H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mewabahnya Penyakit Skizofrenia di Kalangan Elite Bangsa

Jakarta, law-justice.co - Beberapa waktu yang lalu dunia perfileman sempat marak ditayangkan sebuah film yang berjudul “Joker” yang ramai ditayangkan di berbagai bioskop tanah air kita. Film laga itu sarat dengan cerita psikologis dengan bumbu kekerasan berdarah, perilaku mengganggu, serta bermuatan bahasa dan gambar seksual didalamnya.

Sisi menarik dari film Joker ini terletak pada  alur ceritanya yang menampilkan tokoh utamanya. Tokoh utamanya digambarkan sebagai sosok yang penuh dengan tekanan psikologis dalam menjalankan perannya. Hidup dan karirnya penuh kegagalan, cemoohan, bahkan perlakuan kekerasan dari lingkungannya.

Baca juga : Diungkap Mahfudz Siddiq, Gelora Tegas Tolak PKS Gabung Koalisi Prabowo

Dalam bahasa medis dan kesehatan jiwa, Joker mengalami apa yang disebut skizofrenia, yakni gangguan mental  jangka panjang yang menjangkitinya. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku dalam keseharianya.

Sebagian penderita skizofrenia juga mengalami gejala psikosis, yakni situasi saat penderitanya kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikirannya. Menurut WHO, diperkirakan lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia.

Baca juga : Kejagung-KPK Didesak Usut Rumor Korupsi Rafael Alun Rp3.000 Triliun

Begitu rawan dan riskannya pengaruh gangguan mental yang disebut skizofrenia ini, jika tidak ada penanganan komprehensif, maka akibatnya bisa fatal seperti deskripsi film Joker yang membut ngeri juga  ketika kita menontonnnya.

Kalau penyakit skizofrenia ini hanya menyerang orang biasa tentunya tidak seberapa dampaknya, tapi sangat fatal kalau penyakit ini menghinggapi tokoh penting yang punya kuasa. Karena akan mempengaruhi kebijakan kebijakan yang diambilnya pada hal semuanya akan bermuara pada jutaaan nasib rakyat yang menjadi tanggungjawabnya.

Baca juga : Anies Mau Terima Tawaran Menteri Jika Dibolehkan Lakukan Hal-hal Ini

Penyakit seperti apakah sebenarnya skizofrenia itu sehingga membuat kita semua harus mewaspadainya ? Adakah kiranya gejala gejala elite politik kita terjangkiti penyakit skizofrenia ? Seperti apa indikasinya ?

Apa Itu Skizofrenia?

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang yang menghinggapi si penderita. Skizofrenia menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku dalam kehidupannya.

Karena mengalami halusinasi , delusi dan kekacauan pada cara berpikirnya maka penderita skizofrenia suka berimajinasi, menghayalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan yang  sebenarnya. Tembok imajiner dibangun sedemikian kuat dalam pikiran para penderita skizofrenia.

Mereka seakan menciptakan gelembung kebenaran yang ada dalam penafsirannya semata. Gelembung kebenaran yang terus membesar identik dengan perspektif tunggal yang dipelihara, hingga membuat penderitanya hanya concern pada fakta dan argumentasi yang mendukung hipotesisnya.

Fakta-fakta yang berlaku di alam semesta ini harus selaras dengan argumentasinya. Dari waktu ke waktu mereka semakin yakin bahwa hanya argumentasinyalah yang paling benar yang diluar pemikirannya harus dianggap salah karena tidak sesuai dengan keinginannya.

Kondisi itu kemudian melahirkan mentalitas pascakebenaran. Mereka tidak lagi mempedulikan kualitas kebenaran dari sebuah informasi apa pun karena yang dikehendakinya bukan lagi kebenaran, melainkan pembenaran semata.

Dijelaskan dalam ilmu neurosains–-seperti yang dipaparkan Taufiq Pasiak (Ketua Masyarakat Neurosains Indonesia) bahwa setiap penderita skizofrenia tidak mahir dalam membanding dan mengukur realitas yang ada di pikirannya dengan fakta yang ada.

