Saat Buzzer Penguasa Kebal Hukum dan Dibiayai Negara

[INTRO]

Sebagaimana diberitakan, polisi dengan cepat menangkap pelaku pembobolan data pribadi milik Denny Siregar. Tersangka FPH (27) yang ditangkap merupakan karyawan outsourcing Telkomsel di Surabaya.
 
"Kemarin pada 9 Juli 2020 telah melakukan penangkapan pelaku di daerah Rungkut Surabaya," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiono di Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (10/7/2020).
 
Kecepatan polisi dalam menangkap pembobol data Denny mendapatkan respon dari Ketua Umum Jaringan aktivis Pro Demokrasi (ProDem) Iwan Sumule. Sumule merasa prihatin atas peristiwa itu.Dia mengatakan hal tersebut menunjukkan terjadinya ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
 
"Kembali ketidakadilan hukum terjadi. Laporan Denny diproses, sementara banyak laporan tentang Denny tak diproses. Tampaknya punya imunitas," tulisnya melalui akun Twitternya @KetumProDem seperti dikutip law-justice.co, Jumat (10/7/2020).
 
Sejauh ini Denny Siregar disebut sebut sebagai salah seorang buzzer istana yang rajin berselancar di dunia maya untuk mendukung kebijakan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Di sebuah grup media sosial Whatasapp (WA), beredar satu foto berisi deretan 5 wajah yang disebut sebagai buzzer istana. Dimana salah satu dari lima  wajah itu adalah Denny Siregar yang selama ini memang dikenal sebagai pendukung istana.
 
Menarik untuk dicermati, bagaimana sesungguhnya para buzzer ini bekerja, siapa yang membiayai kegiatan mereka?. Mengapa mereka sering disebut sebagai sampah demokrasi di sebuah negara yang merdeka ?.Benarkah mereka kebal hukum karena kedekatannya dengan penguasa ?. Menjadi buzzer yang beradab itu harusnya bagaimana  ?
 
Bagaimana para buzzer bekerja ?
 
Buzzer dalam bahasa Inggris berarti lonceng atau alarm.Di Indonesia mempunyai arti kentongan, alat tradisional digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat terdapat pengumuman atau berita penting, seperti bencana.Pada media sosial, buzzer disebut sebagai orang yang memanfaatkan akun media sosial menyebarluaskan informasi, atau berpromosi produk, jasa, kegiatan, bahkan orang atau organisasi.
 
Buzzer yang memiliki banyak teman atau pengikut (follower) akun medsos, mampu mempengaruhi follower sesuai informasi yang dia sebar, maka dia disebut influencer.Buzzer akan berpromosi secara terus-menerus melalui akun media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, tulisan (mikroblog) hingga video blog (vlog).
 
Buzzer biasanya mempunyai tarif, bukan gratisan. Semakin banyak followernya atau bisa juga influence dan engagementnya bagus, bisa kian mahal harganya.
Ternyata ada fakta mencengangkan soal buzzer yakni sebuah penelitian dari Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris membuktikan bahwa Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang terdeteksi memiliki buzzer.
 
Penelitian terbaru berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” itu mengungkap aktivitas buzzer politik sebagai penggerak isu politik yang merupakan propaganda dari pihak politikus tertentu, di media sosial Twitter, WhatsApp, Instagram dan Facebook.
Di balik perang tagar, ada peran buzzer politik untuk menaikkan isu menjadi sebuah trending topic.
 
Hal ini senada dengan kesaksian Ranger (bukan nama sebenarnya), seorang buzzer politik kepada IDN Times dalam sebuah wawancara akhir tahun lalu.Dilansir dari IDN Times, Ranger mengakui aktivitasnya di media sosial dilakukan sesuai pesanan pihak tertentu. Perang opini di media sosial untuk memunculkan suatu isu atau propaganda menjadi ladang bisnis para buzzer.
 
