Mahatir Ungkap Trik Licik China Kasih Pinjaman, Demi Rebut Aset Negara

Jakarta, law-justice.co - China dikenal kerap gampang memberikan pinjaman kepada negara lain yang sedang mengalami kesulitan. Namun, langkah itu adalah sebuah trik licik pemerintah China untuk merampas aset dari negara peminjamnya, karena besarnya pinjaman dan bunganya tak lagi bisa dilunaskan.

Trik licik China ini diungkapkan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir bin Mohamad. Oleh karena itu, dia pun pernah memebreikan peringatan kepada setiap negara yang ingin meminjamkan uang dari China.

Melansir intisari.grid.id, Mahathir mengatakan utang dari China adalah sebuah jebakan. Sebab, dirinya pernah mengalami hal itu.

Saat Mahathir masih menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia, dia pernah berkata jika tak bisa melunasi utangnya maka negara pengutang akan berada di bawah kontrol China.
Waktu itu Malaysia di bawah kontrol China karena pemerintahan Najib Razak mengambil pinjaman ke Negeri Tirai Bambu namun tak bisa dilunasi malah dikorupsi.

Agar terhindar dari kendali China, Mahatir pun rela berutang ke Jepang. Pinjaman dari Jepang itu disebut Mahatir untuk membayar utang Malaysia dari China.

Karena tak mau negara lain mengalami hal serupa, Mahathir pun memeringatkan Filipina pada Tahun 2019 karena mendapat bantuan dari China. Mahathir memperingatkan agar Filipina berhati-hati mengenai potensi jebakan yang bisa menimpa mereka jika tak bisa melunasi pinjaman layaknya Malaysia.

China sedang `menjajah` negara-negara yang lebih kecil dengan meminjamkan sejumlah besar uang yang tidak akan sanggup mereka dibayar.
Tahun 2018, bahkan negara ini sudah dituduh memanfaatkan pinjaman besar-besaran agar dapat merebut aset dan membangun pangkalan militer di negara-negara kecil dunia ketiga.

Negara-negara berkembang mulai dari Pakistan hingga Djibouti, dari Maladewa hingga Fiji, semua berutang besar ke Cina. Bukan sekadar perkiraan, dilansir dari The Sun, nyatanya memang sudah ada negara yang menunggak hutang.

Negara ini juga dipaksa untuk menyerahkan kendali aset negaranya atau harus mengizinkan China untuk mempunyai pangkalan militer di negara tersebut.

Langkah China ini disebut sebagai "diplomasi jebakan utang" atau "kolonialisme utang."

Mereka menawarkan pinjaman bagi negara-negara yang tidak mampu membayar, dan kemudian menuntut konsesi ketika mereka gagal. Salah satu yang harus menanggung konsesi ini adalah Sri Lanka.

Tahun 2017 Sri Lanka menyerahkan pelabuhan ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah China dengan sewa 99 tahun.

Sementara itu, di Djibouti, tempat markas utama militer AS di Afrika, juga tampaknya akan menyerahkan kendali atas pelabuhan ke perusahaan Beijing.

Maret 2018 lalu, mantan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson mengatakan bahwa Beijing melakukan praktik peminjaman predator, dan transaksi korup untuk menjadikan negara-negara kecil terbelit utang untuk kemudian melemahkan kedaulatan mereka.

Diplomasi jebakan utang ini bahkan telah meluas hingga ke Pasifik.

Beijing membuat pulau-pulau buatan manusia di Laut Cina Selatan dan hal itu dikhawatirkan akan digunakan sebagai pangkalan militer.

Bahkan, pada April 2018 lalu China mendekati Vanuatu, negara kepulauan di Samudra Pasifik selatan untuk mendirikan pangkalan militer.

The Times juga melaporkan bahwa secara efektif China akan meningkatkan kehadiran militernya di pintu gerbang utama ke pantai timur Australia.

Di antara proyek-proyek yang didanai uang ini adalah dermaga terbesar di Pasifik Selatan yang dianggap mampu mengakomodasi kapal induk.

Lembaga think tank Lowy Institute Sydney, yang telah memantau secara dekat kegiatan-kegiatan China di Pasifik, memperkirakan Beijing telah menggelontorkan hampir 1,4 miliar poundsterling atau setara dengan Rp 27 Triliun ke negara-negara Pasifik sejak 2006.