009: 183) bahwa partai-partai politik “dibuat dari atas ke bawah dan terdiri atas perwira dan bintara tapi tanpa prajurit.

Ketiadaan sambungan nyata, membuat tindakan partai lepas dari kehendak rakyat. Elson (ibid) menampilkan pernyataan Assat yang diambilnya dari koleksi pribadi Kahin, “Ketika rakyat sangat menderita, para pemimpin saling berkelahi mengenai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan nasib rakyat.”

Dalam hal persaingan elit, Rocamora (1991:6), menggambarkan: “Yang terpenting adalah kenyataan bahwa parlemen merupakan hasil pemilihan umum: pada masa itu, para anggotanya kebanyakan berasal dari kalangan politikus ibukota dan para tokoh daerah yang tidak punya pendukung yang jelas.” Lebih jauh, Rocamora menyatakan: “Selama periode sebelum pemilihan umum, partai politik hendaknya tidak dilihat sebagai entitas hirarkis yang berakar mendalam di dalam masyarakat Indonesia, yang dengan buas bertarung satu sama lain atas dasar tuntutan ideologis.”

Analisis ini tersebut tentu tidak dapat menutupi kenyataan bahwa pemilu telah berlangsung, dan kemudian konstituante menjalankan tugasnya, sampai dengan sebelum tindakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diambil. Apa yang dapat dikatakan bahwa: Pertama, konstitusi (sementara) telah dengan sangat jelas menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan; dan Kedua, mewujudkan kedaulatan tersebut dengan suatu pemilu, yang memilih anggota DPR dan konstituante.

Dari segi DPR, berarti ada jaminan bagi disuarakannya apa yang menjadi kebutuhan dan kehendak rakyat. Dan dari segi konstituante, berarti terbuka kemungkinan bagi pembentukan suatu konstitusi baru, yang sama sekali baru, dan atau merupakan perubahan atau perbaikan konsrtitusi yang ada. Lebih jauh lagi, pintu bagi sebuah sejarah baru negara terbuka lebar.

Namun, apakah semua kemungkinan tersebut tersambung dengan rakyat? Apakah harapan rakyat senantiasa menjadi bahan bagi para wakil ketika melakukan sidang dan berdebat? Atau, keduanya tetap merupakan dua dunia yang berbeda, yang terhubung secara formal melalui pasal-pasal dalam ketentuan perundang-undangan? Apa yang terjadi selanjut, sebenarnya dapat menjadi cermin, bagaimana kualitas dari hubungan partai dan rakyat. Apakah keterlibatan rakyat bersifat riil, atau bersifat artisial? Atau, yang telah terjadi adalah proses pengabaian suara rakyat?

Atas apa yang dilukiskan sebagai kegagalan konstituante, telah diambil langkah, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Dekrit Presiden (5/7/1959). Empat hal penting yang telah berlangsung dalam peristiwa tersebut, yakni: Pertama, pembubaran Konstituante, yang artinya dibubarkannya institusi hasil pemilu; Kedua, tidak berlakunya Undang-Undang Dasar yang berlaku; Ketiga, menetapkan Undang-Undang Dasar baru, yang dari segi isi adalah UUD’45; dan Keempat, pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Dari perspektif demokrasi, peristiwa ini, dalam batas tertentu, dapat dianggap sebagai peristiwa dimana suara rakyat, dengan atas nama keadaan yang dinyatakan sebagai keadaan ketatanegaraan yang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur, tidak ditempatkan sebagai hal yang perlu untuk didengarkan lebih dahulu.

Keadaan dimana suara rakyat tidak diperlihatkan duduk sebagai syarat mutlak yang harus ada untuk memberi dasar pengambilan keputusan strategis yang menyangkut jalannya negara, merupakan bagian dari kenyataan sejarah perjalanan demokrasi Indonesia.

Keyakinan diri yang berlimpah pada diri kekuasaan, memang mudah menggoda bekerjanya praktek politik yang mengekspresikan kesan tidak dibutuhkannya (suara) rakyat. Tekad untuk untuk mencapai masyarakat baru dalam waktu segera, seakan memperkenankan tidak digunakan demokrasi sebagaimana maksudnya, baik karena dianggap dapat memberi ruang bagi kekuatan yang kontra langkah akselerasi pembangunan, ataupun dianggap dapat menghambat kecepatan laju pencapaian.