Laporan penelitian yang ditulis oleh Samantha Bradshaw Philip N Howard dari Oxford mengungkap bayaran yang diterima buzzer berkisar antara Rp1 juta hingga Rp50 juta.Sementara itu Ranger mengaku, honornya untuk mengerjakan proyek trending topic biasanya dibayarkan bulanan dengan nilai berkisar di atas Rp4 juta.
 
“Tapi itu mungkin kalau dua tahun terakhir. Kalau tiga tahun yang lalu, empat tahun yang lalu di atas dua, di bawah tiga juta,” tuturnya.Sistem pembayaran dan besarnya upah buzzer diklasifikasi berdasarkan tingkatan.Setingkat supervisor akan dibayar Rp 7 juta per bulan, disertai fasilitas kos atau kontrakan serta uang pulsa.
 
Kemudian, buzzer yang berada di tingkatan mandor dibayar Rp 3 juta per bulan. Untuk kasta terendah itu Rp 300 ribu. Kalau untuk customize, per hari Rp 100 ribu. Orang-orang ini dibayar karena rajin online. Tugasnya hanya untuk menyebar konten
 
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kapasitas buzzer di Indonesia tergolong kapasitas rendah. Kapasitas buzzer yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi menghentikan kegiatan sampai siklus pemilihan berikutnya.
 
Laporan itu juga menyebut buzzer di Indonesia disewa secara temporer dan melibatkan lebih banyak dari masyarakat biasa ketimbang organisasi khusus. Sementara itu, Ranger mengaku ada koordinator khusus yang mengatur satu tim.Ranger sendiri mengaku tidak mengetahui siapa-siapa saja orang di dalam timnya. “Memang tidak dibuka.
 
Jadi yang (aku) tahu paling di atasku, itu pasti tahu siapa di atasnya. Tapi kalau untuk ke atasnya lagi, biasanya terlalu banyak layer sih jadi gak bisa sampai ketahuan,” ujarnya. Dia pun mengatakan interaksi di dalam tim buzzer itu menggunakan sistem satu pintu. “Hanya dari orang satu ke orang ke dua. Kalau mau sampai orang kelima, yang bisa berinteraksi ke orang lima itu hanya orang empat,” tegas Ranger.
 
Di Indonesia, dalam laporan tersebut Oxford itu, buzzer disebut berafiliasi dengan politikus dan partai politik, serta kontraktor swasta. Masing-masing mereka terafiliasi dengan organisasi atau kelompok yang ditemukan bergerak menjadi kelompok buzzer.
 
“Salah satu fitur penting dari kampanye organisasi manipulasi media sosial adalah bahwa pasukan siber (cyber troops) alias buzzer sering bekerja bersama dengan industri swasta, organisasi masyarakat sipil, subkultur internet, kelompok pemuda, peretas (hacker) kolektif, gerakan pinggiran, influencer media sosial, dan sukarelawan yang secara ideologis mendukung perjuangan mereka,” papar laporan itu.
 
Ada 4 cara bagaimana buzzer bergerak: pertama, bot atau akun otomatis yang dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online. Kedua adalah manusia itu sendiri. Ketiga, robot, dan terakhir adalah akun yang diretas atau dicuri.
 
Di Indonesia, menurut penelitian Oxford, buzzer lebih banyak yang digerakkan oleh bot dan manusia secara langsung. Senada, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, menyebut lebih banyak akun manusia dibanding dengan akun robot pada buzzer di Indonesia.
 
Dalam laporan tersebut, ada 5 media sosial yang banyak digunakan oleh buzzer dalam memanipulasi kabar di media sosial yakni Twitter, WhatsApp, YouTube, Instagram, dan Facebook. Dalam kasus di Indonesia, buzzer menggunakan semua media sosial tersebut memanipulasi kecuali melalui YouTube.
 
Buzzer media sosial yang marak kerap dianggap sebagai penyebar berita bohong (hoaks) atau berita palsu (fake news), turut meningkatkan polemik di dunia maya.Para buzzer akan mengelola akun media sosial, lalu membuat konten serta menyebar melalui akun-akun tersebut.
 
