Analisa Hukum Manipulasi Dokumen Ekspor Toba Pulp Lestari Milik Opung

Jakarta, law-justice.co - Di tanah adat Batak, Tapanuli Utara, Sumatera Utara terdapat sebuah lokasi perusahaan besar milik pengusaha yang juga Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut B Panjaitan bernama PT Toba Pulp Lestari Tbk (“Perseroan”) didirikan dalam rangka Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri No. 6 tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 tahun 1970 berdasarkan akta Notaris No. 329 tanggal 26 April 1983. 

Status Perseroan selanjutnya berubah menjadi Penanaman Modal Asing dan telah mendapat persetujuan Presiden dalam surat keputusan No. 07/V/1990 tanggal 11 Mei 1990 yang diterbitkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Baca juga : Ada Apa Menko Luhut Mau Putihkan 3,3 Juta Ha Lahan Sawit Ilegal?

Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasar Perseroan, kegiatan usaha Perseroan adalah mendirikan dan menjalankan industri bubur kertas (pulp) dan serat rayon (viscose rayon), mendirikan, menjalankan, dan mengadakan pembangunan termasuk namun tidak terbatas pada hutan tanaman industri dan industri lainnya untuk mendukung bahan baku dari industri tersebut, mendirikan dan meproduksi semua macam barang yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, serta memasarkan hasil-hasil industri tersebut.

Perseroan saat ini memproduksi pulp yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan luar negeri. Perseroan juga memiliki konsesi tanah untuk menanam dan memanen kayu untuk pembuatan pulp.

Baca juga : To Kill Or To Be Killed Or Buldozer Ala Luhut Panjaitan

Sepekan terakhir ini, PT. Toba Pulp Lestari menjadi perhatian banyak pihak setelah majalah Tempo mengangkat hasil investigasi  kasus yang terjadi di perusahaan ini berkenaan dengan adanya dugaan manipulasi dokumen ekspor yang merugikan negara miliaran rupiah. Seperti apa duduk perkara dari terjadinya kasus di perusahaan ini ?, Bagaimana analisis hukum manipulasi dokumen ekspor sehingga merugikan negara yang begitu besar jumlahnya ?. Benarkah kasus ini melibatkan “orang besar” yang dikenal sebagai Menteri Segala Urusan dan orang paling dekat Presiden Jokowi, sehingga sulit diusut perkaranya ?

Duduk Perkara

Baca juga : Luhut Bukannya Waspada, Malah Nuduh Sakit Jiwa

Setiap tahun, ratusan ribu ton produk bubur kayu PT. Toba Pulp Lestari dijual kepada DP Macao, yang kemudian meneruskannya kepada Sateri. Perusahaan yang disebut terakhir ini kemudian mengolahnya menjadi bahan tekstil yang dibeli banyak toko pakaian populer, seperti Zara dan H&M.

Pada akhir 2018, tim IndonesiaLeaks menemukan sejumlah dokumen yang memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan antara Toba Pulp dan dua perusahaan terafiliasinya itu. Transaksi itu ditengarai dibuat untuk menyembunyikan keuntungan perusahaan hingga ratusan miliar rupiah pada 2007-2016. Praktik lancung tersebut diduga dilakukan Toba Pulp dengan memanipulasi dokumen pencatatan ekspor di bea-cukai yang ada di pelabuhan Indonesia.

Sepanjang 2007-2016, PT Toba Pulp Lestari diduga mengklaim mengekspor bubur kayu jenis bleached hardwood kraft pulp (BHKP), yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kertas. Tapi pembelinya di luar negeri menyatakan bubur kayu itu berjenis dissolving wood (DW) ketika menjualnya lagi ke pasar dunia. Bubur kayu jenis ini jamak digunakan sebagai bahan baku tekstil dan harganya lebih mahal. Sebagai perbandingan, jika harga bubur kayu jenis BHKP US$ 1 per kilogram, harga bubur kayu DW mencapai US$ 1,5 per kilogram. 

Dari perbedaan harga itu muncul dugaan PT Toba Pulp Lestari memanipulasi dokumen demi menurunkan nilai ekspor. Jika hal ini benar terjadi, perbuatan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Kepabeanan. Motifnya apalagi kalau bukan untuk mengurangi pajak di dalam negeri. Dugaan ini dikuatkan fakta bahwa DP Macao, pembeli produk PT Toba Pulp Lestari, yang kemudian menjualnya lagi ke pasar global, ditengarai memiliki hubungan dengan PT Toba Pulp Lestari. 