Ada dua karakter demokrasi yang kemudian berkembang, yakni: Pertama, demokrasi yang bekerja setelah Dekrit Presiden, yakni proses politik yang tidak datang dari pemilihan umum, dimana seluruh keputusan ada pada pimpinan, yang dianggap pada diri pimpinan tersebut terdapat amanat penderitaan rakyat dan kehendak sejarah.

Kedua, demokrasi yang datang suatu peralihan kekuasaan pada medio 60an, dan dapat bertahan hingga penghujung abad XX, yakni demokrasi yang menyelenggarakan pemilu, namun proses tersebut sepenuhnya ada dalam kendali, sehingga hasil pemilu telah diketahui, jauh sebelum pemilu diselenggarakan. Pada yang terakhir, pemilu dapat dikatakan seperti suatu mekanisme memperbarui legitimitas dan loyalitas, bukan sebagai sarana rakyat untuk memperjuangkan apa yang menjadi harapannya.

Masih Adakah Harapan?

Jika 17 Agustus 1945, dapat pula dikatakan sebagai hari berlakunya demokrasi, yakni hari dimana rakyat menyatakan dirinya sebagai pemilik kedaulatan, dan karena itu, tidak ada lagi pihak yang berhak mengatur hidup dan kehidupannya tanpa persetujuan dirinya, maka boleh dikatakan bahwa dalam kurun lebih dari setengah abad yang terjadi lebih mencerminkan perjuangan mendapatkannya ketimbang keadaan dimana demokrasi hadir nyata dengan kemampuan mewujudkan tujuan sosial seperti maksud Pembukaan.

Walaupun demokrasi disebut, tetapi dalam berbagai bentuk prakteknya, rakyat tetap tidaklah menjadi subyek, sehingga sulit dicapai proses yang dalam segala sehingga menyelamatkan dan memajukan kehidupan rakyat. Karena itu, sangat wajar jika muncul pertanyaan, apakah masih ada harapan? Gerakan reformasi di penghujung abad XX, sebenarnya telah memberi jawaban penuh bahwa harapan tersebut masih ada dan dapat diandalkan.

Bagi mereka yang bersedia melihat kenyataan sebagaimana adanya, maka akan tampak bahwa setiap apa yang dapat disebut sebagai gerakan rakyat, sesungguhnya adalah produk dari keadaan rakyat itu sendiri. Dan keadaan hidup rakyat, tidak dapat dilepaskan dari tindakan politik atau kebijakan politik. Semakin suatu kebijakan politik bersesuaian persis dengan apa yang menjadi kepentingan rakyat dan terlembagakan, maka demokrasi ada dalam puncak pencapaiannya. Apakah gerakan reformasi tiba pada titik tersebut?

Adalah benar jika dikatakan bahwa gerakan reformasi telah memberi dasar kuat bagi kembalinya demokrasi, sebagaimana maksud Pembukaan. Pertama, adanya dasar moral dan politik yang kuat bagi berlangsungnya perubahan, sekurangnya dengan arah sebagaimana termuat dalam enam agenda reformasi. Kedua, telah berlangsungnya perubahan UUD, dimana ketentuan mendasar, seperti hak asasi manusia, hingga pembatasan masa jabatan presiden, dimuat dan dapat merupakan limitasi bagi kecenderungan akumulasi kekuasaan yang menghambat pertumbuhan demokrasi.

Ketiga, berlangsungnya perubahan formasi politik, yang ditandai dengan munculnya kekuatan-kekuatan politik baru, dan pada sisi yang lain, ruang publik makin dimungkinkan perdebatan dan atau kritik, yang difasilitasi oleh kebebasan pers. Tiga hal ini, merupakan sebagian dari ketersediaan ruang kesempatan bagi bekerjanya demokrasi, dan kemudian pelembagaan atasnya. Namun, praktek demokrasi tidak didasarkan pada regulasi, justru sebaliknya.

Perbaikan keadaan hidup rakyat, hanya akan dapat diraih, jika diusahakan. Ruang kesempatan saja tidak cukup, apabila upaya sengaja tidak diselenggarakan. Lebih jika ruang kesempatan makin mengecil seiring dengan apa yang ingin dibatalkan oleh gerakan reformasi: akumulasi kekuasaan.

Desmond J. Mahesa (selanjutnya Desmond), sebagai anggota DPR RI, yang adalah juga bagian dari gerakan reformasi, tidak bisa menyembunyikan kecemasannya atas apa yang tengah terjadi atau apa yang dianggapnya tengah terjadi. Mungkin, jika masih dalam posisinya yang lama, sebagai aktivis, maka yang akan dilaporkannya adalah keadaan hidup rakyat dan sebab-sebab yang membentuknya.