Kata kunci dan hal terpenting bagi buzzer adalah menjalankan tugas sesuai order lalu melaporkan kepada pemesan.Jumlah akun dan seberapa luas sebaran informasi tidak sedemikian perlu.Bahkan berita bohong atau benar, bukan persoalan. Hoaks atau tidak, mereka tidak peduli, yang penting sudah kerja.
 
Meskipun tim buzzer tidak memilah-milah informasi yang akan disebarnya berdasar fakta kebenaran ataukan bohong, dalam kerja, penilaiannya akan kinerja cukup ketat. Buzzer yang tidak mendapatkan respon dari akun warga net (netizen), setidaknya sebanyak 20 akun lain dan terulang hingga lima kali, maka ia dianggap gagal dan akan sanksinya diberhentikan.Begitu juga dengan buzzer yang tidak memenuhi kuota untuk mengunggah konten.
 
Buzzer politik yang kerap menggiring opini publik di media sosial telah merusak demokrasi, bahkan tokoh nasional Rizal Ramli menilai mereka begitu berbahaya.Rizal berkata, para buzzer politik itu telah menghadirkan ilusi, mempabrikasi kebohongan demi kebohongan, memecah belah anak bangsa, dan akhirnya hanya akan merusak fondasi demokrasi.
 
“Mereka tidak banyak. Tapi ulah mereka sangat berbahaya,” kata Rizal Ramli yang juga menjadi korban buzzer politik, Sabtu (6/6/2020).
Kalau pun mau disebut sebagai ekses demokrasi, Rizal Ramli berpendapat buzzer politik adalah ekses yang tidak diharapkan. Rizal pun mengaku kerap dinasihati beberapa kawan bahwa melawan buzzer adalah perbuatan sia-sia.
 
Melawan mereka yang kebanyakan menggunakan identitas anonim dan akun palsu itu, seperti memukul angin, seperti berteriak di tengah Gurun Gobi atau gurun lainnya. Meski demikian, Rizal Ramli tetap bersikukuh.
 
“Jika buzzer politik yang dipelihara penguasa atau pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari kekuasaan adalah bubble atau gelembung. Terlihat banyak, tapi sebenarnya keropos,” lanjut Rizal Ramli yang juga mantan Anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu.
 
Dibiayai Negara ?
 
Kalau ditanyakan siapa sebenarnya penyandang dana dana atau sponsor para buzzer ini mereka umumnya tidak mau mengakuinya. Informasinya tertutup dan seringkali sengaja disamarkan untuk menutupi aktor penyandang  dana yang sebenarnya. Biasanya dana digelontorkan oleh pengusaha atas perintah / persetujuan pihak pihak yang berkepentingan dalam pertarungan politik. 
 
Selain tokoh tokoh politik yang berkolaborasi dengan pengusaha, buzzer Jokowi diduga juga disponsori oleh aparat keamanan. Polri pernah dituding membentuk tim buzzer untuk memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo - Ma`ruf Amin. Tudingan dilayangkan akun Instagram @opposite6890 dalam salah satu video yang dipostingnya.
 
Dalam video tersebut, Polri disebut membentuk tim buzzer yang terdiri dari 100 orang pada setiap Polres di seluruh Indonesia. Gerakan itu disebut dilakukan secara terorganisir di tingkat polres hingga Mabes Polri.
 
Ratusan orang itu saling mengikuti di Twitter, Facebook, dan Instagram yang berinduk pada satu akun utama yakni @alumnishambar. Akun itu mengunggah informasi berisi tudingan pada 5 Maret 2019, sekitar pukul 02.22 WIB.
 
Dengan isi sebagai berikut: “Setelah Whistleblower mengungkap bahwa Kepolisian adakan pelatihan buzzer. Di mana setiap buzzer harus instal APK Sambhar. Hasil Scan Sambhar keluar Destinasi IP 120.29.226.193. Hasil Scan IP 120.29.226.193 ternyata dimiliki Polri.” 
 
