Kapal RI Boleh Tanpa Bendera Indonesia, Ki Gendeng: Pengkhianat

Jakarta, law-justice.co - Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia (INSA) menolak Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Salah satu isu yang tolak ialah soal azas cabotage atau pelayaran yang wajib menggunakan bendera Indonesia.

Baca juga : Tak Sudi RI Terus Ekspor via Singapura, Luhut: Buka Jalur Baru ke Cina

Presiden Front Pribumi Ki Gendeng Pamungkas menganggap langkah INSA itu membuktikan bahwa masih ada kepedulian anak bangsa.

“Apalagi Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto telah menjelaskan, bahwa revisi bukan hanya mengancam pelayaran nasional, melainkan masalah kedaulatan RI,” katanya seperti melansir gelora.co.

Baca juga : Soal Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Luhut Minta China Serius Bantu RI

Menurut pria yang biasa dipanggil KGP ini, azas cabotage itu bermakna bahwa setiap kapal yang wajib berbendera Indonesia, ABKnya dan nahkodanya juga orang Indonesia. Sehingga bila direvisi akan menyebabkan pihak asing bebas masuk ke Indonesia.

“Dalam soal kedaulatan kita tidak bisa main – main. Front Pribumi menduga para pengusul revisi layak dicurigai sebagai pengkhianat bangsa. Sebab ini menyangkut kedaulatan wilayah perairan,” Jelas KGP menanggapi aktivitas pertemuan anggota INSA se- Indonesia di Surabaya sehari sebelumnya, Sabtu (5/10).

Baca juga : 193 Juta Orang Pulang Kampung, Luhut: Mudik Paling Meriah

KGP memuji Undang-undang penerbangan yang sudah 20 tahun dilaksanakan, tetapi belum pernah direvisi. Sedangkan UU Pelayaran baru berkisar 10 tahun-an mengapa akan direvisi.

“Menurut saya, bisa undang-undang itu diberlakukan mestinya pihak pengusaha yang ngotot mengusulkan, tapi ini mereka para pengusaha menolak. Sehingga siapa yang usul pastinya mereka bermental pengkhianat,” Kata KGP geram.

Ia curiga kasus korupsi di Dirjen Hubla (Perhubungan Laut) mempunyai rangkaian dengan kepentingan pihak – pihak yang ingin adanya revisi undang – undang pelayaran.

“Bisa jadi mega korupsi akan menjadi bahaya latent yang baru akan muncul setelah revisi UU No. 27 Tahun 2008 terjadi,” pungkas KGP.