Kedua perusahaan tersebut diduga terafiliasi dengan taipan Sukanto Tanoto, yang juga pemilik Asian Agri--perusahaan yang pernah dihukum membayar denda Rp 2,5 triliun karena mengemplang pajak. Sepintas praktik tersebut seperti transfer pricing atau pengalihan keuntungan. Perusahaan menjual produknya dengan harga rendah ke perusahaan lain yang terafiliasi di luar negeri untuk menghindari pembayaran pajak di dalam negeri. Tapi dalam transfer pricing yang ditransaksikan adalah produk yang sama. 

Dalam kasus PT Toba Pulp Lestari, produknya jelas berbeda. Perusahaan diduga sengaja menulis kode HS--standar internasional untuk mengklasifikasi produk perdagangan--BHKP untuk produk DW. Dengan kata lain, PT Toba Pulp mencantumkan produk yang keliru. 

Laporan Sateri Holdings Limited pada 2010 yang dirilis di Hong Kong, Cina, adalah informasi awal yang memantik dugaan manipulasi ini. Laporan keterbukaan publik itu mereka buat saat akan melantai (initial public offering) di bursa efek Hong Kong, sepuluh tahun lalu.

Dokumen yang salinannya diperoleh IndonesiaLeaks itu mengungkap adanya kontrak pemasaran antara PT Toba Pulp Lestari dan DP Macao, perusahaan pemasaran yang berbasis di daerah administratif khusus di Cina. Dalam laporannya kepada bursa Hong Kong, Sateri menulis bahwa DP Macao adalah pemasok bubur kertas jenis dissolving wood (DW) untuk pabrik mereka di Cina. Sateri sendiri adalah perusahaan produsen viscose staple fiber (serat tekstil).

Dalam dokumen yang sama, Sateri menjelaskan bahwa pemasok utama bahan baku bubur kertas jenis dissolving mereka adalah PT Toba Pulp Lestari. DP Macao disebut dalam laporan itu sebagai agen perantara pembelian produk Toba Pulp. Perusahaan inilah yang kemudian menjual bubur kertas Toba Pulp kepada dua pabrik milik Sateri, yakni Sateri Jiangxi dan Sateri Fujian. Nilai agregat transaksi mereka sejak Desember 2007 hingga pertengahan 2010 mencapai US$ 11,1 juta atau Rp 1,5 triliun jika dihitung dengan kurs saat ini.

Sejumlah dokumen lain menunjukkan bahwa Sateri dan PT Toba Pulp Lestari menginduk pada perusahaan yang sama. Prospektus Sateri, misalnya, menjelaskan bahwa pemegang saham mereka sama dengan Toba Pulp. Penjelasan ini tampaknya disampaikan untuk memberikan jaminan kepada investor soal kelancaran pasokan bahan baku Sateri.

Yang menjadi masalah, dokumen-dokumen ekspor bubur kayu di Indonesia pada periode tersebut menunjukkan bahwa jenis bahan baku yang dikirim dari Pelabuhan Belawan ke Cina bukanlah dissolving wood. Produk yang dilaporkan kepada pemerintah adalah bubur kertas jenis bleached hardwood kraft pulp (BHKP).

Tim IndonesiaLeaks memeriksa laporan bulanan Perkembangan Data Ekspor Hasil Hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta laporan ekspor Indonesia di Badan Pusat Statistik. Semua menunjukkan bahwa ekspor bubur kayu Indonesia ke Cina pada periode itu didominasi jenis BHKP, bukan dissolving wood.

Kejanggalan ini dengan mudah terdeteksi dari penggunaan kode klasifikasi barang alias HS Code. Dalam perdagangan internasional, HS Code untuk produk BHKP berbeda dengan dissolving wood. Produk BHKP diklasifikasikan dengan nomor 4703.29.00.00, sementara bubur kertas dissolving memiliki HS Code 4702.00.00.00. Data IndonesiaLeaks menemukan bahwa pelaporan data ekspor PT Toba Pulp Lestari hingga 2016 mencantumkan HS Code 4703.29.00.00 alias BHKP.

Identifikasi HS Code menjadi penting karena kedua jenis bubur kertas itu memiliki perbedaan harga di pasar internasional. Perbedaan itu bisa dilihat dengan membandingkan volume dan nilai transaksi keduanya dalam situs data perdagangan yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade). Harga bubur kertas jenis DW sekitar US$ 1 per kilogram atau lebih mahal 30-40 persen dibanding BHKP.