Selain itu, akun tersebut juga mengungkap Destination IP Address @Alumnisambhar dengan alamat 120.29.226.193 yang diketahui bernama Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Divisi Teknologi Informasi, Jalan Trunojoyo 3, Jakarta Selatan.
Polri pun langsung membantah kabar tersebut.
 
"Tentang @opposite6890 itu bersifat anonim. Artinya, akun itu tidak memiliki kredibilitas, tidak bisa dijadikan sebagai rujukan berita karena yang disebarkan ialah berita bohong. Yang disebarkan ialah tidak benar dan Polri netral," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Ahad, 10 Maret 2019.
 
Seiring dengan makin intensnya perhatian orang pada kiprah buzzer akhir akhir ini pada akhirnya terkuak juga bahwa para buzzer itu ada Pembina yang sekaligus juga sponsornya. Diduga KSP (Kepala Staf Kepresidenan) Moeldoko menjadi salah satu pembinanya. Moeldoko sendiri akhirnya berkomentar mengenai adanya buzzer ini. Dia menyebut buzzer ini berasal dari relawan dan pendukung Jokowi, namun tak ada yang mengomandoi.
 
"Jadi memang buzzer yang ada itu tidak dalam satu komando, tidak dalam satu kendali. Jadi masing-masing punya inisiatif, para buzzer tidak ingin idolanya diserang, disakiti, akhirnya bereaksi," kata Moeldoko, Kamis (3/10/2019).
 
Dugaan bahwa para buzzer diongkosi oleh negara ini sangat disayangkan oleh  aktivis HAM Haris Azhar. Ia menyoroti pemerintahan Jokowi karena dianggap menghamburkan uang rakyat dalam skema APBN membayar buzzer atau influencer untuk menggiring opini publik.Menurutnya, para buzzer tersebut dimanfaatkan pemerintah untuk menyerang para pengkritik di media sosial.
 
Haris menegaskan, rakyat melakukan kritik adalah mereka yang peduli terhadap negara. Semestinya kritik yang mereka sampaikan mendapat reaksi positif dari pemerintah.“Tetapi ketika ada warga yang berjuang untuk keadilan, mengkritik malah negara mengintervensi, jadi negara tidak bisa mengintervensi sampai 24 jam itu (kerja-kerja buzzer).”, tandasnya seperti dikutip reportaseindonesia.
 
Memang sangat ironis,  para buzzer itu dipelihara dan difasilitasi Istana. Mereka kerap kali diundang dan dijamu di Istana. Istana yang seharusnya menjadi pusat komunikasi publik yang berfungsi utk mendiseminasikan dan mengedukasi publik, malah berfungsi sebagai pusat hoax nasional.
 
Menjadi Sampah Demokrasi
 
Perilaku buzzer penguasa yang suka tebar fitnah dan kebencian serta diduga dibiayai oleh negara memunculkan penilaian bahwa mereka mereka adalah sampah demokrasi sekaligus pengkhianat bangsa. Keberadaan mereka akhir akihr ini terus tumbuh subur di Indonesia seiring dengan kondisi pemerintahan yang semakin jeblok kinerjanya. 
 
Peran mereka kini bukan hanya sekadar menciptakan opini dukungan untuk penguasa tapi sudah menjadi alat gebuk untuk meringkus lawan lawan politik yang tidak sejalan dengan kebijakan penguasa.
 
Hasil riset dua orang (Samantha Bradshaw dan Philip N Howard) peneliti dari Universitas Oxford, Inggris cukup mencengangkan. Riset berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation itu menguak 70 negara termasuk Indonesia, terbukti menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat.
 
Korban korban buzzer penguasa itu bukan hanya politisi yang menjadi lawan lawan politik pemerintah tetapi juga ustadz atau kyai yang suka mengomentari kebijakan pemerintah yang berkuasa. Seperti yang disampaikan oleh H Abdul Rozaq, dzurriyah muassis NU almaghfurlah KH Wahab Chasbullah, yang mengaku prihatin, karena korban buzzer bukan hanya kalangan awam saja melainkan juga tokoh tokoh agama. 
 
