Analisa Hukum Pertanggungjawaban Jebloknya Investasi Telkom di Tiphone

Jakarta, law-justice.co - Untuk memperkuat ekosistem bisnis mobile, PT Telkom Tbk melalui anak perusahaannya PT. Pramindo Ikat Nusantara (PT. PINS),  telah melakukan investasi  pada PT. Tiphone Mobile Indonesia (TELE). Investasi itu dilakukan diantaranya guna mendukung penetrasi smartphone untuk mempercepat pertumbuhan bisnis digital. Selain itu mendukung penguatan jalur distribusi voucher pulsa pada bisnis Telkomsel.

Kasus ini bermula dari suntikan dana pinjaman Rp 400 miliar dari Telkom (melalui anak perusahaannya PT. PINS)  kepada PT Tiphone dalam empat tahap, masing-masing Rp100 miliar. Keputusan itu, dilakukan oleh Senior Vice President Bisnis Control PT Telkom Tbk, Edi Witjara di tahun 2014 (Saat ini menjabat Direktur PT Telkom). Belakangan diketahui kebijakan penyuntikan dana tersebut tanpa izin direksi dan komisaris Telkom.

Baca juga : Diungkap Mahfudz Siddiq, Gelora Tegas Tolak PKS Gabung Koalisi Prabowo

Akibatnya dari penggelontoran dana pinjaman Rp 400 miliar kepada Tiphone yang saat itu kinerja keuangannya sedang bermasalah, maka Telkom dihadapkan pada situasi harus mengakuisisi saham berkode TELE (Tiphone).

Jadi alih alih investasi itu mendatangkan keuntungan bagi PT. Telkom, yang terjadi malah bunting. PT Telkom melalui anak perusahaannya PT. PINS malah harus menelan pil pahit karena PT Tiphone Mobile Indonesia gagal bayar obligasi ratusan miliar rupiah kepada beberapa obligor. Efeknya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan aktivitasnya di lantai bursa sejak awal Juni 2020. 

Baca juga : Kejagung-KPK Didesak Usut Rumor Korupsi Rafael Alun Rp3.000 Triliun

Penghentian ini telah menyebabkan para pemegang saham merasa dirugikan karena tidak dapat menjual sahamnya.BEI menilai ada potensi masalah yang menyebabkan keraguan kelangsungan usaha dari TELE atau PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk.

Kalau sudah begini kejadiannya lalu bagaimana tanggungjawab hukum PT. Telkom dan Direksi serta komisarisnya selaku perusahaan induk yang mempunyai anak perusahaan yaitu PT PINS  dimana karena “ulahnya” melakukan investasi di PT. Tiphone telah menyebabkan timbulnya kerugian bagi negara dan hilangnya uang rakyat?

Baca juga : Anies Mau Terima Tawaran Menteri Jika Dibolehkan Lakukan Hal-hal Ini

Analisis Hukum Masalah  Investasi PT. Telkom di PT. Tiphone

PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk  adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa layanan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan jaringan telekomunikasi di Indonesia. Pemegang saham mayoritas Telkom adalah Pemerintah Republik Indonesia sebesar 52.09%, sedangkan 47.91% sisanya dikuasai oleh publik. Saham Telkom diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode “TLKM” dan New York Stock Exchange (NYSE) dengan kode “TLK”.

Selanjutnya untuk dapat mengoptimalkan perannya agar  mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi yang semakin terbuka dan kompetitif, PT. Telkom sebagai salah satu  BUMN  yang juga sebagai salah satu pilar ekonomi dalam menjalankan kegiatannya dapat membentuk sebuah ‘anak perusahaan’ atau ‘subsidiary’. 

Hal tersebut  sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri BUMN 3/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut Permeneg BUMN 3/2012), disana ditegaskan  bahwa  “Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN”. 

Pembentukan anak perusahaan BUMN makin marak ketika  akhir tahun 2016 lalu , Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas. yang tujuannya, untuk menguatkan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN.

Salah satu poin penting dalam PP ini adalah pengaturan pembentukan perusahaan induk BUMN. Dengan pengaturan kembali mengenai Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pengalihan saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, BUMN dapat melakukan ekspansi lebih leluasa dengan membentuk holding company. 