Otak bagian depannya (korteks prefrontalis) kurang bekerja secara optimal sebagaimana mestinya. Pikiran mereka seakan di-setting hanya untuk menerima fakta yang sesuai dengan sikap dan tindakannya, betapa pun rendah kualitasnya. Pada saat yang sama, pikiran itu mengembangkan mekanisme pertahanan untuk menolak fakta lain yang mengancam pendapatnya, betapa pun validnya realitas dari fakta tersebut terhidang dihadapannya.

Para psikiater di rumah sakit jiwa pada umumnya  mendiagnosis penderita skizofrenia melalui fitur-fitur kebahasaan. Bagi mereka, bahasa merupakan alat utama resepsi dan ekspresi si penderita. Melalui bahasa, seorang pasien mengumpulkan simbol-simbol sekaligus mengungkapkan gagasannya. Ia dapat dideteksi memiliki kecenderungan menilai sesuatu yang dijadikan obyeknya

Objek yang tak disukainya dianggap sesuatu yang jahat dan cenderung mencelakakan dirinya. Penderita skizofrenia akut, tidak lagi mampu melihat segala sesuatu secara objektif, bahwa realitas kehidupan ini begitu kompleks, dan dinamis tidak akan diakuinya.

Segala sesuatu seakan sudah final baginya, mandek, statis, dan pintu ijtihad sudah tertutup tak ada pilihan atau alternatif lainnya. Tak ada penafsiran lain dalam pandangan yang dianggap benar selain daripada penafsirannya, atau penafsiran dari orang yang dianggap guru sucinya.

Perspektif tunggal seperti itu membuat seorang penderita skizofrenia mudah terjerumus kepada aksi-aksi diluar nalar dan logika serta cenderung memaksakan kehendaknya. Di samping mudah terhasut dan terbawa arus, dirinya sudah terpatri suatu pandangan dan paham yang bersifat hitam-putih belaka.

Terhadap objek yang dicintainya, ia cenderung mengultuskan secara berlebihan bak seorang “dewa” pujaannya. Sementara itu, terhadap objek yang tak disukainya, hujatan dan caci maki akan terus berhamburan keluar dari mulutnya. Penyakit sosial ini cukup membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menjangkiti Elit Politik dan Pendukungnya ?

Di negeri ini, khususnya pada perhelatan pemilu akbar beberapa waktu lalu, telah muncul gejala skizofrenia menjangkiti elite bangsa dan pendukungnya.  Bahkan disinyalir `delusi massal` karena gejala skizofrenia ini sudah merambah ke segenap lapisan masyarakat, tak terkecuali kaum akademisi yang biasanya mengagung agungkan nalar dan logika.

Menurut Taufiq Pasiak, selaku dosen kedokteran Universitas Sam Ratulangi, sistem perpolitikan kita telah menciptakan delusi bukan hanya pada satu dua orang, melainkan juga pada sebagian masyarakat bangsa.

Biasanya ketika hajatan  politik digelar, banyak elite politik  dan para pengikutnya yang berhalusinasi dan berdelusi hingga mencederai nalar dan logikanya. Nalar pun terperosok begitu dalam sampai sampai berita hoaks dianggap sebagai kabar baik dan dipercaya. Disebar kemana mana supaya mendapatkan dukungan dan menambah simpatisannya.Mereka semua sedang menderita salah satu gejala skizofrenia yaitu berhalusinasi dan berdelusi yang tidak sesuai dengan fakta.

Halusinasi adalah membayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada wujudnya. Orang-orang yang berhalusinasi biasanya paranoid dan solusi atas bayangannya sendiri  dengan menganggap dirinya paling benar dan menyalahkan yang lainnya.

Kelompok orang seperti ini kalau sudah terpojok, mereka minta dikasihani, dan akan memposisikan dirinya sebagai korbannya (playing victim). Jika diabaikan, apalagi disudutkan, mereka akan mengungkapkannya dengan marah dan menuduh orang yang tidak memberikan dukungan telah melakukan penzoliman terhadap dirinya.