Menurutnya, sekarang ini tidak sedikit kiai yang ‘terkapar’ pemahamannya gara-gara buzzer penguasa. Tanda-tandanya, fanatisme mereka berlebihan terhadap berbagai hal yang berbau politik. Mereka terpapar virus yang dibuat para buzzer penguasa.“Kiai yang tidak paham medan politik, mudah ‘termakan’. Jadi korban. Kasihan!” jelasnya kepada pers, Senin (7/10/2019).
 
Target buzzer itu, jelasnya, lebih untuk kepentingan politik penguasa.  Memuja muja penguasa sambil berupaya menguliti  kiprah lawan lawan politik penguasa beserta para pengkritiknya. Mereka berupaya menumbuhkan fanatisme buta sambil mengkerdilkan logika.
 
H Abdul Rozaq menyebut ada beberapa tanda seseorang yang menjadi korban buzzer penguasa. Pertama, mereka ketakutan dengan khilafah. Padahal khilafah itu hanya bayang-bayang yang dibuat buzzer. Kedua, tidak peduli isu komunisme, sebab kader komunis inilah yang menyetir buzzer.Ketiga, warga NU ditakut-takuti jamiyahnya akan menjadi fosil.
 
Keempat, mereka merasa paling NU, sehingga nahdliyin yang tidak ikut politiknya dibatal-batalkan baiat NU-nya. Kelima, antipati kepada HTI, karena HTI yang ‘kecil mungil’ itu berhasil dibesar-besarkan oleh buzzer. 
 
Sementara itu Adhie Massardi, Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV) Indonesia, juga turut menyoroti permasalahan buzzer di negeri ini. Kehadiran para pendengung alias buzzer sangat mengganggu proses demokrasi di tanah air. Sebab, mereka muncul dengan sebaran fitnah dan ujaran kebencian.
 
Secara satire, mantan jurubicara Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid itu menguraikan bahwa seburuk-buruk sampah yang ada di muka bumi adalah sampah demokrasi. Sementara sampah terburuk dari demokrasi ada pada buzzer.“Seburuk-buruk sampah demokrasi adalah buzzer,” terangnya dalam akun Twitter pribadi, Minggu (6/10/2019).
 
Ada kandungan khusus dalam diri buzzer sehingga disebut paling buruk. Adhie menyebutnya sebagai kategori B3. “Ini sampah kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun),” urai Adhie lebih lanjut.
 
Ia memastikan bahwa kehadiran buzzer tidak memiliki manfaat. Mereka justru akan menjadi racun yang mematikan bagi masyarakat dan kehidupan demokrasi tanah air. Termasuk, berbahaya bagi majikannya sendiri di kemudian hari. Buzzer tiada guna bagi siapapun, bahkan akan segera meracuni & mematikan pemiliknya sendiri.
 
Majalah Tempo pernah menuliskan bahwa keberadaan buzzer-buzzer penguasa membahayakan demokrasi. Mereka memproduksi kabar bohong yang didengungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini publik. Dan fatalnya para pendukung Jokowi banyak yang menelan mentah-mentah semua informasi yg diciptakan para buzzer itu.
 
Jokowi memang dikenal ramah dengan buzzer. Setidaknya sejak maju Pilgub DKI Jakarta 2012. Jokowi diketahui kerap mengundang relawan, influencer, atau buzzer ke Istana Kepresidenan. Jokowi juga tecatat pernah mengundang relawan yang diisi para buzzer ke Istana Merdeka, usai dilantik sebagai presiden 2019-2024. Dalam pertemuan itu, bahkan dibicarakan soal kemungkinan gabungnya Gerindra ke dalam koalisi pemerintah.
 