Dalam pengalihan saham tersebut pun tidak perlu menggunakan mekanisme APBN yang cenderung lama karena harus melalui persetujuan DPR. Mekanisme APBN yang panjang dalam ekspansi bisnis tentu akan menjadi hambatan. Hal ini diatur dalam pasal sisipan, yaitu Pasal 2A dan perubahan pada penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruf d.

Seperti halnya BUMN lain, PT. Telkom  telah memanfaatkan peluang ini  dengan membentuk anak perusahaan dimana salah satunya  bernama PT. PINS. PT PINS adalah perusahaan anak usaha Telkom yang bergerak di bidang perdagangan Customer Premises Equipment (CPE). PT Pins aktif dalam bisnis integritas perangkat, jaringan, sistem, proses dan Internet of Things (IoT). Bisnis intinya adalah menyediakan berbagai peralatan sarana teknologi, informasi dan komunikasi serta sarana IoT (Internet of Things). Pelanggannya, korporasi, UKM serta institusi pemerintahan.

Meskipun BUMN seperti PT. Telkom diberikan jalan untuk membentuk anak perusahaan, namun akhir akhir ini mulai ada kebijakan untuk membatasi pembentukan anak perusahaan di BUMN. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memperketat perizinan pembentukan anak perusahaan di BUMN. Penegasan ini dilakukan melalui penerbitan Keputusan Menteri (Permen) BUMN Nomor SK-315/MBU/12/2019 tanggal  12 Desember 2019 lalu.

Pembentukan anak anak perusahaan oleh BUMN belakangan  memang banyak menimbulkan masalah diantaranya karena diduga menjadi sarana untuk mengeruk keuangan negara melalui permainan yang dilakukan oleh para koruptor. Mungkin karena persoalan ini pula yang akhhirnya mendorong Menteri Erick Thohir membatasi pembentukan anak anak perusahaan di BUMN.

Salah satu modus bancanakan keuangan negara melalui BUMN yang membentuk anak anak perusahaan itu diduga dilakukan dengan kedok “investasi” di perusahaan lainnya. BUMN yang pendanannya berasal dari keuangan  negara dan publik di manfaatkan potensi keuangannya untuk berbisnis melalui anak anak perusahaan yang dibentuknya. 

Berdasarkan peraturan yang ada memang dijelaskan bahwa saham yang ada pada anak perusahaan BUMN berasal dari BUMN dan juga publik, sehingga  sejauh ini masih belum jelas sebenarnya bagaimana status anak perusahaan BUMN ini, apakah kepemilikan anak perusahaan BUMN ini murni berdasarkan kepemilikan sahamnya  (dimana selain negara publik juga bolehmemilikinya) ataukah sama statusnya dengan BUMN yang dimiliki oleh Negara. Hal ini perlu lebih diperhatikan, mengingat adanya perbedaan aturan antara perseroan terbatas sebagai BUMN dan perseroan terbatas sebagai milik swasta.

Perbedaan pengaturan itu tentu akan berimpilikasi pada konsekuensi pertanggungjawaban hukumnya yaitu pertanggungjawaban hukum yang harus ditanggung oleh induk perusahaan (dalam hal ini PT. Telkom) dan pertanggungajwaban hukum yang harus ditanggung oleh anak perusahaan (yaitu PT. PINS).

Selanjutnya sebagaimana diketahui bersama dalam rangka pengembangan bisnisnya, PT. PINS sebagai anak perusahaan PT. Telkom telah berinvestasi di PT. Tiphone yang berakhir dengan adanya kerugian. Karena permasalahan ini maka menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauhmana tanggungawab hukum daripada PT. Telkom terhadap PT. PINS yang karena “ulahnya” telah menimbulkan kerugian bagi PT. Telkom ?