Jika tidak disadarkan dan ditangani secara khusus, orang-orang atau komunitas seperti ini akan menganggap teman-temannya sendiri atau orang di luar kelompoknya sebagai musuh yang setiap saat dianggap akan membunuhnya atau mengakhiri kariernya.

Dalam konteks politik dan kebijakan, skizofrenia yang menjangkiti  elite bangsa dan pendukungnya bisa berwujud sebuah  halusinasi  yang memunculkan  sebuah keyakinan berlebihan terhadap suatu hal pada hal secara nalar dan logika tidak nyata atau tidak akan mungkin bisa diwujudkannya.

Kiranya banyak contoh contoh kebijakan yang terindikasi para pelakunya dihinggapi gejala skizofrenia ini ketika mutuskan kebijakannya. Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu elite politik begitu yakin mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty karena kebijakan itu dinilai ampuh untuk menarik uang orang Indonesia yang ada di mancanegara agar penerimaan negara meningkat jumlahnya.

Pada hal belajar dari sejarahnya, kebijakan ini selalu mentok tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.Kegagalan pertama terjadi pada tahun 1964 dan  kembali terulang pada tahun 1984 serta tahun 2001.

Karena itu  ketika elite politik memasukkan Rancangan Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, banyak pihak yang menentangnya.

Mereka yang menolak menilai bahwa UU Pengampunan Pajak justru akan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Partai Gerindra yang saat itu diwakili ole Supratman Andi Agtas menegaskan sikap fraksinya untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

"Kalau Partai Gerindra sudah memutuskan itu. Rapat fraksi yang dilakukan kemarin menolak RUU Tax Amnesty," papar Supratman kepada awak media di kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2016).

Ia menjelaskan alasan penolakan terhadap UU Tax Amenesty karena menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Ia mengkritisi sikap pemerintah yang terlalu optimis terhadap penerimaan negara tanpa melakukan pembenahan dini di sektor pajak.

"Ini menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, ini koreksi bagi pemerintah yang terlalu optimis terhadap penerimaan negara. Padahal harus pembenahan dari awal. Pemerintah dalam hal ini adalah Dirjen Pajak," lanjutnya.

Meskipun banyak kritikan disampaikan yang mengindikasikan adanya  penolakan terhadap RUU ini namun kebijakan itu berjalan terus sampai kemudian diketahui bahwa kebijakan pengampunan pajak ini benar benar terbukti gagal alias tidak mencapai tujuannya.

Bahkan karena kegagalan ini, oleh ekonom senior, Rizal Ramli, kebijakan pengampunan pajak yang didorong oleh Sri Mulyani ini disebutnya sebagai kebijakan konyol. Pasalnya, pelaksanaan kebijakan  tax amnesty  terbukti tidak mampu mendongkrak penerimaan pajak nasional.

Pria yang biasa disapa RR mengungkapkan kegagalan tax amnesty di mana capaian rasio jumlah pajak (tax ratio) dari 2010-2018 terus mengalami penurunan yang semua 9,52 persen menjadi 8,85 persen.

Data tersebut, kata dia, hanya rasio pajak, tanpa dihitung dengan bea dan cukai serta royalti dari SDA migas dan tambang. Sedangkan, tax ratio keseluruhan turun dari 13,61 persen pada 2010 menjadi 11,45 persen pada 2018.

“Logikanya, setelah dilaksanakan tax amnesty, basis pajak nasional meningkat dan rasio pajak juga meningkat. Kok malah ada tax amnesty makin merosot, harusnya ada tax amnesty yang gede, kok hasilnya gini,” terangnya sebagaimana dikutip nusantaramews 12/8/2019.Kenyataan itu membuat RR khawatir program tax amnesty jilid II justru akan membuat semakin rusak pendapatan pajak nasional yang berimbas pada ekonomi Indonesia.

