Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Ketika Rakyat Enggan Disuntik Vaksin Virus Corona, Pertanda Apa?

Jakarta, law-justice.co - Seperti yang ramai diberitakan, pada akhirnya  Presiden Joko Widodo resmi menerima suntik vaksin virus Corona. Vaksin Sinovac itu disuntikkan oleh Prof Dr Abdul Muthalib, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi Onkologi Medik di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (13/1). 

Selain Jokowi, ada beberapa tokoh lain yang juga divaksin diantaranya Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kapolri Jenderal Idham Aziz, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, hingga Ketua IDI Daeng M. Faqih, tokoh ormas, tokoh agama, wakil artis  dan yang lainnya. 

Baca juga : Hari Ini 1,1 Juta Dosis Vaksin Sinopharm Tiba di Indonesia

Suntik vaksin Sinovak yang dimulai dari Presiden beserta tokoh tokoh lainnya menandai upaya serius pemerintah untuk mengendalikan wabah virus corona yang sudah berlangsung hampir setahun lamanya. Tampilnya Presiden sebagai orang pertama yang di vaksin telah memunculkan pujian dan apresisasi dari banyak kalangan yang menunjukkan bahwa Presiden telah mampu menjadikan dirinya sebagai tauladan bagi rakyatnya.

Pesan yang ingin disampaikan dengan suntik vaksin Presiden sebagai orang pertama beserta tokoh tokoh lainnya sepertinya adalah untuk  memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa penyuntikan vaksin Sinovac asal China itu aman dan karenanya bisa diikuti oleh warga negara Indonesia lainnya agar bersedia di suntik vaksin Sinovac asal China.

Baca juga : Berkat Vaksin Covid-19, Dokter Ini Kini Menjadi Miliarder

Tetapi meskipun presiden telah memberikan contoh dan keteladanan, tidak serta merta rakyat percaya lantas mengikuti dengan suka rela program vaksinasi untuk mencegah penyebaran virus corona. Mengapa sebagian rakyat Indonesia enggan divaksin Sinovac asal China ? Mengapa pula upaya untuk mengkampanyekan kesadaran vaksinasi ini menemui  kendala ?, Apakah vaksinasi itu upaya serius pemerintah untuk menyehatkan bangsa atau ada nuansa bisnis disana ?

Mengapa Enggan Divaksin ?

Baca juga : Ubah Tanggung Jawab atas Vaksin Impor, Jokowi Terbitkan Perpres Baru

Hasil survei Kementerian Kesehatan bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dengan dukungan UNICEF dan WHO, menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia bersedia menerima vaksin virus corona.Meski demikian, dari hasil survei nasional itu masih ada masyarakat Indonesia yang menolak vaksinasi dengan berbagai alasan yang dikemukakannya

Dikutip dari tribunnews.com, hasil survei  pada Rabu (18/11/2020) menyatakan bahwa responden mengungkapkan alasan penolakan terhadap vaksinasi dimana alasan penolakan vaksin yang  paling umum karena terkait dengan keamanan vaksin (30%); keraguan terhadap efektifitas vaksin (22%); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%); dan alasan keagamaan (8%).

Alasan alasan keraguan terhadap vaksinasi tersebut sebenarnya sudah berupaya diminimalkan dengan adanya beberapa pernyataan yang disampaikan oleh pihak pihak terkait seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan juga fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). 

Dikutip dari tribunnews.com 11/01/2021, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny Kusumastuti Lukito mengatakan, pihaknya memberikan izin penggunaan vaksin Covid-19 dari Sinovac."Pada hari ini Badan POM memberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi emergency use authorization vaksin Covid-19 yang pertama kali kepada vaksin produksi Sinovac Biotech yang bekerja sama dengan PT Bio Farma," ujarnya, dikutip dari siaran langsung YouTube Kompas TV, Senin (11/1/2021).

