Listrik, Gas, BPJS Naik, YLKI: Pemerintah Pukul Daya Beli Rakyat

Jakarta, law-justice.co - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik langkah pemerintah yang akan mencabut subsidi listrik golongan 900 VA untuk 24,4 juta pelanggan dan menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, soal pencabutan subsidi listrik dilakukan tidak disertai transparansi.

Baca juga : Ini Susunan Pemain Indonesia vs Uzbekistan: Sananta Gantikan Struick

Melansir dari Republika.co.id, Tulus menjelaskan, pencabutan subsidi listrik tersebut karena sudah termasuk golongan mampu.

"Pemerintah jangan terlalu mudah menstigmatisasi bahwa mereka adalah golongan mampu tanpa deskripsi dan verivikasi data yang transparan, akuntabel bahkan kredibel," kata Tulus, Sabtu (7/9/2019).

Baca juga : Myanmar Dilanda Gelombang Panas 48,2 Derajat Celsius

Tulus mengatakan pemerintah harus menunjukkan dengan indikator yang terukur. Beberapa di antaranya mengenai faktor yang membuat 24,4 juta pelanggan tersebut digolongkan mampu sehingga subsidi dicabut.

"Ini harus jelas apakah karena pendapatannya mengalami peningkatan? Atau indikator apa? Jangan jangan hanya sulapan saja," tutur Tulus.

Baca juga : Komisi III Dukung Polda Kalsel Miskinkan Bandar Narkoba dengan TPPU

Dia menilai, jika pemerintah bermaksud mengurangi tingginya subsidi energi maka lebih baik memangkas subsidi gas elpiji 3 kilogram (kg). Sebab, menurut Tulus pemanfaatan gas elpiji 3 kg banyak yang salah sasaran, dibanding subsidi listrik.

Tulus mengatakan distribusi gas elpiji 3 kg bersifat terbuka sehibgga siapapun dapat membeli. "Tak peduli rumah tangga miskin atau rumah tangga kaya. Padahal peruntukan gas elpiji 3 kg adalah untuk rumah tangga miskin," ungkap Tulus.

Untuk itu, Tulus menegaskan, pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Dia menilai hal tersebut berpotensi meningkatkan tingginya laju inflasi dan memukul daya beli masyarakat.

Apalagi, kata dia, jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen juga turut diberlakukan. Oleh karena itu, Tulus meminta pemerintah seharusnya tidak melakukan kebijakan tersebut secara serentak.

"Bahkan idealnya subsidi listrik yang dicabut itu langsung direalokasi untuk subsidi ke BPJS Kesehatan, sehingga iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dinaikkan," jelas Tulus.

YLKI juga meminta agar dana pencabutan subsidi listrik tersebut juga sebagian untuk memberikan insentif ke pedesaan melalui dana desa. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan sumber sumber energi baru terbarukan (EBT) tidak hanya untuk pengerasan jalan saja atau untuk konblokisasi.

Meskipun begitu, Tulus mengakui subsidi energi yang digelontorkan pemerintah untuk tahun anggaran 2019 sangat tinggi lebih dari Rp 157 triliun. Dari total tersebut, lebih dari Rp 65 triliun adalah untuk subsidi listrik.

"Jika mengacu pada data empirik ini, maka pencabutan subsidi tersebut menjadi hal yang bisa dipahami," tutur Tulus.

Sebelumnya, pemerintah akan mencabut subsidi untuk pelanggan rumah tangga mampu 900 VA pada tahun depan. Direktur Pengadaan Strategis II PLN Djoko Abumanan mengatakan kebijakan itu guna subsidi lebih tepat sasaran ke depan. PLN, kata dia, selama ini memberikan subsidi kepada pelanggan 900 VA dan 450 VA.

"Nah kemarin keputusan di Senayan (Banggar), sudah deh, semua 900 VA dicabut. Begitu, Semua pelanggan 900 VA, baik yang mampu, tidak mampu, kalau dia pelanggan 900, dicabut (subsidinya). 900 VA, sudah pasti mampu ah," ujar Djoko di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Djoko memperkirakan jumlah pelanggan 900 VA, baik yang mampu dan tidak mampu, pada Januari 2020 mencapai 27 juta pelanggan. Apabila keputusan penghentian subsidi dilakukan, otomatis para pelanggan 900 VA akan dikenakan penyesuaian tarif.

"Maka akan ada tarif adjustment. Kelompok ini yang tadinya disubsidi jadi pindah kelompok ke yang tidak disubsidi. Tapi belum tentu, ada kenaikan tarif, tergantung dolar, ICP, dan inflasi. Masuk tarif penyesuaian tiga bulanan saja," ucap Djoko.