Dalam laporan keuangan Sateri, perusahaan itu mengaku membeli bahan baku dari DP Macao dengan harga dissolving wood. Padahal PT Toba Pulp menjual produk mereka kepada DP Macao dengan harga BHKP. Perbedaan ini membuat PT Toba Pulp terus-menerus membukukan keuntungan yang optimal selama periode waktu itu di Indonesia.

Selama 2008-2012, dokumen laporan tahunan Sateri menunjukkan bahwa PT Toba Pulp Lestari menjual hampir seluruh bubur kertasnya kepada DP Macao. Untuk jasa itu, DP Macao mendapat upah komitmen dari Sateri sekitar 2 persen dari total penjualan. Dari sana bisa dihitung nilai keuntungan DP Macao sendiri.

Pada rentang waktu itu, margin keuntungan DP Macao sempat mencapai 71 persen. Profit empuk itu diperoleh karena mereka membeli bahan baku dengan harga BHKP tapi menjualnya dengan harga dissolving wood.

Akibat praktik curang ini, sampai 2016 saja total keuntungan yang diduga disembunyikan PT Toba Pulp Lestari ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah. Pada 2008, misalnya, Toba Pulp menjual bubur kertas sebanyak 197.100 ton dengan nilai US$ 115,5 juta. Sebanyak 98,2 persen dari total ekspor Toba itu dijual kepada DP Macao. Tapi DP Macao menjual barang yang sama dengan nilai US$ 139,4 juta. Walhasil, Toba Pulp hanya mencatatkan keuntungan sebesar US$ 3,8 juta, sementara keuntungan DP Macao mencapai US$ 22,9 juta.

Analisa Hukum

Pengiriman jenis produk pulp  ke luar negeri yang diduga tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen merupakan perbuatan curang yang dilakukan perusahaan  demi mengurangi pajak. Dari perbedaan harga itu muncul dugaan PT Toba Pulp Lestari memanipulasi dokumen demi menurunkan nilai ekspor. Jika hal ini benar terjadi, perbuatan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Kepabeanan. 

Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Kepabeanan, konstruksi hukum dalam kasus yang terjadi di PT. Toba Pulp Lestari merupakan salah satu bentuk kejahatan penyelundupan. Kejahatan penyelundupan merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional dan kejahatan terhadap kekayaan negara . sebagaimana ketentuan pidana pada pasal 102 uu no. 17 tahun 2006 tentang perubahan uu no. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, maka tindak pidana ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

  1. penyelundupan yang tanpa didukung dokumen impor/ekspor sama sekali yang sering dalam istilah sehari-hari disebut “penyelundupan fisik”.
  2. penyelundupan yang dilakukan dengan manipulasi dokumen ekspor/ impor, di mana dalam kasus ini antara dokumen dengan fisik barang tidak sesuai atau dalam istilah sehari-hari sering disebut sebagai “penyelundupan administrasi”

Dalam kenyataan yang terjadi diperkirakan, jumlah kasus penyelundupan dengan manipulasi dokumen jauh lebih tinggi dibandingkan penyelundupan yang tanpa didukung dokumen sama sekali. Adapun modus operandi yang sering dilakukan adalah :

  1. Penyelundupan fisik yaitu memasukkan / mengeluarkan barang tanpa dokumen sama sekali biasanya dilakukan dari kapal laut diangkat dengan perahu, motor boad ke atau dari darat / pantai yang terpencil/sepi (sering bekerja sama dengan abk kapal), lokasi penyelundupan fisik.
  2. Penyelundupan administrasi yang dilakukan dengan modus operandi memanipulasi dokumen (impor/ekspor) dilakukan terang-terangan, bahkan sering bekerja sama dengan oknum petugas untuk dapat meloloskan barang-barangnya, dengan cara :
  1. Memberitahukan salah tentang jenis, kuatitas, kualitas maupun harga barang.
  2. Menyalahgunakan fasilitas barang bawaan, barang pejabat/ perwakilan negara asing, proyek penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, barang kiriman atau barang pameran.
  3. Memalsukan dokumen/formulir pabean.
  4. Modus operandi yang paling sering digunakan adalah “under invoiced” yaitu mencantumkan hanya barang dibawah harga yang sebenarnya, sehingga negara dirugikan karena pemasukan pajak yang lebih kecil dari yang semestinya.
  5. Pemeriksaan kepabeanan dengan sistim “borongan”.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana dikemukakan diatas maka  jika dikaitkan dengan kasus kejahatan yang telah dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari maka kejahatan penyelundupan yang dilakukan masuk dalam kategori manipulasi dokumen ekspor/ impor, di mana dalam kasus ini antara dokumen dengan fisik barang tidak sesuai atau dalam istilah sehari-hari sering disebut sebagai “penyelundupan administrasi”

