Mariana Amiruddin:

Veronica Koman yang Saya Kenal

law-justice.co - Tahun 2011. Perempuan muda itu masih memakai pakaian kantor. Ia menanggalkan blazer hitamnya sembari menyapaku dengan bersalaman. Datang ke sebuah warung kopi di Cikini Jakarta dengan nafas memburu karena tergesa-gesa menghadiri pertemuan. Veronica namanya. Veronica Koman lengkapnya.

Matanya kecil berkilat-kilat penuh gelora. “Kamu kerja dimana?” tanya saya. “Bursa Efek Jakarta,” jawab Vero. Pertemuan saya dengan Vero pada tahun 2011 lalu ditakdirkan oleh gerakan Occupy Wall Street. Sebuah gerakan ekonomi dunia yang diawali oleh protes besar-besaran pada tanggal 17 September 2011 di Zuccotti Park, (distrik keuangan Wall Street) New York City, yang digagas oleh sekelompok aktivis asal Kanada.

Protes yang disampaikan kepada pemerintah Amerika Serikat pada waktu itu adalah masalah kesenjangan sosial dan ekonomi, pengangguran tinggi, keserakahan, korupsi, dan perilaku perusahaan—terutama sektor jasa keuangan.

Slogan tersebut dikenal dengan “We are the 99%” yang diteriakkan para massa demonstran tentang ketidakadilan pendapatan dan kekayaan di Amerika Serikat antara orang-orang kaya yang dijuluki si 1% dengan seluruh penduduk Amerika Serikat yang ditandai sebagai 99%.

Gaya gerakan ini sangat inspiratif dan cerdas, gerakan dunia baru di zaman internet semakin mudah diakses. Pada waktu itu sudah lama sekali dunia tidak ada protes, apalagi menyuarakan gerakan ekonomi (biasanya gerakan politik), dan aksi-aksi mereka terdiri dari anak muda, yang sangat mampu mengartikulasikan dan menjelaskan pada dunia melalui livestreaming, bermalam di rumah-rumah kardus, tentang 1% orang kaya yang menguasai ekonomi 99% masyarakat. Protes di New York City ini kemudian mendorong munculnya protes dan gerakan Occupy serupa di seluruh dunia, termasuk di Jakarta.

Perkenalan pertama saya dengan Vero pada tahun 2011 itu sungguh unik. Ia bercerita bahwa ia terpanggil menjadi relawan untuk ikut aksi gerakan tersebut, dengan mengikuti diskusi-diskusi di twitter, dan menemukan banyak informasi tentang gerakan Occupy Wall Street di Amerika, yang menyusul gerakan Occupy Wall Street di Jakarta.

Pada waktu itu beberapa teman berdebat tentang dimana protes itu akan dilakukan, apakah di Bursa Efek Jakarta yang serupa dengan Wall Street, atau di depan Gedung DPR. Mencari simbol pusat kekuasaan jasa keuangan di Indonesia sangat sulit, karena orang-orang kaya 1% di Indonesia itu bergerak secara siluman (diam-diam) dalam menguasai ekonomi atau pendapatan rakyat. Perdebatan itu seingat saya belum membuahkan hasil.

Vero, perempuan yang waktu itu masih muda dan bekerja di Bursa Efek Jakarta, menyatakan bahwa ia sangat tertarik dengan aksi-aksi tersebut, dan mulai menyadari bahwa banyak ketidakadilan di dunia ini.

Dalam gerakan Occupy tersebut, Vero kemudian memutuskan untuk keluar dari dunia kerja profesionalnya, dan menjadi seorang aktivis. Ia menanggalkan kemeja dan blazer-nya, lalu menggantinya dengan kaus-kaus berisi pernyataan-pernyataan protes tentang ketidakadilan sosial. 

Bertemu lagi di Kalabahu LBH Jakarta (Karya Latihan Bantuan Hukum) dan Vero sebagai fasilitator. Rupanya Vero sudah bergabung di LBH Jakarta sebagai pengacara publik. Waktu itu saya memberikan materi tentang teori-teori dan gerakan feminisme. Lagi-lagi saya melihat matanya yang kecil berkilat-kilat penuh semangat itu memfasilitasi forum penuh peserta yang antusias.

Pertemuan berikutnya, Vero sudah menangani kasus, ia duduk kelaparan makan gado-gado di warung kopi di kantor LBH Jakarta, dan bercerita banyak soal kehidupannya. Ia telah menikah dan memiliki anak bayi yang sangat lucu. Ia memperlihatkan foto bayinya yang mungil. Sambil tertawa-tawa, ia menyatakan bahwa hidupnya memang serba “banting setir”.

Ia kemudian bercerita, pertama kali mengikuti aksi Mayday di tengah-tengah massa buruh yang memerah. Begitu semangatnya ia membela nasib buruh di Jakarta, dan semangat untuk beraksi bersama massa adalah suatu kebahagiaan baginya. Tak lama, Vero muncul di twitternya, bahwa ia kecewa dengan perlakuan para peserta aksi buruh laki-laki yang melecehkannya.

Ia bercerita kemudian pada pertemuan berikutnya, bahwa menjadi aktivis perempuan tidak mudah, karena rentan dilecehkan. Pertemuan berikutnya lagi, ia mengontak saya soal kasus yang didampinginya. Dan setelah itu, Vero menghilang, rupanya tidak lagi di LBH Jakarta.

Namun tak lama, ia muncul di twitter dan facebook, ternyata ia  kini aktif dengan persoalan Papua. Sejak itu tidak ada lagi dialog apa pun dengan saya. Dia begitu sibuk dan sempat marah besar ketika mengetahui rekan aktivisnya melakukan pelecehan seksual.

Kini, saya dikagetkan berita-berita bahwa Vero tersangka makar. Saya tidak mengerti dan cukup khawatir, sebab saya tahu, Vero sudah lama bermimpi ingin menyelamatkan dunia, dan perjalanannya sudah panjang.

Di masa 20 tahun reformasi, sudah banyak anak muda yang belajar dan terlatih untuk menyatakan pendapat, berekspresi, protes, dan semua itu hanya karena mereka menginginkan perubahan.

Reformasi telah mendidik mereka untuk terus-menerus menyuarakan keadilan. Seharusnya, kita sebagai orang tua yang hidup di zaman otoriter, tidak perlu panik. Ada banyak Vero-Vero yang lain, yang akan lahir di masa mendatang nanti. Yaitu anak-anak muda yang punya keinginan kuat yang sama, ingin membebaskan seluruh dunia dan bangsanya dari penindasan, ketidakadilan, dan kesemrawutan kehidupan.

Mariana Amiruddin: Lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia. Pernah bekerja sebagai Direktur dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, sekarang bertugas sebagai Komisioner Komnas Perempuan.