Epdemiolog Ingatkan Jokowi agar Sadar dan Singgung Pilpres

Jakarta, law-justice.co - Pakar epidemilogi atau epidemilog mengingatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar sadar bahwa vaksinasi itu beda dengan pemilihan presiden (Pilpres). Hal itu terkait proses penusukan atau suntik vaksin dengan tusuk surat suara saat Pilpres.

Hal itu disampaikan epidemiolog untuk menanggapi rencana Jokowi yang menargetkan vaksinasi Covid-19 selesai sebelum tahun 2021 berakhir. Alasannya, Indonesia telah memiliki 30 ribu vaksinator, 10 ribu puskesmas, dan 3.000 rumah sakit yang mendukung vaksinasi kepada 181,5 juta warga.

Baca juga : Vaksin Sinovac yang Dipesan Indonesia Kembali Disorot, Ini Alasannya

Namun, target itu dinilai tidak realistis dengan kondisi di lapangan dan kendala yang dihadapi dalam program vaksinasi massal ini. Hal itu disampaikan oleh pakar epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma.

"Ini kan soal suntik dan tusuk. Kalau tusuk Pilkada, Pilpres lebih gampang. Tinggal diminta berbaris, selesai dalam satu hari. Kalau suntik (vaksin) itu prosedurnya banyak," tegasnya di kanal YouTube Hersubeno Arief Point.

Baca juga : Vaksin COVID dari Janin Aborsi, Vatikan: Tak Berarti Legalkan Aborsi

Dijelaskannya, sebelum dilakukan vaksinasi atau disuntik vaksin, seseorang harus diperiksa dulu kesehatannya. Dilihat dulu faktor risiko-risikonya, ada atau tidak dan tidak asal suntik. "Pertama harus dilakukan pemeriksaan kesehatan dulu. Daftar yang dieksekusi banyak sekali," katanya.

Di sisi lain dengan beragam jenis vaksin yang dibeli oleh pemerintah juga memiliki syarat dan targetnya juga berbeda. Kemudian jenis-jenis vaksinnya beda.

Misalnya, kata dia kloter pertama Sinovac, tidak boleh diberikan pada orang dengan usia di atas 59 tahun dan di bawah 18 tahun. Aturan itu belum tentu berlaku untuk vaksin lainnya. "Nanti kalau pakai vaksin Novavax beda lagi konfigurasinya, Pfizer juga beda lagi sasarannya dan ini sangat-sangat rumit." ujarnya.

Karenanya, dokter Tifa menyarankan kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin agar menyampaikan kondisi ini kepada Presiden Jokowi. Ini agar presiden bisa memahami kondisi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan dengan target yang hanya 12 bulan.

"Saya harus katakan ke Mas Menkes, harus berani ngomong ke Pak Presiden bahwa enggak mungkin dalam 12 bulan. Jadi sesuaikan dengan reality lah. Harus diperjelas dulu," tutupnya.