Sebelum ijin itu keluar, Pemerintah secara resmi telah mengirimkan vaksin buatan Sinovac ke beberapa daerah di Indonesia. Pengiriman vaksin tersebut tetap dilakukan meskipun belum mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada saat itu  Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan bahwa vaksin tersebut hanya didistribusikan saja dan belum boleh diberikan kepada masyarakat Indonesia.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mendukung putusan lembaga tersebut. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR itu meminta BPOM tidak terbebani dengan keharusan mengeluarkan izin pada tanggal tertentu. Mufida menegaskan, batasan yang dimiliki BPOM adalah kelayakan edar dan keamanan daripada vaksin Sinovac asal China.

“Batasnya bukan waktu, maksudnya harus diizinkan pada tanggal segini atau segitu. Tapi, batasnya adalah ketuntasan hasil uji klinis tentang efektifitas dan efikasi dari virus tersebut. BPOM tidak perlu terbebani harus keluarkan izin pada tanggal tertentu,” ujarnya melalui keterangan resmi di Jakarta, seperti dikutip oleh media Rabu 6 Januari 2021.

Kalau kemudian BPOM pada akhirnya mengeluarkan ijin darurat peredaran vaksin Sinovac, apakah ijin itu keluar berdasarkan hasil uji klinis tentang efektifitas dan efikasi dari virus tersebut atau karena adanya  “tekanan”  dari pihak penguasa supaya ijin itu dikeluarkan segera ?.  

Nuansa adanya tekanan itu rupanya dirasakan oleh  seorang Rocky Gerung yang mempertanyakan persetujuan BPOM untuk ijin peredaran vaksin virus corona asal China. Dikutip dari  BeritaHits.id, pengamat politik Rocky Gerung menyinggung BPOM yang menurutnya dipaksa mengiyakan kemauan Presiden Jokowi sehingga menambah catatan buruk pemerintahan yang sekarang berkuasa.

"Itu kelihatan dari awal bahwa tidakan presiden tidak bisa menghasilkan dukungan publik. Pertama vaksin diragukan, kedua presiden memaksakan vaksinasi itu melampaui kewenangan BPOM. BPOM seolah dipaksa mengiyakan keinginan presiden. Itu jadi catatan buruk dalam sejarah vaksinasi kita," tegasnya.

Catatan lain juga disampaikan oleh Ansory Siregar Wakil Ketua Komisi IX dari fraksi PKS DPR RI yang menyatakan bahwa BPOM terkesan dipaksa untuk mengeluarkan ijin edar darurat vaksin Sinovak karena dipaksa tanggal 13 Januari 2021 harus vaksinasi pada hal proses uji klinis belum selesai tuntas sebagaimana mestinya. 

Kalau kita kaji  track recordnya, Sinovac memang tidak pernah sepi dengan skandal yang menimpanya. Sebagai contoh pada tahun 2016 yang lalu telah terjadi skandal dimana  Sinovac menyuap Badan Pengawas Obat dan Makanan China. Suap itu diketahui terkait izin pengembangan vaksin SARS pada 2003 dan flu babi pada 2009. Suap itu membuat dunia internasional meragukan vaksin Sinovac.

Melansir Washington Post, Senin, 7 Desember, Sinovac telah mengakui kasus suap yang melibatkan pimpinannya, Yin Weidong. Dalam kesaksiannya pada 2016, Weidong tak dapat menolak permintaan sejumlah uang dari pejabat regulasi dan pada saat itu penyuapan terjadi.

Weidong yang merupakan pendiri sekaligus kepala eksekutif perusahaan juga mengaku memberi suap lebih dari 83 ribu dolar dari tahun 2002 hingga 2011 kepada seorang pejabat regulasi, Yin Hongzhang. Sebagai gantinya pejabat regulasi itu akan mengusahakan sertifikasi vaksin Sinovac untuk SARS, flu burung, dan flu babi.

