Menyoroti Sikap Indonesia di Tengah Persaingan Amerika dan Cina

[INTRO]

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Al-Masyhari, meminta pemerintah berhati-hati merumuskan arah kebijakan luar negeri di tengah perubahan konstelasi politik global. Posisi Indonesia saat ini dinilai tidak cukup ideal dalam menentukan sikap atas pengaruh dua kekuatan besar dunia, yakni Amerika dan Cina.
 
“Secara ekonomi, Indonesia memang sangat dekat dengan Cina. Tapi secara sosio-kultural, Indonesia sepertinya lebih nyaman bekerjasama dengan Amerika. Mengingat Amerika relatif lebih terbuka terhadap keyakinan dan agama apapun,” kata Abdul Kharis diskusi publik bertema "Pergeseran Persepsi Ancaman Negara Barat (Australia & AS) dan Dampaknya bagi Indonesia", Sabtu (27/3/2021).
 
Kharis menjelaskan, kondisi persaingan pengaruh antara Amerika dan Cina saat ini cukup kuat. Keduanya punya strategi dan kemampuan membangun aliansi yang cukup besar. Di tengah persaingan itu menurut dia Indonesia perlu membuat pertimbangan yang cermat dalam merumuskan sikap dan kebijakan terhadap dua negara adidaya.
 
Amerika selama ini dikenal mempunyai beberapa negara aliansi yang cukup solid. Sementara perkembangan pengaruh Cina di beberapa negara juga cukup signifikan. Sehingga, wajar jika kedua negara besar itu terkesan berlomba memperluas pengaruh di beberapa belahan dunia.
 
Kharis menyebutkan jika nanti persaingan pengaruh Amerika dan Cina ini semakin menguat, Indonesia perlu mengambil satu langkah definitif. Sebab saat ini sangat sulit menempatkan kepentingan Indonesia di dua kekuatan secara bersamaan.
 
“Dalam kondisi ini Indonesia sebenarnya bisa main di dua kaki. Kalau hal itu bisa dilakukan mungkin sangat menarik. Tapi saya tidak terlalu yakin Indonesia bisa main di dua kaki dan bisa ambil opportunity yang besar,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
 
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Rizal Dharmaputra, mengatakan saat ini Amerika kembali fokus membangun kekuatan di beberapa Kawasan strategis. 
 
Sebelumnya di masa Pemerintahan Donald Trump kebijakan luar negeri Amerika melemah, kini pengaruh tersebut akan kembali dikuatkan oleh Joe Biden melalui kebijakan re-balance.
 
Pemerintah Amerika menilai kekuatan dan konsolidasi Cina saat ini menjadi ancaman. Cuma kendalanya, kata Rizal, Amerika terkesan belum mampu menempatkan ancaman tersebut dalam suatu definisi yang jelas. 
 
“Amerika masih menggunakan persepsi perang dingin mellihat perkembangan Cina. Padahal situasi saat ini sudah sangat berbeda,” ujar Rizal.
 
Pemerhati Politik Luar Negeri dari Universitas Binus, M. Faisal Karim, menilai perebutan pengaruh Amerika dan Cina tidak lepas dari konteks pertarungan pengaruh liberalisasi Barat dengan nasionalisme yang terjadi di beberapa Kawasan. Amerika menilai perkembangan nasionalisasi beberapa negara di kawasan yang selama ini dikuasai merupakan ancaman yang perlu disikapi.
 
"Dalam jangka panjang berkurangnya pengaruh Amerika di negara-negara kawasan dikhawatirkan akan berdampak pada stabilitas politik global," kata Faisal.