Untuk mengkaji permasalahan tersebut kiranya kita perlu menelaan dahulu pengaturan mengenai Perseroan Terbatas atau PT itu sendiri.Pengaturan secara umum tentang Perseroan Terbatas secara yuridis diatur dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Undang UUPT), Pasal 1 ayat (1) UUPT menegaskan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk dapat disebut sebagai perusahaan PT menurut UUPT harus memenuhi unsur-unsur:

  1. Berbentuk badan hukum, yang merupakan persekutuan modal;
  2. Didirikan atas dasar perjanjian;
  3. Melakukan kegiatan usaha;
  4. Modalnya terbagi saham-saham;
  5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Sehingga Perseroan Terbatas Merupakan Persekutuan modal dan pembentukan Perseroan Terbatas tersebut harus berdasarkan perjanjian, ini artinya adanya minimal dua orang sebagai Pemberi Modal (pemegang saham) atau lebih, yang sepakat bersama-sama mendirikan suatu Perseroan Terbatas yang dibuktikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, tersusun dalam anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat didepan notaris. 

Perseroan Terbatas merupakan Perusahaan yang oleh Undang-Undang dinyatakan sebagai Perusahaan yang berbadan Hukum. Dengan status yang demikian itu, PT menjadi subyek Hukum yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, sebagai Badan Hukum, PT memiliki kedudukan mandiri yang tidak tergantung kepada pemegang sahamnya. Dalam PT hanya organ yang dapat mewakili PT atau Perseroan yang menjalankan Perusahaan. Hal ini berarti PT dapat melakukan perbuatan-perbuatan Hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau hutang (bertindak dengan perantaraan pengurusnya).

Pada dasarnya Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum memiliki kekayaan terpisah dari Kekayaan Para Pemegang sahamnya, inilah salah satu ciri dari Perseroan Terbatas, adanya harta kekayaan yang terpisah mengandung arti dalam bidang hukum perdata adalah ditujukan apabila dikemudian hari timbul tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi perseroan tersebut, maka tanggung jawab harta kekayaan semata-mata pada harta kekayaan yang ada pada perseroan itu. 

Hal inilah yang disebut sebagai Prinsip tanggung jawab terbatas dalam Perseroan Terbatas. Tanggung jawab terbatas tersebut dengan menetapkan bahwa Pemegang Saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya, Pasal 3 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.” 

Berdasarkan aturan tersebut dapat terlihat tanggung jawab terbatas Pemegang Saham antara lain:

  1. Pemegang saham Perseroan, tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan maupun atas kerugian yang dialami Perseroan
  2. Risiko yang ditanggung pemegang saham, hanya terbatas pada investasinya atau tidak melebihi saham yang dimilikinya pada Perseroan.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipahami bahwa pemegang saham pada prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atau secara individual atas utang maupun kegiatan Perseroan baik yang timbul dari kontrak maupun transaksi-transaksi yang dilakukan Perseroan. Dengan demikian maka melalui prinsip Tanggung Jawab Terbatas pemegang saham tidak perlu memikul resiko atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan hingga menjangkau harta pribadinya dan bebas dari segala tuntutan maupun gugatan atas pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh tindakan Perseroan. 

Namun yang menjadi menarik adalah hubungan antara perusahaan induk dengan anak perusahaan, dalam hal ini UUPT tidak memuat pengertian induk perusahaan ataupun sebab lahirnya anak perusahaan, sehingga pengertian yang dapat digunakan adalah doktrin dari pakar maupun pengertian yang terdapat dalam literatur-literatur yang ada. Anak perusahaan adalah perusahaan yang lebih dari separuh sahamnya dimiliki oleh perusahaan lain atau sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan lain. Perusahaan lain itu disebut perusahaan induk atau induk perusahaan.

Sementara yang dimaksud dengan perusahaan induk adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.Sehingga secara harfiah dapat dipahami bahwa perusahaan induk dan anak perusahaan ada hubungan subordinasi yaitu perusahaan induk membawahi anak perusahaan, karena pada dasarnya anak perusahaan dibentuk sesudah terbentuknya perusahaan induk, serta dibentuknya anak perusahaan untuk menjalankan bisnis perusahaan induk secara lebih luas.

Namun, hal tersebut tidak berlaku secara mutlak, karena sebuah perusahaan dapat dikategorikan sebagai perusahaan induk apabila perusahaan tersebut memiliki saham dalam sebuah perusahaan lain (perusahaan anak), kepemilikan saham tersebut dapat dilakukan karena adanya transaksi jual beli saham yaitu Perusahaan Induk membeli saham yang ada dalam anak perusahaan, maupun karena Perusahaan Induk tersebut bekontribusi terhadap pembentukan Perusahaan Anak (anak perusahaan) tersebut.