Penyelundupan administrasi yang dilakukan dengan modus operandi memanipulasi dokumen (impor/ekspor) dengan memberitahukan salah tentang jenis, kuatitas, kualitas maupun harga barang yang di ekspor ke rekanannya di luar negeri.

Terhadap kejahatan sebagaimana dikemukakan diatas maka kepada pelakunya bisa dikenakan sanksi administrative maupun sanksi pidana.Di dalam UU Nomor 10 Tahun 1995 itu terdapat 24 pengaturan sanksi adminitratif, dengan sanksi minimal berupa denda sebesar Rp1 juta dan sanksi maksimal berupa denda sebesar Rp50 juta. Sementara denda dalam bentuk kelipatan nilai nominal pelanggaran, minimal 100% dan maksimal 500% dari nilai nominal pelanggaran tersebut.

Sanksi administratif minimal itu dapat kita temui dalam Pasal 82 ayat 6 UU Nomor 10 Tahun 1995 yang mengatur sanksi terhadap pihak yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor.

Selain itu, dapat kita temui pula dalam Pasal 16 ayat (4) yang mengatur sanksi terhadap importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk dan mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dan Pasal 82 ayat (5) yang mengatur mengenai sanksi atas pihak yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk.

Tidak ada sanksi lain selain sanksi denda dalam sanksi administratif itu. Sementara hanya terdapat enam pengaturan sanksi pidana dalam UU tersebut dengan sanksi maksimal berupa delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Mengenai pengaturan aspek pidananya maka di dalam UU Nomor 10 Tahun 1995, ketentuan pidana diatur pada Pasal 102 sampai Pasal 111. Sanksi minimal dari ketentuan pidana itu berupa pidana penjara maksimal 2 tahun dan atau denda paling banyak sebesar Rp100 juta. Sanksi minimal ini ditemukan pada Pasal 104. Artinya, sanksi pidana terhadap tindak pidana di bidang kepabeanan dapat kurang dari 2 tahun penjara atau kurang dari Rp100 juta.

Tentunya sanksi yang relatif ringan itu, terlebih lagi sanksi administratif yang hanya berupa denda, tidak dapat membuat para importir nakal maupun penyelundup jera. Hal ini terbukti dengan maraknya pelanggaran kepabeanan di tahun tahun ini.

Melihat fenomena di atas, tentunya ada yang salah dalam urusan kepabeanan. Setidaknya harus dilakukan berbagai langkah terpadu untuk memperbaikinya, termasuk melakukan penyempurnaan UU Nomor 10 Tahun 1995 beserta peraturan pelaksanaan di bawahnya.

Sebagai respons kebutuhan adanya  perubahan UU Nomor 10 Tahun 1955 selanjutnya pada tahun 2006 telah dikeluarkan revisi UU Kepabeanan yaitu menjadi UU Nomor 17 Tahun 2006. Didalam UU yang baru hasil revisi ini telah diatur delik pidana atau tindakan-tindakanyang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan penyelundupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

Didalam Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Perubahan atas Undang.-Undang Kepabeanan dinyatakan sebagai berikut:

“Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan”, kurang tegas karena dalam penjelasan dinyatakan bahwa pengertian “tanpa mengindahkan” adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur.

Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karenanya dipandang perlu untuk merumuskan kembali tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan.”

Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 telah diatur sanksi pidana penyelundupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A, dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, khususnya tindak pidana penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

Dan tindak pidana penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan tindak pidana penyelundupan yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Rumusan sanksi pidana penyelundupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A, dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tersebut di atas pada dasarnya menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda yang merupakan sanksi pidana yang bersifat kumulatif (gabungan), dengan mengutamakan penerapan sanksi pidana penjara terlebih dahulu dan kemudian diikuti dengan sanksi pidana denda secara kumulatif.