Meskipun terbukti gagal, tapi anehnya kebijakan tax amnesty ini konon akan dilakukan lagi untuk tahap berikutnya.Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memberi sinyal akan adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II. Dia mengungkapkan, banyak pengusaha yang curhat menyatakan penyesalannya karena tidak sempat ikut Tax Amnesty jilid I.

Mungkin dalam benak pengambil kebijakan dengan adanya program tax amnesty terbayang dikepalanya para wajib pajak terutama yang ada dimancanegara akan berbondong bondong mengikuti programnya.

Sehingga akan ada “banjir”uang  yang akan masukk sehingga bisa mengisi kas negara. Pada hal kenyataannya hal ini tidak terjadi karena sebab tidak diikuti dengan pembenahan sektor pajak misalnya dengan membuka data wajib pajak persyaratan lainnya.

Dalam hal ini sudah muncul adanya indikasi terjangkitnya penyakit skizofrenia pada diri elit politik  pengambil keputusan karena adanya halusinasi  yang memunculkan sebuah keyakinan berlebihan terhadap suatu hal pada hal secara nalar dan logika tidak nyata atau tidak akan mungkin bisa diwujudkannya. Pada hal sebelum sebelumnya kebijakan serupa sudah dijalankan dan telah terbukti gagal tapi kegagalan itu tetap di ulanginya dengan pedenya.

Contoh lain adalah berkaitan dengan adanya kebijakan untuk merevisi UU KPK. Pada waktu digulirkan adanya gagasan untuk merevisi UU KPK oleh Pemerintah bersama sama dengan DPR, banyak elemen masyarakat yang menolaknya.

Bahkan elemen mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia ikut menyuarakan aspirasinya melalui unjuk rasa. Mereka menolak adanya upaya untuk mengamputasi KPK melalui revisi UU KPK.

Tetapi suara suara dari mahasiswa itu dianggap sepi oleh pihak yang mengusung keinginan untuk merevisi UU KPK. Dibenak mereka yang pro revisi UU KPK, lembaga KPK akan  menjadi kuat dan moncer kinerjanya kalau di revisi UU yang melandasi kewenangannya. Alasan ini bahkan didukung juga oleh kalangan kampus yang merasa sangat yakin bahwa KPK akan lebih kuat kalau di revisi Undang Undangnya.

Pada hal jelas jelas dengan revisi UU KPK, banyak kewenangan KPK yang “dipreteli” sehingga secara logika tidak mungkin KPK akan menjadi kuat dan mampu optimal menjalankan tugasnya.

Tetapi alasan alasan seperti ini tidak diterima dan tidak masuk logika mereka yang mengusung agenda perubahan UU KPK. Karena di benak kepala mereka, KPK tela dikuasai oleh kelompok Taliban yang menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Terbukti kemudian setelah revisi UU KPK, lembaga itu menjadi limbung tidak berdaya. Kebiasaan KPK yang selalu mampu melakukan tangkap tangan pelaku korupsi saat ini tidak lagi terdengar beritanya. Bahkan ada yang menyebut  KPK yang di kompleks kuningan itu kini seolah olah  sudah menjadi cabang Mabes Polri saja.

Semua itu terjadi karena para elit politik beserta pendukungnya yang ngotot mau melakukan revisi UU KPK sudah dihinggapi halusinasi dan delusi bahwa KPK akan menjadi kuat kalau direvisi Undang Undangnya.

Masukan dan kritik dari pihak lain tidak pernah didengar suaranya karena menanganggap suara kelompoknya yang paling benar dan harus jalankan sesuai dengan kemauannya.

Gejala terjangkitnya penyakit skizofrenia telah menyebabkan sebuah kebijakan yang seharusnya ditolak oleh elit politik dan pendukungnya justru malah diterima dan diperjuangkan pemberlakuannya.

