Dr. Lie Dharmawan, Penggagas RS Apung

`Saya Mau Jadi Dokter Agar Bisa Bantu Sebagian Yang Tidak Punya`

Jakarta, law-justice.co - Cita-citanya untuk menjadi dokter nyaris kandas. Bukan karena Lie Tek Bie, pria keturunan Tionghoa ini, tidak memiliki kemampuan akademik. Buktinya, dia dikenal sebagai siswa berprestasi di SMA Don Bosco, Padang, Sumatera Barat. Namun, entah mengapa sejumlah kampus kedokteran di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Semarang yang ia daftar, menolak menerimanya. Saat menjalani tes masuk di Jakarta, Lie Dharmawan, begitulah ia kemudian lebih dikenal, sempat dinyatakan lulus seleksi angka. Sayang, pria kelahiran Surantih, Sumatera Barat, 73 tahun silam ini gagal ketika melanjut ke tes psikologi. Pihak universitas lewat surat yang dikirim ke rumah menyatakan Lie tidak memiliki bakat menjadi dokter.

Kegagalan ini tak lantas menyurutkan ambisinya menggapai cita-cita. Lie tetap sabar dan terus berupaya. Setahun kemudian, tepatnya pada 1965, ia kembali mendaftar ke Universitas Res Publica (Ureca), Jakarta. Hasilnya membuat pria yang oleh teman-temannya disebut memiliki daya ingat kuat ini, akhirnya bisa bernafas lega. Dia diterima di kampus yang didirikan sebuah yayasan milik Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi massa yang dibentuk warga Tionghoa.

Baca juga : Ini Susunan Pemain Indonesia vs Uzbekistan: Sananta Gantikan Struick

Baperki berdiri pada 13 Maret 1954. Salah satu aktivitasnya adalah membangun sejumlah sekolah di berbagai daerah di Indonesian sebagai tempat bertemunya beragam suku dan ideologi. Sekolah-sekolah yang didirikan Baperki dirancang sebagai sekolah inklusif. Namun image dan stigma bahwa Beperki dan lembaga-lembaga pendidikannya eksklusif diperuntukkan bagi warga keturunan Tionghoa, sudah terlajur melekat.

Baru berapa bulan Lie menjalani status sebagai mahasiswa kedokteran, peristiwa kelam sejarah bangsa ini meletus. Pada 1 Oktober 1965 enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Enam jenazahnya kemudian ditemukan terkubur di sebuah sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Saat itu, Lubang Buaya dikenal sebagai pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga tragedi yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G 30 S ini langsung dikaitkan dengan PKI. Mereka dituding mendalangi peristiwa tersebut.

Baca juga : Myanmar Dilanda Gelombang Panas 48,2 Derajat Celsius

 

Dokter Lie Dharmawan, bekerja tanpa pamrih (foto: Intisari online)

Baca juga : Komisi III Dukung Polda Kalsel Miskinkan Bandar Narkoba dengan TPPU

Ureca yang dikelola Baperki pun terkena imbasnya. Meski Baperki merupakan ormas yang dibentuk atas dasar spektrum politik beragam dan inklusif, namun ketuanya pada waktu itu adalah Siauw Giok Tjhan, seorang wartawan dan aktivis politik berhaluan kiri. Kampus Ureca pun menjadi sasaran amuk para milisi yang percaya bahwa PKI dan organisasi sayapnya berada di balik peristwa G 30 S ini.  

Lie muda menyaksikan sendiri bagaimana massa membawa senjata dan pentungan masuk ke kampus merusak fasiltas yang ada di sana. Dia bahkan sempat terkena pukulan ketika bersama teman-teman termasuk kakaknya, Sebastian, berusaha mempertahankan kampus dari amukan massa. Sebastian sendiri adalah aktivis Perhimpunan Mahasiwa Indonesia (Perhimi) yang dekat dengan PKI. Organisasi ini didirikan pada 1950-an oleh sekelompok kecil mahasiswa radikal Tionghoa.

Setelah kampus dibakar habis, Ureca akhirnya diserahkan pengelolanya kepada pemerintah. Kampus ini kemudian kembali dibangun namun namanya diubah menjadi yang kita kenal sekarang sebagai Universitas Trisakti. Pengelolaannya pun diserahkan kepada rival politik Baperki, yakni Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB).