Seminggu setelah pertemuan itu, muncul wacana yang bikin publik mengerutkan alis. Pemerintah menyediakan Rp72 miliar untuk menggaji para influencer dan buzzer. Mereka akan ditugaskan untuk membantu mengantisipasi menurunnya geliat pariwisata Indonesia akibat wabah virus corona.
 
Kebal Hukum
 
Para buzzer istana yang suka menebar kebencian, fitnah dan berita hoaks itu sudah berkali dilaporkan kepada pihak berwajib tapi nyaris tak satupun yang berhasil di giring ke penjara. Beberapa contoh diantaranya, Abu Janda pernah dilaporkan Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) ke Badan Reserse Kriminal Polri pada, 10 Desember 2019 lalu.
 
Ketika itu, Abu Janda dilaporkan IKAMI lantaran dinilai telah menyebarkan ujaran kebencian berkaitan dengan kicauannya di media sosial yang mengkaitkan antara agama Islam dengan terorisme. Laporan tersebut kemudian teregister dengan nomor STTL/572/XII/2019/BARESKRIM. Namun sampai sekarang tidak kedengaran bagaimana tindaklanjutnya.
 
Pada tanggal 1 November 2019 lalu, Fahira Idris, anggota DPD RI dari Jakarta, resmi melaporkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando ke Polda Metro Jaya. Pelaporan itu adalah buntut unggahan meme Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tata rias tokoh fiksi Joker, oleh Ade Armando.
 
"Foto (yang diunggah) di Facebook milik Ade Armando adalah potret Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang merupakan dokumen milik Pemprov DKI atau milik publik, yang diduga diubah menjadi foto seperti (tokoh) Joker," ujar Fahira di polda.
 
Namun sampai sekarang belum jelas bagaimana tindaklanjut kasus tersebut karena tidak ada kabar beritanya. Mengenai Ade Armando sudah berkali kali dilaporkan ke polisi karena unggahannya dimedia sosial yang dianggap mengandung ujaran kebencian, dan berita dusta.
 
Pada akhir tahun lalu,nama politisi PDIP Dewi Tanjung masuk dalam daftar trending topik di Twitter pada Sabtu (28/12/2019).Hal ini terjadi hampir bersamaan setelah ditangkapnya pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang merupakan anggota Polri aktif berinisial RB dan RM.
 
Warganet ramai-ramai menyebut nama Dewi Tanjung dalam kicauannya di Twitter. Mereka mendesak agar politikus PDIP ini ditangkap dengan menambahkan tagar #TangkapDewiTanjung dalam cuitannya. Namun seperti biasa tidak ada tindaklanjut proses hukum terhadap wanita yang dikenal sebagai pendukung berat penguasa.
 
Buzzer penguasa lainnya,Denny Siregar dilaporkan ke Polres Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan itu terkait unggahannya di media sosial yang diduga menghina santri cilik dari sebuah pesantren di wilayah tersebut. Pihak kepolisian membenarkan adanya laporan terhadap Denny. Laporan dibuat oleh Ustaz Ruslan. Namun, polisi tak merinci nomor laporannya.
 
Denny disebut dilaporkan terkait unggahannya di media sosial."Iya benar (Denny Siregar) dilaporkan, yang melaporkan adalah Ustaz Ruslan," ujar Kepala Satun Reserse Kriminal Polresta Tasikmalaya, Ajun Komisaris Polisi Yusuf Ruhiman saat dikonfirmasi wartawan, Jumat, 3 Juli 2020.Denny dilaporkan dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 
 
Sejauh mana tindaklanjut dari proses pelaporan terhadap Denny tersebut, belum jelas kabarnya. Yang ramai justru ditangkapnya pegawai Telkomsel karena dianggap membocorkan data pribadi Denny setelah beberapa hari lalu ia melaporkan kasusnya kepada polisi.
 
Itulah beberapa nama yang di sebut sebut sebagai buzzer istana dan kebal hukum karena tidak bisa diproses hukum untuk dikirim  ke penjara. Selain buzzer buzzer yang kebal hukum, ada juga buzzer penguasa yang pekerjaannya melaporkan mereka mereka yang dianggap menjadi pengkritik penguasa. Buzzer itu bernama Muannas Alaidid.
 
