Redam Gelombang Protes Suu Kyi, Militer Myanmar Blokir Akses Internet

Jakarta, law-justice.co - Otoritas militer Myanmar disebut sengaja memutus sebagian besar akses internet di negara tersebut pada Sabtu (6/2).

Pemutusan internet dilakukan untuk meredam peningkatan gelombang protes atas kudeta Aung San Suu Kyi.

Baca juga : APBN Surplus, Pemerintah Tetap Tarik Utang

Seperti melansir CNNIndonesia.com, pengguna mengeluhkan akses internet yang mulai melambat hingga hilangnya layanan data, khususnya pada ponsel seluler.

Sementara Netblocks, layanan berbasis di London, Inggris, menyatakan pemutusan internet terjadi hampir menyeluruh di Myanmar dengan tingkat konektivitas 16 persen dari total.

Baca juga : Kasus DBD Meningkat, Seluruh Elemen Terkait Perlu Cari Solusi

Putusnya akses internet di Myanmar sejalan dengan perintah otoritas militer untuk memblokir Twitter, Instagram, dan sebagian koneksi Facebook pada Jumat (5/2).

Hal ini dilakukan untuk mencegah sejumlah masyarakat yang menyebarkan berita palsu atau hoaks mengenai militer.

Baca juga : PKS: `Dissenting Opinion` MK, Momentum Perbaiki Kualitas Pemilu

Pemutusan akses internet memberi ancaman kembalinya Myanmar ke lima dekade lalu ketika masih berada di era pembatasan komunikasi internasional. Padahal, pemerintah di bawah Suu Kyi sudah berupaya memberi keterbukaan informasi dan demokrasi kepada Myanmar sejak 2015.

Sebelumnya, gelombang protes kudeta Suu Kyi telah membuat sekitar 1.000 orang turun ke jalan utama di Kota Yangon. Mereka terdiri dari pekerja pabrik dan mahasiswa, namun dihadang oleh lebih dari 100 aparat kepolisian dengan perlengkapan anti huru-hara.

"Ini merusak percakapan publik dan hak orang untuk membuat suara mereka didengar," kata juru bicara aksi protes tersebut.

Langkah pemutusan akses sebelumnya juga mendapat kecaman dari Amnesty International karena dinilai merupakan keputusan yang keji dan sembrono. Sebab, Myanmar tengah kisruh akibat kudeta dan krisis Covid-19.

Sementara manajemen Twitter mengaku sangat prihatin dengan pembatasan akses tersebut. Manajemen berharap pemutusan akses bisa segera diakhiri oleh otoritas militer Myanmar.