Secara yuridis ketika Perusahaan Induk tersebut berkontribusi sebagai pendiri, maka Perusahaan Induk tersebut wajib mengambil bagian saham pada saat Anak Perusahaan tersebut didirikan.

Konstruksi hukum antara Perusahaan induk dengan Anak Perusahaan dalam UUPT yang menggunakan prinsip hukum mengenai kemandirian badan hukum, seperti juga perusahaan holding yang merupakan suatu badan hukum yang mandiri dan terpisah dengan badan hukum lainnya, maka anak perusahaan juga pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas, yang tentu juga mempunyai kedudukan yang mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri. Dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara yuridis dengan harta kekayaan pemegang sahamnya.

Namun yang menjadi menarik apabila Perusahaan Induk  tersebut merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau dengan kata lain BUMN tersebut sebagai perusahaan induk dan memiliki anak perusahaan. Sebagai contoh dalam kasus pailitnya PT. Tiphone pada hal PT. Telkom melalui anak perusahaannya yaitu PT. PINS berinvestasi disana. Apakah PT. Telkom sebagai induk perusahaan secara otomatis akan bertanggung jawab atas “ulah” yang dilakukan oleh PT. PINS ?. 

Apabila dilihat dari konstruksi BUMN sebagai badan Hukum yang notabenenya sebagian atau seluruh sahamnya milik Negara, maka status anak Perusahaan BUMN bukanlah sebagai BUMN karena saham anak Perusahaan BUMN tersebut tidak berasal dari Negara karena yang disebut sebagai BUMN berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan

Melihat pengertian BUMN tersebut, ditegaskan bahwa BUMN mempunyai modal berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN atau perolehan lainnya yang sah dan dijadikan penyertaan modal negara kepada BUMN secara korporasi. 

Menempatkan kekayaan negara untuk dikelola secara korporasi menghasilkan manfaat bagi peningkatan perekonomian Negara. Sementara apabila dibentuk anak perusahaan BUMN dan adanya penyertaan modal dari BUMN sebagai Perusahaan Induk, itu artinya Modal tersebut Bukan berasal dari Negara, melainkan Berasal dari BUMN tersebut yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) sebagai badan Hukum yang memiliki kekayaan terpisah dari pemegang saham.

Berdasarkan Konstruksi hukum tersebut dapat diartikan Bahwa BUMN sebagai Badan Hukum apabila membentuk anak perusahaan serta memiliki saham didalam anak perusahaan tersebut, sehingga kepemilikan saham terhadap anak perusahaan tersebut berasal dari kekayaan BUMN maka dapat dikatakan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN, sehingga tidak tunduk pada Undang undang BUMN, melainkan tunduk Kepada UUPT.

Adanya prinsip separated entity  (atau pemisahan kekayaan) dalam suatu PT  memberikan dampak ketika sebuah perusahaan memiliki anak perusahaan. Ketika sebuah perusahaan membentuk anak perusahaan, maka penyertaan modal kepada anak perusahaan tersebut adalah berasal dari kekayaan perusahaan, bukan dari pemegang modal dari perusahaan induk.Hal itu menimbulkan terjadinya perbedaan pertanggungjawaban antara perusahaan induk dan anak perusahaan. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah kepada siapa perusahaan tersebut mempertanggungjawabkan segala kegiatan usahanya.

Hubungan hukum yang timbul antara induk perusahaan dengan anak perusahaan merupakan hubungan antara pemegang saham dengan perusahaan. Keikutsertaan perusahaan induk bertanggungjawab terhadap kerugian anak perusahaan apabila terdapat dominasi induk perusahaan terhadap anak perusahaan, adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dan adanya unsur kerugian dari pihak lain. 

Bentuk tanggungjawab perusahaan induk terhadap anak perusahaan dapat berupa tanggung jawab secara pribadi, tanggung renteng dan tanggung jawab sampai batas-batas tertentu. Perkembangan yang konsisten tentang apa yang dianggap merupakan kewenangan umum dari perusahaan yang umumnya diatur dalam perundang-undangan dibidang perusahaan, dan dikonkretkan dalam anggaran dasar perusahaan tersebut. 