Dalam kasus ini Hongzhang dijatuhi satu dekade penjara pada tahun 2017 karena menerima suap dari Sinovac dan tujuh perusahaan lainnya. Sedangkan, Weidong tak dikenakan biaya atau hukuman apapun. Weidong malah dapat terus mengawasi pengembangan vaksin COVID-19 dari Sinovac tahun ini.

Korupsi dalam industri farmasi China mencatatkan sejarah panjang. Seorang Ilmuwan politik Universitas Chicago, Dali Yang mengatakan peralihan China dari persetujuan obat terdesentralisasi pada 1990-an menjadi tinjauan terpusat pada 2000-an dalam menciptakan peluang untuk korupsi. Skandal skandal ini telah membuat ragu terhadap vaksin Sinovac yang telah didatangkan ke Indonesia. Seperti dinyatakan pada:https://www.law-justice.co/.https://www.law-justice.co/cuma-indonesia-yang-beli-reuters--who-ungkap -kualitas-vaksin-sinovac/

Paling tidak fenomena seperti disebutkan  diatas telah sedikit mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk divaksin dengan Sinovac buatan China.  Sementara itu meski memiliki vaksin buatan beberapa perusahaan lokal, rupanya sebuah perusahaan farmasi asal Negeri Tirai Bambu itu tetap membeli vaksin dari mancanegara. Baca juga https://www.law-justice.co/.https://www.law-justice.co/bantah-indonesia-produsen-sinovac-vaksin-ini- belum-tentu-efektif/

China dikabarkan akan membeli vaksin BioNTech asal Jerman yang dibuat bersama perusahaan Amerika Serikat (AS), Pfizer Inc. Dilaporkan Reuters, Shanghai Fosun Pharmaceutical Group Co Ltd mengaku akan mendatangkan setidaknya 100 juta dosis vaksin Covid-19 itu untuk digunakan di China daratan seperti diberitakan dalam : https://www.law-justice.co/.https://www.law-justice.co/walah-vaksinnya-sendiri-dijual-ke-ri-china- malah-beli-vaksin-pfizer/

Kalau China sendiri saja  enggan mengunakan produksi vaksin dalam negerinya, mengapa negara seperti Indonesia tetap ngotot menggunakannya ?.Inikah yang membuat salah satu alasan banyak orang Indonesia yang enggan di suntik vaksin asal China ?.

Selanjutnya untuk menepis soal soal kehalalan vaksin asal China Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa  vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac adalahh suci dan halal adanya.

“Setelah dilakukan diskusi yang cukup panjang dari hasil penjelasan dari tim auditor, maka Komisi Fatwa menyepakati bahwa vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Science Co. Ltd, yang diajukan oleh PT Bio Farma hukumnya suci dan halal,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh pada konferensi pers, Jumat (8/1/2021) seperti dikutip media.

Meskipun MUI telah mengeluar fatwa halal terhadap vaksin Sinovac, tetapi masih juga timbul keraguan di masyarakat terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia. Keraguan itu muncul terkait dengan kapabilitas dan kredibilitas terhadap kepengurusan MUI yang baru saja disahkan kepengurusannya. Ada yang menilai MUI sekarang adalah MUI rasa istana.

Seperti kita ketahui Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi menetapkan kepengurusan baru periode 2020-2025 lewat Musyawarah Nasional X MUI yang digelar di Jakarta, 25-27 November 2020.

Dalam Munas X itu, Miftachul Ahyar terpilih sebagai Ketua MUI  yang baru menggantikan posisi Ma`ruf Amin yang sudah menjadi Wakil Presiden Indonesia. Dalam kepengurusan MUI yang baru ini nama nama yang selama ini berseberangan  dengan Pemerintah banyak yang tersingkir dari posisinya seperti Dien Syamsudin, Bachtiar Nasir, Yusuf Martak hingga Tengku Zulkarnain yang  terdepak dari posisi semula.

