Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST

Privatisasi Penjualan PLN Dengan Jurus "Tuna Susila"

law-justice.co - Contoh riil dan di bulan Ramadhan ini makin menjadi jadi adalah berlangsungnya privatisasi/penjualan/ swastanisasi PLN. Bahkan indikasi terkini adalah ketidak mampuan PLN dalam membuat Laporan Keuangan 2020.

Padahal setiap tahun nya Laporan Keuangan PLN itu ada dan dibukukan dalam sebuah paket Laporan Statistik PLN. Hanya Laporan Statistik PLN 2020 yg tdk ada Laporan Keuangannya ! Sebelum2 nya lengkap. Sehingga dapat diketahui bahwa subsidi listrik tahun 2019 (misalnya) adalah Rp 51,8 triliun.

Baca juga : Meneropong Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Geopolitik Global

Privatisasi/penjualan/swastanisasi PLN tersebut melanggar pasal 33 ayat (2) UUD 1945, yaitu "Cabang produksi yang penting bagi Negara dan MENGUASAI hajat hidup orang banyak DIKUASAI Negara".

Namun para "oknum" yang kebetulan pejabat/mantan yang memiliki otoritas thd PLN seperti Luhut Binsar, Erick T, JK, Dahlan Iskan dst ini memprivatisasi/menjual/menswastanisasi PLN dengan "memlintir" istilah DIKUASAI pada pasal 33 ayat (2) diatas dengan "dalil" bahwa untuk MENGUASAI tidak harus memiliki ! Inilah filosofi "pelacur" itu !

Baca juga : Apakah Mungkin Kebijakan Pajak Kekayaan (Wealth Tax) Diterapkan di RI?

Menurut mereka selama kita masih bisa memanfaatkan/mengatur/mengontrol PLN dng regulasi maka artinya Negara masih menguasai kelistrikan ( Filosofi Pelacur ). Dan "dalil" semacam ini sudah muncul sejak terbitnya UU No 20/2002 ttg Ketenagalistrikan . Namun argumentasi (Pelacur) semacam itu ditolak oleh MK dan akhirnya UU No 20/2002 diatas dibatalkan MK secara TOTAL pada 15 Desember 2004.

Nah, dalam konteks UU No 30/2009 ttg Ketenagalistrikan (pengganti UU No 20/2002) putusan MK No 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 tidak membatalkan secara total UU tsb tetapi semangatnya tetap sama yaitu menolak Argumentasi "pelacur" diatas !

Baca juga : Ini Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Dan karena putusan bukan total, maka narasi putusan MK tsb di "plintir"2 kemana mana oleh oknum Penguasa diatas sehingga terlihat Syah ! Namun sebenarnya tetap melanggar Konstitusi karena semua putusan MK baik 2004 maupun 2016 menolak dalil "pelacur" diatas !

Disinilah putusan MK itu sebenarnya bersifat final dan mengikat tetapi tidak memiliki konsekuensi hukum atas pejabat eksekutif yang melanggarnya. ( "Mandul" ).

Satu satunya jalan guna menuntut para pelanggar Konstitusi (Krn melanggar putusan MK) itu hanya lewat Class Action di Pengadilan Negeri. Dengan tuntutan ke Presiden (Krn Presiden yg memiliki Visi) untuk dinyatakan Presiden telah melanggar Konstitusi !

KESIMPULAN :

Daripada mengelabuhi rakyat Indonesia dengan jurus2 "pelacur" spt diatas , agar Pemerintah terkesan Panca Silais ! Mendingan Panca Sila dan UUD 1945 itu dibubarkan saja ! Jadilah Negara Liberal spt AS ! Tetapi tidak menipu dan membodohi rakyat !!