Penyakit skizofrenia ini juga muncul manakala elite politik dan pendukungnya merasa terancam eksistensinya sehingga kemudian mereka berhalusinasi  bahwa ada kelompok tertentu yang akan bertindak radikal dan intoleran karena dianggapnya akan merubah Pancasila dan memberontak kepada negara. Mereka kemudian berjuang untuk bisa membubarkan ormasnya dan melabelinya sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

Pada hal senyatanya organisasi yang dinilai radikal dan intoleran itu sedang menjalankan perintah syariat agamanya sesuai sila pertama Pancasila. Mereka belum terbukti melakukan pemberontakan sebelumnya dan tidak ada tanda tanda yang masuk akal kalau mereka akan melakukan aksinya. Mereka tidak mempunyai senjata hanya menjual “ideology” yang selama ini cuma dijadikan  bahan diskusi diskusi dikalangan penganutnya.

Tetapi elite politik yang sudah dijangkiti penyakit skizofrenia merasa sangat kuatir sehingga berusaha keras untuk membendung pengaruh bahkan berusaha menghilangkan eksistensinya. Menghilangkan sebuah gerakan yang dicurigainya meskipun bukti buktinya tidak ada.

Para elite politik dan pendukungnya yang terjangkiti penyakit skizofrenia ini bahkan sudah berhalusinasi terlalu jauh akan adanya upaya upaya sebuah ormas yang akan “mensyuriahkan” Indonesia sehingga harus diwaspadai dan dipandang curiga.

Pada hal dengan dengan cara apa kelompok yang dibencinya itu akan merubah Pancasila dan melakukan  makar terhadap negara ? Mensyuriahkan Indonesia ?. Tidak pernah dijelaskan atau diadili untuk mengetahui duduk perkaranya. Bandingkan dengan sebuah Parpol yang hampir  berhasil meloloskan RUU Haluan Idiologi Pancasila. Dimana melalui RUU ini Pancasilla potensial diganti menjadi trisila dan ekasila.

Belakangan halusinasi dan delusi ancaman itu mulai disematkan juga kepada gerakan 212. Gerakan ini oleh pendukung elite penguasa khususnya dilabeli sebagai bagian dari kelompok yang dianggap radikal dan intoleran setelah kepulangan tokoh utamanya dari mancanegara.

Keinginan untuk mereka melakukan reuni 212 terancam gagal karena stigma radikal yang disandangnya selain karena pandevi  virus corona. Pada hal fakta sudah menunjukkan berkali kali mereka berkumpul dan bereuni hingga menghadirkan jutaan massanya tetap berlangsung damai, tertib tidak menyusahkan sesama.

Gejala adanya halusinasi dan delusi yang menjadi bagian dari ciri ciri para pengidap penyakit skizofrenia nampaknya juga sedang melanda elite politik bangsa dan pendukungnya terkait dengan pembahasan RUU Omnibuslaw cipta kerja.

Mereka kini sedang berhalusinasi dengan disahkannya RUU Omnibuslaw cipta kerja. Dengan disahkannya UU Cipta kerja mungkin di kepalanya sedang terbayang akan datangnya investor investor dari manca negara yang berujung pada tersedianya jutaan lapangan kerja di Indonesia.

Apakah memang demikian kenyataannya ? Sehingga RUU Omnibuslaw cipta kerja ngotot disahkan meskipun ditolak dimana mana karena secara prosedur dan subtansi tidak tepat adanya ?

Dengan berkaca pada revisi UU KPK, tax amnesty dan yang lain lainya, seperti harapan omnibuslaw cipta kerja bakal  menjadi “dewa penolong” bagi penyelamatan ekonomi Indonesia bakalan menjadi pepesan kosong belaka.

Sebuah angan angan yang terlalu jauh dari fakta  karena bukti bukti dan pengalaman sebelumnya sudah menunjukkanya yang sebenarnya. Apakah ngototnya para elite bangsa dan pendukungnya untuk mendorong diberlakukannya kebijakan kebijakan bernuasa halusinasi dan delusi itu muncul karena mereka memang sedang mengidap penyakir skizofrenia ?