Hilangnya nama nama yang selama ini dikaitkan dengan gerakan 212 dari kepengurusan MUI di sinyalir turut memuluskan keluarnya fatwa MUI terkait dengan fatwa mengenai vaksin Sinovac asal China. Apakah memang benar demikian kenyataannya ?

Yang jelas keluarnya fatwa MUI yang menyatakan bahwa vaksin Sinovac suci dan halal belum sepenuhnya mampu meyakinkan sebagian masyarakat Indonesia untuk mengamininya.Salah satunya disinyalir karena lembaga yang mengeluarkan fatwa itu dinilai tidak lagi bisa dipercaya sepenuhnya karena pergantian kepengurusan sehingga menjadi MUI rasa istana. Inikah yang menjadi alasan sebagian masyarakat untuk enggan di vaksin Sinovac asal China?.

Kampanye Kesadaran

Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara ampuh untuk mencegah mewabahnya suatu penyakit yang bisa menimbulkan korban ribuan nyawa manusia. Saat ini begitu banyak penyakit yang bisa dijinakkan karena adanya vaksin antara lain penyakit cacar, polio, tetanus, flu, hepatitis B, Hepatitis A, campak, gondokan dan lain lainnya.

Kini ditengah mewabahnya pandemi virus corona, vaksin juga di gadang gadang sebagai cara ampuh untuk menjinakkannya. Alhasil kampanye untuk penggunaan vaksin gencar di laksanakan untuk menarik kesadaran semua orang agar bersedia di vaksinasi karena vaksinasi atas suatu pandemic hanya akan efektif jika tercipta kekebalan komunitas yang menjadi sasarannya. Hanya dalam kondisi seperti itu kiranya kehidupan akan kembali normal seperti sedia kala.

Namun ditengah tengah upaya kampanye vaksinasi yang kini tengah digencarkan,justru ada kampanye yang  bertujuan sebaliknya. Mereka menolak adanya vaksinasi dengan sederet alasan yang dikemukakannya.  Masih wajar kalau kampanye itu disuarakan oleh kelompok “oposisi” yang selama ini memang rajin menentang kebijakan penguasa. Tapi kampanye ini dilakukan oleh “orang dalam” sendiri yang seharusnya menjadi pendukungnya.

Adalah politikus dari Fraksi PDIP Ribka Tjibtaning yang menolak program vaksinasi virus corona. Tak pelak, penolakan untuk  ikut vaksin corona memunculkan pendapat pro dan kontra. Apalagi, anggota Komisi Kesehatan DPR itu memilih membayar denda ketimbang disuntik vaksin corona.

Lantas apa alasan Ribka menolaknya? Pertama, usia Ribka saat ini sudah 61 tahun pada hal vaksin corona Sinovac baru diujicobakan untuk warga 18 tahun  hingga 59 tahun usianya. Alasan kedua, adalah terkait uji klinis atas vaksin corona Sinovac dimana menurutnya impor dilakukan sebelum uji klinis vaksin corona Sinovac rampung sepenuhnya.

Politikus PDIP itu menyebut pihak Bio Farma belum mengeluarkan tahap uji klinis ketiga terkait vaksin Corona. Ia kemudian menyoroti kejadian vaksin polio dan vaksin kaki gajah, yang disebutnya sempat memakan korban di Indonesia."Ini pengalaman saya, Saudara Menteri, ini saya omong lagi nih di rapat ini ya. Vaksin untuk antipolio malah lumpuh layuh di Sukabumi. Terus anti-kaki gajah di Majalaya mati 12 (orang), karena di India ditolak, di Afrika ditolak, masuk di Indonesia dengan 1,3 triliun, waktu saya ketua komisi. Saya ingat betul itu, jangan main-main vaksin ini, jangan main-main," ungkap Ribka seperti dikutip media.

Oleh karena itu,  Ribka meminta pemerintah tidak bermain dengan uji klinis vaksin corona apa pun, apalagi dijadikan lahan berbisnis untuk mengeruk keuntungan dari rakyat Indonesia."Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya, tidak boleh. Mau apa pun alasannya tidak boleh. Saya yang akan paling kencang nanti mempermasalahkannya," ujarnya seperti dikutip media.