Formulasi penerapan sanksi pidana seperti ini menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana penyelundupan dikenakan sanksi pidana ganda yang cukup berat, yaitu diterapkan sanksi pidana penjara di satu sisi dan sekaligus juga dikenakan saksi pidana denda. Namun jika sanksi denda tidak dapat dibayar dengan subsider Pasal 30 KUHP maka sangat merugikan negara.

Dasar filosofis penerapan sanksi pidana penyelundupan tersebut berbentuk sanksi pidana kumulatif, karena tindak pidana penyelundupan merupakan bentuk “kejahatan atau tindak pidana yang merugikan kepentingan penerimaan negara, merusak stabilitas perekonomian negara atau merusak sendi-sendi perekonomian negara, dan merugikan potensi penerimaan negara yang diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional dalam rangka mensejahterakan rakyat banyak”.

OIeh karena itu, terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan perlu dikenakan sanksi pidana yang bersifat alternatif agar Undang-Undang Kepabeanan dilaksanakan dan ditaati untuk meningkatkan pendapatan dan devisa negara. Jika sanksi pidana tidak diformulasi secara kumulatif maka aspek kepentingan penerimaan keuangan negara tidak diutamakan, karena sanksi pidana yang bersifat kumulatif hanya sebatas dimaksudkan untuk menegakkan kewibawaan pemerintah, dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar mengutamakan pengembalian kerugian negara. 

Selain aspek pidana, terkait dengan sanksi  Pemerintah telah menambah layer pengenaan sanksi kepabeanan bagi pelaku usaha yang tercatat kurang bayar bea masuk maupun bea keluar. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada akhir tahun 2019 yang lalu.Penambahan layer ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39/2019 tentang Perubahan PP No.28/2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan. Dalam regulasi terbaru, layer pengenaan denda menjadi 10, lebih banyak dari semula 5 layer. Namun, sanksi tertinggi tetap 1.000%.

Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengatakan perubahan beleid ini diberlakukan untuk menindaklanjuti aspirasi dari berbagai pihak. Pasalnya, dengan layer yang sudah ada sebelumnya, pengenaan sanksi 1.000% sangat mudah dikenakan.“Kami berupaya menyempurnakan penjenjangan sanksi administrasi berupa denda dari 5 jenjang diubah menjadi 10 jenjang untuk mencapai denda maksimal 1.000%,”.

Didalam pasal 6 ayat (1) PP tentang Perubahan atas PP Nomor 28/2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi berupa denda dibidang kepabeanan diatur sebagai berikut :

Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d ditetapkan secara berjenjang berdasarkan perbandingan antara total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda dengan total pembayaran bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar dari seluruh barang impor atau barang ekspor yang dikenai denda dalam satu pemberitahuan pabean, dengan ketentuan apabila total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda:

  1. sampai dengan 50% (lima puluh persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 100% (seratus persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  2. di atas 50% (lima puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  3. di atas 100% (seratus persen) sampai dengan 150% (seratus lima puluh persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  4. di atas 150% (seratus lima puluh persen) sampai dengan 200% (dua ratus persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 175% (seratus tujuh puluh lima persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  5. di atas 200% (dua ratus persen) sampai dengan 250% (dua ratus lima puluh persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  6. di atas 250% (dua ratus lima puluh persen) sampai dengan 300% (tiga ratus persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 225% (dua ratus dua puluh lima persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  7. di atas 300% (tiga ratus persen) sampai dengan 350% (tiga ratus lima puluh persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 250% (dua ratus lima puluh persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  8. di atas 350% (tiga ratus lima puluh persen) sampai dengan 400% (empat ratus persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 300% (tiga ratus persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda;
  9. di atas 400% (empat ratus persen) sampai dengan 450% (empat ratus lima puluh persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 600% (enam ratus persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda; atau
  10. di atas 450% (empat ratus lima puluh persen) dari total bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar yang dikenai denda, dikenai denda sebesar 1000% (seribu persen) dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda

Implementasi PP No. 39/2019 diatas diharapkan bisa memberikan rasa keadilan dan mendorong kepatuhan pelaku usaha. Apalagi, pengenaan sanksi berupa denda dimaksudkan untuk memberikan efek jera selain sanksi pidana itu sendiri.

Harus diakui perbaikan peraturan perundang undangan terkait dengan kepabeanan penting dilakukan.Namun demikian, perbaikan pelaksanaan kepabeanan tidak melulu tertumpu pada revisi peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Undang-undang yang baik tanpa realisasi di lapangan adalah suatu kelumpuhan. Perangkat-perangkat penunjang pelaksanaan peraturan pun harus juga dibenahi.