Kini dalam posisinya sebagai anggota parlemen, tentu tidak mungkin lagi blusukan dari satu kampung ke kampung lainnya, atau dari satu kasus ke kasus yang lainnya, yang dilakukan adalah memeriksa dari satu kebijakan ke kebijakan lainnya, atau dari satu tindakan politik ke tindakan politik yang lainnya. Apakah laporan Desmond merupakan kritik (oposisi), atau sebenarnya adalah ekspresi dari rasa ikut bertanggungjawab atas agenda reformasi, yang dia merasa menjadi bagian daripadanya.

Epilog ini, tentu tidak akan mengulas hal tersebut. Apa yang hendak dilihat secara lebih seksama adalah apa yang ingin disebut disini sebagai arah kecemasan. Apa sebenarnya yang dilihat oleh Desmond dalam kedudukannya sebagai anggota parlemen? Dan apakah Desmond cukup kesanggupan untuk melakukan sesuatu, agar yang tidak diinginkan, tidak dapat terjadi, dan sebaliknya, yang menjadi cita-cita dapat bergerak mewujud secara gemilang.

Judul buku yang dipilih oleh Desmond, mungkin boleh ditafsirkan sebagai ekspresi langsung, tanpa tedeng aling-aling, atas apa yang disaksikannya. Jika praktek demokrasi ideal (sebagaimana maksud Pembukaan), ditandai dengan: (1) terakumulasinya kekuasaan di tangan rakyat, dan dijalankan sepenuhnya seperti keinginan rakyat, serta tidak ada yang berlawanan dengan kepentingan rakyat; (2) selalu tersedia kekuatan penyeimbang, sedemikian sehingga setidak kecenderungan menyimpang dari kehendak rakyat, dengan sendirinya akan mendapatkan petunjuk yang dibutuhkannya, untuk kembali setia kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara; dan (3) hadirnya penyelenggaraan politik dan ekonomi (pembangunan) dan hukum, yang sepenuhnya melayani kepentingan rakyat; maka dengan sendirinya, potensi batalnya demokrasi, akan makin berkembang menjadi riil, apabila yang berlangsung berkebalikan dengan tiga indikator tersebut.

Dengan perspektif ini, himpunan tulisan, atau laporan Desmond, pada dasarnya adalah upaya sadar, dalam keterbatasan posisinya, untuk memberi tanda, layaknya hakim garis dalam pertandingan sepakbola, agar tidak terjadi pelanggaran yang membuat permainan bukan saja tidak bermutu, melainkan berlawan dengan tujuan adanya.

Pertama, tentang apa yang dapat dinyatakan sebagai gerak kebalikan dari apa yang seharusnya. Sejarah telah memberi kompas, bahwa proklamasi hanya dimungkinkan ketika kekuasaan ada di tangan rakyat. Pembukaan dengan jelas menyatakan: “… maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.” Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, mengumumkan sikap bangsa, atas nama bangsa, maka pada 18 Agustus 1945, dalam Pembukaan, rakyat menyatakan kemerdekaan.

Artinya, arah akumulasi kekuasaan hanya dimungkinkan jika berarah ke rakyat. Setiap upaya mengadakan gerak yang berkebalikan, akan mendapatkan koreksi sejarah, dan karena itu, Desmond merasa perlu “mengingatkan”. Pada bagian pertama, Desmond seperti sengaja menempatkan pandangannya tentang pentingnya memberi tempat bagi kritik, karena hanya dengan itu, kekuasaan akan terhindari dari koreksi yang dilakukan oleh sejarah.

Pada sisi yang lain, ketika Desmond menyinggung penundaan Revisi UU ITE, maka tampak itikadnya untuk menjaga jangan sampai yang tidak ideal bagi demokrasi terwujud, karena aturan yang tidak ideal bagi demokrasi, adalah pintu lebar bagi matinya demokrasi. Pun hal terkait dengan realisasi cita-cita reformasi, yang jika tidak kunjung diwujudkan, dan bahkan dikhianati, maka tidak mungkin demokrasi hidup dan menghidupi republik. Bagi Desmond, pemerintahan yang ideal, adalah mereka yang meninggalkan warisan demokrasi yang terlembaga, dan hal itu, hanya dimungkinkan jika rakyat tetap ada dalam kedudukan utamanya.

