Moeldoko Kudeta AHY untuk 3 Periode Jokowi, Yusril: Saya Tak Percaya

law-justice.co - Pandangan sejumlah pengamat politik bahwa tujuan Moeldoko mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY dari kursi pimpinan Demokrat terkait isu presiden 3 periode tak dibantah oleh Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Yusril menegaskan dirinya tidak percaya dengan analisis para pengamat tersebut.

"Pendapat pengamat politik asing dan dalam negeri yang memaknai KLB Partai Demokrat dan ditunjuknya Moeldoko sebagai ketum Partai Demokrat sebagai bagian dari rencana untuk menguasai MPR dalam rangka amandemen Pasal 7 UUD 45. Saya tidak percaya dengan analisis ini," jelas Yusril dalam keterangan tertulis, Senin (15/3/2021).

Baca juga : Reuni UII, Ketua MA Baca Puisi

Yusril menegaskan Jokowi tak bisa serta-merta dituduh mendukung gerakan kudeta Partai Demokrat yang dilakukan pejabat lingkar Istana, yaitu Kepala KSP Moeldoko. Yusril menegaskan kecurigaan terhadap isu ini terlalu berlebihan dan dia meminta publik melihat sendiri perkembangannya ke depan.

"Apakah Jokowi mendukung langkah Moeldoko atau tidak, kita belum tahu. Apakah betul Jokowi punya niat mau jadi presiden tiga periode, kita juga belum tahu. Rasa curiga yang mendasari analisa spekulatif ini terlalu besar," ucap Yusril.

Baca juga : Permainan Mengagumkan, Timnas Indonesia U-23 Dapat Bonus Rp23 Miliar

"Biarlah dalam beberapa hari ke depan ini kita akan melihat apakah analisa itu benar atau tidak. Waktu juga yang menentukan," sebut Yusril.

Yusril juga berbicara soal amendemen pertama UUD 45 (1999) yang mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 45 di mana presiden dan wakil presiden hanya menjabat maksimum dua kali periode jabatan, yakni selama 10 tahun. Amendemen itu, menurut Yusril, menutup peluang seorang presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amendemen lagi terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut.

Baca juga : Bobby Nasution Resmi Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

"Perubahan UUD memang bisa terjadi melalui `konvensi ketatanegaraan`. Teks sebuah pasal tidak berubah, tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks. Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan kita berubah dalam praktik dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer pada bulan Oktober 1945. Perubahan itu dilakukan tanpa amendemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat," ucap Yusril.

"Namun, di zaman sekarang nampaknya akan sulit untuk menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor: trauma langgengnya kekuasaan di tangan 1 orang dan derasnya suara oposisi, baik di dalam badan-badan perwakilan maupun di luarnya. Apalagi di zaman kebebasan berekspresi dan kebebasan media sekarang ini, penolakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berdasarkan konvensi akan menghadapi tantangan yang cukup berat," imbuh dia.