Bisa jadi Ribka memang mengendus adanya  permainan bisnis dalam impor vaksin Sinovac dari China. Ia secara terang juga menyebut jangan sampai masalah vaksin yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia menjadi ladang bisnis untuk segelintir orang demi keuntungannya.

Selain Ribka Tjiptaning, ada juga sosok pakar epidemologi dr. Tifauza Tyassuma yang lantang menyampaikan penolakan terhadap agenda vaksinasi yang digencarkan oleh pemerintah Indonesia.  Agak berbeda dengan dr. Ribka, dr. Tifa, yang  ditolak olehnya bukan vaksin secara umum namun vaksin Sinovac yang akan digunakan secara massal di Indonesia.

“Saya bukan menolak vaksin, saya mendukung vaksin, saya taat Undang Undang. Hanya saja yang saya tolak adalah vaksin Sinovac,” ujarnya dilaman Facebooknya. Tak hanya itu, dr. Tifa juga menyebut bahwa Indonesia punya vaksin buatan anak negeri yang menurutnya tak kalah baik dari Sinovac buatan China. 

Penolakan-penolakan dari para tokoh ini ditakutkan akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin yang akan diterima. Dikhawatirkan pula jika pernyataan yang disampaikan itu akan memunculkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat  kita.

Kini meskipun vaksin Sinovac telah dibolehkan untuk digunakan dalam keadaan darurat namun vaksinasi itu  tidak serta merta memberikan perlindungan 100 persen  bagi seseorang dari penularan Virus Corona. Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Sri Rezeki Hadinegoro seperti dikutip Liputan6.com 12/01/2021 , mengatakan, seseorang yang sudah disuntik vaksin COVID-19 tetap memiliki potensi tertular SARS-CoV-2 atau Virus Corona.

Karena suntik vaksin Sinovac tidak sepenuhnya membuat mereka yang telah disuntik bisa bebas corona akhirnya orang juga mulai berpikir kenapa harus disunti vaksin itu kalau tidak bisa menjamin sepenuhnya biba bebas virus corona. Pada hal penyuntikan itu dibayang bayangi oleh kekhawatiran dampak jangka panjangnya meskipun tidak sepenuhnya benar tentunya.

Bagaimanapun adanya pernyataan pernyataan yang menentang vaksinasi oleh para tokoh berpengaruh termasuk keraguan daripada penggunaan vaksin Sinovac asal China telah memunculkan keengganan dari sebagian masyarakat Indonesia untuk di suntik vaksin seperti yang telah dicontohkan oleh presidennya. Apalagi seperti dinyatakan oleh dr. Ribka, bisa jadi yang suntikkan ke Jokowi tempo hari bukan vaksin Sinovac asal China.

Fenomena sebagaimana dikemukakan  diatas, semakin menyulitkan upaya kampanye untuk membangun kesadaran agar rakyat mau di vaksin untuk mengatasi pandemi virus corona. Tugas penyadaran menjadi semakin berat manakala tokoh tokoh panutan lainnya tidak mampu memberikan keteladanan seperti yang dilakukan oleh artis Raffi Ahmad dan Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama. 

Seperti diberitakan oleh media, setelah disuntik vaksin bersama presiden Indonesia, Raflie Ahmad berkenan menghadiri acara  pesta ulang tahun ayah Sean Gelael, Ricardo Gelael yang dihadiri juga Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama. Mereka sempat melanggar protokol kesehatan karena tidak memakai masker  dan gelar acara tidak memiliki ijin pula. Sulit membayangkan mereka yang terlibat pesta akan dijadikan sebagai tersangka sebagaimana halnya yang diterima oleh Habib Riziek Shihab (HRS) yang kini mendekam di penjara.