Buzzer yang satu ini tercatat pernah melaporkan Farid Gaban, Fahira Idris, Jonru dan lain lainnya. Selain melaporkan tokoh tokoh ternama, Alaidid juga pernah melaporkan melaporkan 40 akun medsos yang tersebar baik di facebook, instagram, twiter dan nomor  HP WA (Whatsappgroup). 
 
Laporan laporan mereka biasanya dengan sigap ditindaklanjuti oleh aparat berwenang berbeda halnya jika laporan itu disampaikan oleh pihak oposisi yang suka mengkritik penguasa. Adanya fenomena ini membuat pegiat media sosial, Jonru Ginting menyindir kinerja aparat hukum  yang bertugas menanganinya.
 
Kritik terkini Jonru kepada aparat terjadi berkaitan dengan penanganan kasus pembobolan data pribadi Denny Siregar.Diketahui, kepolisian langsung merespon cepat kasus pembobolan data pribadi Denny Siregar dengan menangkap pelaku yang merupakan outsourching Telkomsel."Kembali terbukti, para buzzeRp memang BINATANG semua.
 
Pada kebal hukum semua. Ya, namanya juga binatang. Yang ditangkap polisi kan cuma manusia," tulis Jonru di akun Twitternya, Sabtu (11/7/2020).
Sementara itu menurut pendiri lembaga survei Kedai Kopi, Hendri Satrio, mengatakan ada ketidakadilan dalam penegakkan hukum terhadap buzzer atau pendengung.
 
Menurutnya buzzer pro pemerintah seolah kebal hukum, karena kalau pun melakukan kesalahan tak dikenakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Masalahnya kalau yang di lingkungan Istana boleh salah, tapi yang di luar kalau salah kena UU ITE,” ujar Hendri di diskusi Buzzer dan Ancaman Terhadap Demokrasi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jalan Diponegoro, Jakarta, Jumat 10 Oktober 2019.
 
Menanggapi adanya sinyalemen para buzzer istana kebal hukum karena tak tersentuh hukum, pihak istana dikabarkan  membisu. Hal ini terungkap ketika ditanya wartawan fakta-fakta buzzer istana kebal hukum walaupun sudah dilaporkan ke polisi. “Saya tidak pada posisi itu ya. Tidak bisa mengomentari itu karena itu sektornya kepolisian,” kata mantan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko kepada wartawan, Kamis (3/10/2019). 
 
Menurut Moeldoko, semua proses hukum diserahkan kepada aparat kepolisian. “Menurut kita nggak, tapi menurut kepolisian iya, kita posisinya tidak bisa justifikasi itu,” jelasnya. Ia mengatakan, buzzer kedua belah pihak harus ditertibkan. “Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Kan ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik,” ucap Moeldoko. 
 
Bagaimana Seyogyanya Buzzer Bersikap ?
 
Harus diakui, di Indonesia,  buzzer lebih melekat dan lebih dibutuhkan untuk urusan politik. Buzzer kerap menjadi ‘alat’ yang digunakan oleh pemerintah maupun oposisi untuk menyampaikan informasi. Bahkan negara kini juga memiliki buzzer atau yang lebih sering disebut dengan ‘buzzer istana’.Idealnya, seorang buzzer harus tetap netral meski ia harus menjadi ‘suara’ bagi pemerintah untuk menginformasikan isu negara. Sayangnya, mereka justru menjadi musuh publik karena tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan kritik dan aspirasi dari rakyat.
 
Para buzzer istana bisa belajar dari buzzer di Amerika yang masih mengedepankan akal sehatnya. Peran buzzer di Amerika bisa kita lihat misalnya ketika terjadi penjarahan dan tindak kekerasan yang melanda seluruh pelosok Amerika Serikat akibat terbunuhnya George Floyd yang dicekik aparat keamanan yang ada disana.
Ketika terjadi aksi protes kepada penguasa,  reaksi yang seragam muncul dari warga yang berbeda pilihan politik terhadap kesewenangan negara.
 
