3 Bulan HRS Dipenjara, Aziz Yanuar:Takjub, ini Kasus Pertama di Dunia!

Jakarta, law-justice.co - Banyak pakar dan praktisi hukum menilai penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) terlalu dipaksakan. Pelanggaran Prokes Covid-19 yang disangkakan kepadanya semestinya sudah selesai seiring dibayarnya denda Rp.50 juta. Namun polisi memaksakan pasal-pasal selundupan agar Habib bisa ditahan.

Kuasa Hukum HRS Aziz Yanuar mengatakan dirinya sangat takjub dengan pasal untuk menjerat HRS. "Saya benar-benar takjub!. Ini adalah kasus pertama dalam sejarah, bukan cuma di Indonesia atau di dunia. Bahkan di seluruh jagat raya belum ada orang yang melanggar Prokes Covid-19 dipenjara dan dijerat dengan pasal-pasal aneh yang dipaksakan," tukasnya dilansir Youtube BANG EDY CHANEL dilansir Selasa (16/2/2021)

Baca juga : Gus Miftah Bicara Jujur soal Sosok Habib Rizieq yang Keturunan Nabi

Aziz juga mengungkapkan masyarakat tidak bodoh dalam menilai kasus yang menjerat HRS."Publik malah menilai itu adalah KEZALIMAN yang nyata," ungkapnya.

Habib Rizieq Syihab sudah memasuki 3 bulan penahanan, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab resmi ditahan pihak Kepolisian usai menjalani pemeriksaan oleh Penyidik Polda Metro Jaya.

Baca juga : PKB Pernah Vokal Bubarkan FPI, HRS Masih Pertimbangkan Dukung AMIN

Pada Sabtu, 12 Desember 2020 lalu, Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab menyerahkan diri sekira pukul 10.30 WIB ditemani kuasa hukumnya.

Habib Rizieq Shihab diperiksa tim sekira pukul 11.30 WIB atau satu jam setelah kedatangannya di Polda Metro Jaya.

Baca juga : Habib Bahar Disebut Ditembak Orang Tak Dikenal, Begini Kronologisnya

Aziz menilai beberapa pasal yang bakal digunakan penyidik tidak dapat menjerat Rizieq sebagai tersangka.

Pasal pertama yang dikritisi oleh Aziz, yakni Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Aziz, berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) penerapan Pasal 160 KUHP sejatinya tidak dapat dijerat terhadap tersangka tanpa adanya tindak pidana lain.

 

Disisi lain, Aziz berpendapat penerapan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang juga digunakan penyidik untuk menjerat calon tersangka dalam kasus hajatan Rizieq juga tidak tepat.

Dimana, kata dia, dalam pasal tersebut terdapat frasa `menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat` yang dinilainya tidak memenuhi unsur dalam kasus dugaan pelangggar protokol kesehatan dalam acara pernikahan putri Rizieq.

"Nah di situ, dari sisi hukum tidak pernah ada kondisi Kedaruratan Masyarakat atas kerumunan yang terjadi di Tebet dan Petamburan," ujarnya.

"Oleh karena itu, menurut hemat kami bahwa penerapan Pasal 160 KUHP dan apalagi ditambah Pasal 93 (UU Kekarantinaan Kesehatan) yang tidak memenuhi unsur Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, maka seharusnya tidak dapat dikenakan oleh HRS," imbuhnya.

Pasal Berlapis

Sebelumnya Penyidik Subdit I Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya bakal menjerat calon tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan di acara pernikahan putri Rizieq dengan pasal berlapis.

Penerapan pasal berlapis itu berdasar hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik. Salah satu pasal yang dipersangkakan, yakni Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 93 itu sendiri berbunyi; Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.

Selain itu, calon tersangka juga dipersangkakan dengan Pasal 160 dan 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 160 KUHP berbunyi; Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.

Sedangkan, Pasal 216 ayat (1) berbunyi; Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000.

"Kemarin sudah kita lakukan pemanggilan beberapa saksi-saksi yang tersangkut ke Pasal 160 KUHP atau Pasal 93 di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan di Pasal 216 KUHP," kata Yusri di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (30/11).