Seperti halnya reformasi hukum yang harus meliputi tiga komponen sistem hukum, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum, upaya perbaikan pelaksanaan kepabeanan pun tidak dapat dilepaskan dari perbaikan tiga komponen tersebut.

Melibatkan Orang Besar ?

Kasus manipulasi dokumen ekspor yang terjadi di PT. Toba Pulp Lestari disebut sebut melibatkan orang besar sehingga diragukan kasus ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya. Pada hal Presiden Joko Widodo perjanji untuk menggebuk koruptor, termasuk di lingkaran Istana. Saat ini ketika belum terungkap “orang besar” di balik skandal PT Asuransi Jiwasraya, muncul pula dugaan transaksi fiktif ekspor bubur kayu PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) ke Cina.

Praktisi hukum senior yang juga politisi Demokrat Benny K Harman menegaskan bahwa Presiden Jokowi harus berani menggebuk “orang besar” di skandal Toba Pulp. Di sisi lain, skandal Jiwasraya juga belum tuntas penyelesaiannya.“Transaksi fiktif Toba Pulp Lestari? Ambyar, ambyar. Presiden Jokowi harus berani gebuk jika ada orang besar di Skandal Toba Pulp ini. Kita masih menanti siapa “orang besar” dalam skandal Jiwasraya yang bakal kena gebuk seperti dijanjikan. Rakyat monitor,” tulis Benny Harman di akun Twitter  @BennyHarmanID.

Tak ketinggalan, wartawan senior Iwan Piliang juga mendesak Jokowi untuk mengambil sikap soal Toba Pulp.“Masih juga Presiden @jokowi diem, indikasi perampokan pola transfer pricing amat tambun tiap tahun? Padahal butuh pendapatan pajak untuk pembangunan, jangan lagi rakyat yang diakali, sampai uang Haji dipakai? Plis  Pak Presiden teliti dan cermati. Tempo sudah acap verifikasi dan juga terbukti,” tulisa Iwan di akun @iwanpiliang7.

Cuitan @iwanpiliang7 itu mengomentari laporan utama Majalah Tempo edisi terbaru. Tempo membahas dugaan manipulasi dokumen ekspor bubur kayu PT Toba Pulp ke Cina untuk memindahkan keuntungan ke luar negeri.

Anggota DPR RI F-PKS Rofik Hananto menegaskan bahwa PKS dan Partai Demokrat siap membongkar dugaan skandal Toba Pulp Lestari dan Jiwasraya.“PKS dan Demokrat siap bongkar kebobrokan Jiwasraya dan cadangan kasus yang baru saja ditemukan... mulut transkaksi fiktif Toba Pulp Lestari. Kalau baca perusahaan dengan nama TOBA..jadi ingeeet....um..hm..,” sindir Rofik di akun @rofikhananto.

Yang jelas kasus skandal Toba Pulp Lestari semakin menambah daftar panjang masalah penggarongan uang negara yang terjadi akhir akhir ini.  Masalah korupsi kakap yang satu belum selesai kini datang lagi kasus yang lain lagi. Seolah olah silih berganti datang tiada henti. Yang berhenti barangkali adalah penyelesaiannnya yang menguap ketika kasus seperti ini banyak di kritisi. Kasus biasanya berhenti tanpa kabar pasti ketika menyangkut orang kuat di negeri ini.

Karena kasus seperti ini hanya akan selesai manakala ada political will yang kuat dari pemimpin negeri. Manakala political will seperti itu tidak ada lagi maka untuk yang kesekian kalinya rakyat harus gigit jari.

Apa yang sudah ditulis media sudah sangat jelas dan terang benderang. Rangkaiam fakta, alur, motif dan modusnya juga sudah diketahui dan bisa ditelusuri. KPK dan PPATK sudah bisa bergerak demi pro yustisia untuk mengusut kasusnya secara profesional tanpa harus takut diintimidasi oleh kekuasaan dan oknum pejabat yang mendompleng kekuasaan Presiden.

Kasus ini menjadi pertaruhan besar bagi independensi KPK dan lembaga penegak hukum lainnya untuk menindak siapa saja atas nama kepastian dan kesetaraan di depan hukum. Beranikah KPK? Saatnya rakyat akan menjadi saksi hidup apakah KPK atau sang "Opung" yang tersungkur kali ini?.