Kedua, tentang bagaimana kinerja pembangunan, terutama dalam menghadapi situasi yang tidak terduga, dan cenderung mengantar pada situasi darurat, seperti Pandemi Global COVID-19 (Pandemi). Bagi Desmond, dalam situasi tersebut, kekuasaan hendaknya pulang kepada hukum tertinggi, yakni keselamatan rakyat, yang pada gilirannya akan berarti pula keselamatan negara.

Kecenderungan gerak pembangunan yang bimbang, antara kesehatan dan ekonomi, tentu akan membuat langkah cenderung tidak konsisten. Barangkali karena itu, Desmond memerlukan menaruh ulasan tentang konsistensi hukum protokol kesehatan, ada di bagian muka dari bagian kedua. Ketiadaan ketegasan, mungkin memang bukan perkara teknis, tetapi juga terkait dengan pilihan orientasi pembangunan.

Dan oleh karena itulah, Desmond seperti menghindari debat teori, melainkan langsung menunjuk kasus-kasus yang berlangsung di bawah, seperti nasib petani, korupsi dana bansos, hingga sikap warga terhadap vaksinasi. Laporan Desmond terkait Pandemi, dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya bersama, agar segera terbit langkah jelas, yang mampu menyatukan warga dalam satu kesatuan langkah, karena hanya dengan itu Pandemi dapat diselesaikan, dan rakyat dapat segera keluar dari situasi yang mengancam keselamatannya. 

Ketiga, tentang kualitas penyelenggara negara, khususnya di lapangan hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa keseluruhan kinerja pembangunan (demokrasi), akan bergantung kepada kualitas penyelenggara. Perhatian Desmond pada Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) yang adalah anak kandung dari reformasi, dan kepolisian, memperlihatkan bahwa memang potensi bagi tidak diselenggarakannya demokrasi (demi kepentingan mewujudkan tujuan sosial), bergantung pada kinerja hukum.

Revisi UU KPK, penyelesaian kasus hukum yang dapat melukasi rasa keadilan masyarakat, dan kejadian lain, memperlihatkan keadaan yang tidak cenderung memperkuat langkah penyelenggaraan demokrasi, malah sebaliknya. Demikian halnya ketika terbuka peluang untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, sesungguhnya tidak memberi tanda pada kesungguhan untuk memastikan bekerjanya demokrasi, justru sebaliknya. Laporan Desmond, dalam hal ini, tidak sekedar sebagai gambar atas apa yang terjadi, melainkan juga titik-titik krusial yang penting untuk diperbaiki. 

Di luar ketiga hal tersebut, demokrasi sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan, merupakan demokrasi yang berwatak emansipasi. Oleh sebab itu, penyelenggaraan ketiga indicator di atas, akan persis sebagaimana momen yang menghadirkannya, jika dan hanya jika, penyelenggaraan demokrasi dapat mewujudkan tujuan sosial yang paling tinggi, yakni menciptakan kehidupan kebangsaan yang bebas.

Demokrasi tidak hanya tentang kebebasan politik, tidak hanya terkait dengan ekonomi dan budaya, melainkan keseluruhannya. Ketiga hal tersebut, merupakan petunjuk dasar tentang keberadaan dan praktek yang dibutuhkan, untuk memperlihatkan adanya. Namun, seluruh keberadaan tersebut haruslah setia kepada tujuan dasar adanya, yakni kemerdekaan.

Kita boleh menduga, bahwa laporan Desmond sesungguhnya bergerak ke arah sana, bahwa dengan adanya kesegeraan melakukan koreksi terhadap apa yang tengah berlangsung, akan sama artinya dengan membuka jalan lebar bagi demokrasi untuk menjalankan tugas sejarahnya. Apa yang terjadi bila koreksi tidak segera dilakukan? Kita hendak mengatakan, berdasarkan laporan Desmond, bahwa demokrasi masih punya harapan ketika ada kesediaan untuk bersegera dan sungguh-sungguh melakukan koreksi, dan membiarkan demokrasi mencapai tugas sejarahnya.

Kita yakin bangsa Indonesia mempunyai kemampuan untuk senantiasa belajar dari kesalahan, dan juga belajar dari apa yang telah dicapainya, sehingga dari waktu ke waktu terus tumbuh, bergerak sengaja mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Selamat untuk Desmond.