Kasus penyiksaan dan kematian George Floyd membawa semua orang, tanpa kecuali, berkumpul di satu front –yaitu, front antikesewenangan anti kekerasan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
 
Sebagaimana di sini, di AS pun ada “cebong” dan “kampret”. Katakanlah saat ini pendukung Donald Trump dan Partai Republik ada di posisi “cebong” dan pendukung Demokrat di posisi “kampret”. Tetapi, ketika kesewenangan dan ‘abuse of power’ dilakukan oleh aparatur negara, cebong dan kampret Amerika menjadi bipartisan. Rakyat menjadi satu suara.
 
Mereka, dengan “akal sehat” aslinya –“akal sehat” nuraninya– turun ke jalan. Cebong dan kampret Amerika sama-sama unjukrasa. Mereka menyampaikan pesan bahwa kesewenangan tidak punya tempat di AS. Tidak punya tempat di kubu cebong maupun di kubu kampret. Mereka bersatu melawan adanya kezaliman dan kesewenang wenangan yang ada disana.
 
Siapakah kiranya  elit yang berhasil menghimpun kekuatan sipil di AS untuk menggelar aksi unjuk rasa ?. Di AS atau Eropa, demo besar berhari-hari bisa terjadi tanpa ada pimpinannya. Tanpa ada koordinator. Dan tanpa biaya. Kok bisa? Karena setiap orang dipimpin oleh akal sehat masing-masing  untuk bergerak menyampaikan aspirasinya.
 
Kesewenangan terhadap siapa pun akan dijadikan musuh bersama. Mereka turun bersama tanpa atribut kelompok. Itulah hakikat akal sehat dalam berbangsa dan bernegara. Fenomena tersebut berbeda dengan akal sehat cebong atau buzzer penguasa di negeri kita.  Bagi buzzer penguasa atau para cebong di sini, semua kesewenangan yang dilakukan oleh para penguasa hukum, penguasa politik, penguasa ekonomi-bisnis, dlsb, tidak akan pernah dilihat sebagai kesewenangan.
 
Sebaliknya, para cebong akan menyebutnya sebagai “keadilan” menurut versinya. Bagi kubu cebong Indonesia, keadilan adalah “penindasan terhadap lawan” politiknya.
 
Kubu cebong di sini akan memberikan dukungan dan tepuk tangan gemuruh terhadap kesewenangan aparat negara. Pastilah sikap seperti ini akan melembagakan permusuhan yang sengit. Dan mungkin juga menggoreskan dendam yang dalam. Bisa jadi tidak akan berkesudahan. Apalagi para penguasa sengaja memelihara konflik itu supaya tetap membara.
 
Ketika perilaku buzzer yang cenderung menyerang dan mematikan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah, justru membuat jarak yang semakin jauh antara publik dan pemerintah.Oleh karena itu untuk menertibkan perilaku tipikal buzzer istana yang telah keluar dari relnya kepadanya perlu diberikan tugas untuk mendengarkan.
 
Jadikan mereka telinga pemerintah untuk menyerap aspirasi public, publik jangan dimatikan aspirasinya. Itulah  cara untuk menertibkan buzzer buzzer bermasalah yang saat ini dipelihara penguasa.
 
Tetapi kalau pemerintah tetap membiarkan sepak terjang mereka yang kebal hukum demi untuk menutupi jebloknya kinerja penguasa, menjadi lain persoalannya. Paling tidak rakyat akan paham bahwa ketidakmampuan mengelola negara memang harus ditutupi melalui aksi aksi para buzzer yang memang sengaja dipelihara. Itulah cara untuk menunjukkan bahwa pemerintah yang berkuasa sekarang memang otoriter tak mau mendengarkan aspirasi dari rakyatnya.