Menjadi permasalahan ketika PT. Telkom yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki anak perusahaan yaitu PT. PINS yang sahamnya berasal dari PT. Telkom dimana PT. Telkom adalah BUMN milik negara yang sahamnya dimiliki oleh negara dan publik .  Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN dinyatakan tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.

Hal ini  telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan negara.

Meskipun UU Nomor 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, namun ketentuan tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum privat dan teori transformasi keuangan negara. 

Pandangan tersebut menyatakan bahwa dengan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh sistem pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut.Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara dari APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus terhadap aliran keuangan negara tersebut .

Dalam hal ini perlu ada penegasan bahwa Negara berkepentingan untuk mengamankan uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi maupun penyertaan modal. Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya aliran keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit BPK. BPK dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ tinggi negara dengan fungsi auditif.

Selain itu, dengan prinsip “hak preferensi Negara”, negara tak boleh kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang harus selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus pengelolaan APBN.

Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan “teori sumber” sebagai salah satu teori klasik dalam pengelolaan keuangan negara, yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban APBN. Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD RI 1945. 

Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. Hal ini sekaligus juga meruntuhkan konsep sumir bahwa melalui privatisasi BUMN telah terjadi transformasi keuangan negara menjadi uang privat dalam wadah BUMN persero yang seakan-akan tak terjamah lagi oleh sistem pengawasan negara. 

Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu untuk melakukan berbagai praktik koruptif dengan membingkainya menjadi risiko bisnis. BUMN didirikan oleh negara dan tak boleh sekadar hanya berorientasi profit semata karena Pasal 33 harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN.

BUMN dalam perspektif konstitusi harus tetap menjadi agen pembangunan untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Putusan Mahkamah Agung No 1863/K/Pid.Sus/2010 sebelumnya telah menjadi yurisprudensi yang menjadi rujukan bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan rupiah uang negara yang disalahgunakan pengelolaannya oleh beberapa BUMN. 

Dengan adanya putusan MK dan putusan MA tersebut, seharusnya tak perlu lagi keuangan negara di BUMN diperdebatkan status hukum publiknya, apalagi dengan motif tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari wilayah abu-abu dalam pengelolaannya. 

Sehubungan dengan hal tersebut kita patut mengapresiasi langkah KPK yang mulai 22 Oktober 2020 lalu  telah membuka penyelidikan terkait dugaan korupsi di PT Pramindo Ikat Nusantara (PINS), anak usaha PT Telkom. Dalam pengusutan kasus ini, lembaga antirasuah itu mengaku bekerjasama dengan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam hal ini KPK telah memeriksa mantan Direktur PT PINS Indonesia, Slamet Riyadi pada Kamis, 1 Oktober 2020  lalu .  Semoga saja pemeriksaan ini terus berlanjut sampai ditemukan tersangkanya maupun pihak pihak lain yang turut serta bermain di dalamnya. Karena jangan sampai BUMN terus terusan dijadikan sebagai lahan untuk bancakan uang negara melalui pembentukan anak anak perusahaan yang ujung ujungnya rugi karena adanya dugaan “permainan sulap” didalamnya.

Penting juga  untuk menelusuri adanya sinyalemen yang menyatakan bahwa kebijakan penyuntikan dana tersebut tanpa izin direksi dan komisaris Telkom karena hal ini akan berkaitan erat dengan konsekuensi pertanggungjawaban hukumnya. Apakah suntikan dana dari PT. PINS ke PT. Tiphone itu murni kebijakan jajaran PT. PINS saja atau melibatkan petinggi PT. Telkom ? ini yang perlu diselidiki juga.

Memang harapan untuk penegakan hukum kasus kasus bancakan uang negara di BUMN akhir akhir ini seperti menegakkan benang basah saja apalagi ditengah kondisi mandulnya kelembagaan KPK setelah diamputasi melalui revisi Undang Undangnya. Tapi sebagai masyarakat yang menginginkan terwujudnya keadilan dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, harapan itu harus tetap menyala meski sering berakhir kecewa.