Itulah serangkaian peristiwa yang membuat kampanye vaksinasi virus corona semakin ambyar saja. Sehingga memunculkan keraguan apakah Indonesia benar benar ingin melindungi rakyatknya dari serangan pandemi virus corona.

Soal Kepercayaan

Adanya keengganan sebagaian masyarakat Indonesia untuk divaksin Sinovac buatan China berkaitan erat dengan soal kepercayaan rakyat pada pemimpinnya. Meskipun presiden dan tokoh tokoh nasional sudah memberikan keteladanan untuk mau di suntik vaksin namun upaya itu belum cukup untuk meyakinkan masyarakat agar mengikutinya. 

Keraguan itu muncul selain karena terlalu banyaknya berseliweran informasi yang beragam soal vaksin Sinovac yang terkesan tidak terlalu meyakinkan juga karena adanya isu isu seputar vaksin itu yang belum bisa dipastikan kebenarannnya. Sebagai contoh adanya sinyalemen nuansa bisnis dalam mendatangkan vaksin Sinovac asal China sebagaimana disinyalir oleh Rocky Gerung dan dr. Ribka Tjiptaning sampai saat ini belum diklarifikasi ketidakbenaran maupun kebenarannya. Simpung siur informasi akhirnya membuat masyarakat ragu dan akhirnya  tidak percaya.

Tetapi salah satu faktor yang paling menentukan kepercayaan sebagian masyarakat menurut hemat saya adalah bukan terletak pada perlunya vaksin Sinovac atau yang lainnya. Melainkan dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan pemerintah yang lainnya yang sering tidak sesuainya antara perkataan dengan perbuatannya.

Seharusnya peristiwa penyuntikan vaksin kepada Presiden Indonesia bisa menjadi momen bersejarah yang menandai perang “kolosal”  melawan pandemi virus corona yang di pelopori oleh penguasa . Tetapi momen itu justru memunculkan pendapat pro dan kontra bahkan muncul banyak nyinyiran di sosial media. Ada yang meragukan bahwa vaksin yang disuntikkan kepada presiden dan tokoh tokoh bangsa itu bukan vaksin Sinovak sebagaimana yang diberitakan oleh media dan sebagainya.

Keraguan keraguan yang akhirnya memunculkan ketidakpercayaan itu endingnya berakhir nestapa. Karena apapun yang dilakukan oleh penguasa tidak mendapatkan dukungan publik sepenuhnya. Jika dukungan publik berkurang tentu hal ini sangat mengganggu proses vaksinasi yang pada akhirnya nanti bisa membuat upaya memerangi pandemi virus corona menjadi terganggu jalannnya.

Dalam kondisi dimana orang enggan untuk di suntik vaksin, maka tidak bijak juga kiranya kalau kemudian pemerintah memaksakan vaksin kepada mereka. Upaya pemaksaan selain melanggar hak azasi manusia juga akan memunculkan sikap antipati masyarakat dan semakin menumbuhkan rasa curiga.

Lagi pula kalau terbukti vaksin itu bagus untuk meningkatkan kekebalan tubuh dari serangan virus corona maka dengan sendirinya ia akan dicari orang dan dibeli berapapun harganya bagi yang mampu membelinya.

Pemerintah sebaiknya memperbaiki pola komunikasi program vaksinasi ketimbang mengancam rakyat dengan hukuman penjara atau denda. Karena tebar ancaman justru akan menimbulkan rasa antipati dan semakin meneguhkan kalau pemerintah hanya mengedepankan pendekatan kekuasaan belaka.

Akan lebih produktif kiranya kalau pemerintah mengklarifikasi isu isu negatif yang berkaitan dengan vaksin Sinovac sehingga bisa menumbuhkan rasa percaya rakyat kepada pemimpinnya. Diluar itu semua, cukup penting kiranya bagi  pemerintah yang berkuasa melakukan instropeksi kebijakan kebijakannya yang membuat rakyat tergerus kepercayaannya.