Gawat! Presiden Baru Iran Langsung Bicara Soal Kesepakatan Nuklir

Jakarta, law-justice.co - Setelah terpilih, Presiden baru Iran Ebrahim Raisi langsung membahas soal nuklir. Dia menyambut baik negosiasi dengan kekuatan dunia yang bertujuan menghidupkan kembali perjanjian nuklir tahun 2015. Namun, Raisi menyatakan, mereka harus menjamin kepentingan-kepentingan nasional Iran.

Dalam konferensi pers pertamanya pada Senin (21/6/2021) sejak kemenangannya dalam pemilihan pada Jumat lalu (18/6/2021), Raisi berjanji tidak akan membiarkan pembicaraan negosiasi di Wina, Austria itu berlangsung berlarut-larut.

Baca juga : Saudi, Mesir, Qatar, Yordania Tolak Usul Iran Embargo Minyak ke Israel

Melansir BBC, Raisi juga bersikeras, program rudal balistik Iran “tidak bisa dinegosiasikan”. Kesepakatan nuklir itu hampir runtuh setelah Amerika Serikat (AS) mengabaikannya dan memberlakukan kembali sanksi tiga tahun lalu.

Raisi, sosok ulama muslim Syiah garis keras yang menjadi kepala kehakiman Iran dan dekat dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, memenangkan pemilihan presiden Iran pada Jumat lalu dengan telak, dengan 62% suara pada putaran pertama.
Namun, jumlah pemilih hanya di bawah 49%, rekor terendah dalam pemilihan presiden di negara itu sejak Revolusi Islam tahun 1979. Pemilihan juga diwarnai oleh seruan boikot dari pihak lawan dan reformis menyusul diskualifikasi beberapa kandidat yang potensial menjadi saingan berat Raisi.

Baca juga : Sambut Kunjungan Raisi, Apa Hasil Kesepakatan Indonesia-Iran?

Pada Senin (21/6/2021), Raisi menggambarkan partisipasi rakyat Iran dalam pemilihan presiden sebagai pesan “persatuan dan kesatuan”, dan tanda bahwa mereka tetap bersetia pada jalan pendiri Republik Islam itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini.

Raisi juga mengatakan, para pemilih telah memberinya mandat untuk “melawan korupsi, kemiskinan dan diskriminasi”, yang ditudingnya gagal dilakukan oleh pendahulunya dari kalangan moderat, Presiden Hassan Rouhani.

Baca juga : Putin dan Ebrahim Raisi Sepakat Bangun Jalur Kereta Api

Pendekatannya pada kebijakan luar negeri, kata Raisi, tak terbatas pada kesepakatan nuklir yang dinegosiasikan oleh Rouhani. Sebelumnya, di bawah Rouhani, Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan balasan pencabutan sanksi terhadap Iran.

Terkait kesepakatan Wina itu, Raisi mengatakan, “Kami tidak akan membiarkan negosiasi ini berjalan berlarut-larut. Negosiasi ini harus membuahkan hasil. (Negosiasi) yang berorientasi pada hasil ini penting bagi kami, dan (negosiasi) ini harus sesuai dengan kepentingan Iran.”

Raisi mendesak AS untuk segera kembali pada kesepakatan itu dan mencabut seluruh sanksi yang telah menghancurkan perekonomian Iran.

Saat ditanya akankah ia menjumpai Presiden AS Joe Biden jika tuntutannya dipenuhi, Raisi menjawab pendek, “Tidak.”

Raisi juga menolak kemungkinan negosiasi terkait program rudal balistik Iran dan kebijakan dalam negerinya, termasuk dukungannya terhadap kelompok-kelompok bersenjata di sejumlah negara. Negara-negara Barat menyerukan agar kebijakan Iran terhadap kelompok-kelompok ini juga menjadi bagian dari kesepakatan baru di Wina.

Pada Minggu (20/6/2021), kepala negosiator perjanjian nuklir Iran Abbas Araqchi menyatakan, para perwakilan kesepakatan di Wina telah mencapai “titik terdekat pada kesepakatan”. Namun, kata Araqchi, menjembatani kesenjangan yang tersisa, “bukan pekerjaan mudah.”

Sementara itu, Perdana Menteri Israel yang baru, Naftali Bennett, memperingatkan negara-negara yang menjadi kekuatan dunia untuk “bangun sebelum berpaling kembali pada kesepakatan nuklir” itu. Raisi, yang terlibat dalam eksekusi massal para tahanan politik di tahun 1988 saat ia menjabat sebagai wakil jaksa Teheran, kata Bennett, “adalah bagian dari rezim algojo yang brutal”.

Raisi sendiri, saat ditanya tentang catatan latar belakangnya terhadap penegakan hak asasi manusia pada Senin (21/6/2021), menjawab, “Saya bangga telah membela setiap hak asasi manusia pada setiap posisi yang saya emban sejauh ini.”