Pertanyaan Habibie & Soeharto yang Belum Terjawab Hingga Kini

Jakarta, law-justice.co - Presiden Ke-3 Republik Indonesia, acharuddin Jusuf Habibie kini telah berada di tempat peristirahatan terakhir.

Tetapi, torehan sejarah Presiden ke-3 RI itu yang berperan sebagai pengantar menuju gerbang demokrasi, tak lekang ditelan zaman.

Baca juga : Begini Respons Titiek Soeharto Ditanya Kesiapan jadi Ibu Negara

Melansir idntimes.com, setelah disumpah menjadi orang nomor satu di negeri ini pada 21 Mei 1998, Habibie langsung disibukkan dengan dua program utama, yang sudah ditagih demonstran penggerak reformasi selama berbulan-bulan.

Pertama, pemulihan ekonomi negara yang terpuruk akibat inflasi, imbas krisis moneter Asia Tenggara yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS turun drastis. Kedua, mengenalkan demokrasi sesungguhnya kepada rakyat.

Baca juga : Elite Golkar Siap Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Tak perlu waktu lama bagi Habibie untuk menuntaskan dua tugas itu pasca-reformasi. Hanya dalam tempo setahun setelah transisi, yakni 7 Juni 1999, pemilu demokratis pertama yang diikuti 48 partai digelar.

1. BJ Habibie mengenal Soeharto sebagai sosok gagah, rendah hati, bahkan pemalu

Baca juga : Heboh Hashim Sebut Nama Ibu Negara Jika Prabowo Presiden: Bukan Titiek

Ada satu hal yang rupanya masih mengganjal di hati pria kelahiran Parepare 25 Juni 1936 itu, yang membuat hubungannya dengan Soeharto--sang atasan sekaligus figur politikus idolanya, malah merenggang.

Padahal, Habibie sudah akrab dengan sosok dengan julukan The Smiling General sejak umur 13 tahun. "Saya mengenal Pak Harto sebagai seorang perwira berusia 28 tahun yang gagah, rendah hati, bahkan pemalu," kenangnya dalam buku Detik-Detik Yang Menentukan (2006).

Saat pertama kali bertemu Soeharto pada 28 Januari 1974, Habibie yang saat itu sudah diangkat menjadi penasihat di PT Pertamina, langsung melayangkan pertanyaan menohok: "Mengapa Presiden Sukarno diperlakukan demikian? Bukan kah Beliau bersama Bapak Dr Mohammad Hatta, Proklamator NKRI? Mengapa harus demikian?"

Yang dimaksud Habibie tentu saja akhir hidup Presiden pertama RI itu. Pada hari-hari terakhirnya, Bung Karno bak orang buangan lantaran terasing di Wisma Yaso. Namun, Soeharto saat itu menjawab dengan singkat. "Nanti pada suatu hari mereka akan lebih mengerti peran dan arti Presiden Sukarno."

Dari jawaban itu, Habibie menarik kesimpulan bahwa ada proses penyembuhan, pengertian, dan dialog jernih yang terjadi.

2. Selama Orde Baru, Habibie dipercaya menduduki sejumlah jabatan yang berhubungan dengan pengembangan Iptek nasional

Habibie menjadi asisten ahli Direktur Pertamina saat itu, Ibnu Sutowo, hingga 1976. Karier Habibie terus gemilang saat dipercaya memegang jabatan penting sebagai Direktur Utama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Nurtanio, yang kelak berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia. Salah satu keberhasilan IPTN adalah pesawat N-250 yang terbang pada 10 Agustus 1995.

Soeharto kian mempercayakan pengembangan Iptek nasional di tangan Habibie. Hal itu ditunjukkan lewat pelantikan Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi RI pada 29 Maret 1979. Jabatan tersebut diemban hingga 1998, saat digandeng menjadi Wakil Presiden.

Hubungan keduanya memasuki fase baru pada pertengahan 1998. Namun, desakan reformasi yang menggelora dari rakyat membuat Soeharto harus meninggalkan tahta yang didudukinya selama 32 tahun.

Pada hari-hari pertamanya menjadi presiden, Habibie menelepon Seoharto. Dalam pembicaraan tersebut, ia masih meminta saran dan petunjuk cara mengelola negara. Namun, Soeharto yang sudah lengser hanya berpesan agar Habibie melaksanakan amanat rakyat dengan baik.

"Tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang, jikalau saya bertemu Habibie," ucap Soeharto di ujung telepon, kala itu.

3. Hubungan Soeharto dan Habibie `merenggang` pasca-reformasi 1998

Singkat cerita, desakan mengadili Soeharto atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) membesar seiring kesehatannya yang kian memburuk.

Pada September 1999, Soeharto dirawat intensif di RS Pertamina lantaran mengalami stroke. Namun, kedatangan Habibie yang hendak menjenguk ditolak Tim Dokter Kepresidenan. Beberapa waktu berselang, ia melalui Menteri Kehakiman/Sekretaris Negara mengumpulkan pakar bidang hukum.

Masalah yang dibicarakan adalah, apakah proses hukum harus terus dilanjutkan atau tidak, lantaran kondisi kesehatan Soeharto kian menurun.

Kendati perintah mengusut KKN sudah dikeluarkan MPR, Jaksa Agung memutuskan kasus tersebut akhirnya dideponir alias ditutup. Gangguan neurologis pada fungsi otak yang dialami Soeharto membuatnya sulit berkomunikasi, sekaligus menyulitkan tim penyelidik meminta keterangan.

Namun, hubungan Habibie dengan Soeharto malah merenggang. Dalam buku memoarnya, Habibie merasa resah lantaran Soeharto tak memberinya informasi dan masukan jelang pengunduran dirinya.

"Seolah-olah saya harus semuanya dari nol," tulis Habibie.

Sebuah pertanyaan muncul: "Mengapa Pak Harto tidak bersedia bertemu atau berkomunikasi dengan saya sampai saat ini?"

Agaknya pertanyaan tersebut belum terjawab hingga BJ Habibie mengembuskan napas terakhirnya pada usia 83 tahun, pada Rabu (11/9) kemarin.