Lie kembali harus menerima kenyataan menunda menuntaskan sekolah kedokteran yang telah ia dambakan sejak kecil. Saat usianya masih 7 tahun, Lie yang merupakan anak keempat dari pasangan Lie Goan Hoey dan Pek Leng Kiauw, sudah gemar bermain peran sebagai dokter. Pasiennya kala itu adalah sang Kakek dari pihak ibu yang dikenal dengan sebutan “Encek Putih” yang pada 1950-an sudah dikenal sebagai tuan tanah. Kakeknya itu akan tertawa-tawa senang, saat Lie kecil ‘memeriksa’ dirinya menggunakan alat sederhanda yang ada di rumah.

Entah disadarinya atau tidak, menjadi dokter yang dermawan ternyata kelak menjadi destiny hidupnya.

Ada dua peristiwa dalam hidup Lie yang makin mengkristalkan tekadnya menjadi dokter. Pertama, ketika adiknya Lie Tek Tjoe meninggal di pengungsian akibat diare. Penyakit yang sesungguhnya tak mematikan itu ternyata bisa merenggut nyawa sang adik. Ibu mereka sangat terpukul. Ketidaktersediaan tenaga medis dan obat-obatan lebih merupakan faktor utama. Lie yang kala itu juga masih belia menyaksikan sendiri kepedihan mendalam sang mama atas kematian adik yang masih berusia 1 tahun itu.

“Ibu sangat terpukul, dan saya gak ngerti kesedihan orang tua pada waktu itu, baru setelah agak besar, ibu ceritakan, dan itu terbayang-bayang buat saya. Maka saya mau jadi dokter, agar bisa membantu sebagian yang tidak punya, agar tidak alami nasib sama seperti adik saya,” kenang Lie saat berbincang dengan awak Law-justice.co beberapa waktu lalu.

Yang kedua adalah kematian ayah. Lie kecil yang baru berusia 10 tahun atau kelas 4 Sekolah Dasar kembali menyaksikan kepedihan ibunya saat kehilangan suami. Ibu menangis seharian begitu mendapat kabar kematian, Lie Goan Hoey, ayah Lie, salah satu direktur di perusahaan Belanda.

Meski singkat saja mengenal ayahnya, Lie masih sempat mengingat satu pesan dari ayah: “Jadilah kepala, jangan mau selalu jadi ekor. Kalau mau jadi ‘perampok’, jadilah kepala perampok. Jangan jadi anak buah, risikonya besar tapi sedikit pendapatannya,” demikian seperti ditulis dalam buku biografi Lie Dharmawan: Dokter di Jalan Kemanusiaan.

Sekilas tentang ayah Lie. Meski tak mengecap pendidikan tinggi, Lie Goan Hoey memiliki karir bagus di NV Borsumij Maatschappij, perusahaan dagang milik Belanda yang termasuk salah satau dari ‘The Big Five’ yang menguasai perekonomian Hindia Belanda. Ayahnya yang terlahir dari keluarga misiki hanya mampu bersekolah hingga kelas 4 SD. Tetapi Hoan Hoey memiliki semangat belajar tinggi sehingga dia dapat menguasai tiga bahasa, yakni, Inggris, Belanda dan Hokkian yang ia pelajari secara otodidak.

 

Lie dalam gendongan sang mama (foto: dok keluarga)

Bermodal kemampuan berbahasa inilah, ia kemudian mendapat pekerjaan sebagai pesuruh di perusahaan Belanda tersebut. Karirnya kemudian melesat hingga menjadi salah satu direktur di sana. Sayang, kesehatannya menurun setelah dia mengalami insiden tabrakan kapal di Pekanbaru dan akhirnya dipanggil yang Kuasa pada Oktober 1956.

Mengidolakan Ibu

Meski amat terpukul, ibunda Lie tak lalu larut berlama-lama dalam kesedihan. Pek Leng Kiauw, sang mama, pun segera bangkit. Para tetangga mengenangnya sebagai ibu rumah tangga yang ulet dan pekerja keras. Apapun dia kerjakan demi menghidupi keluarga dan berjuang agar anak-anaknya tetap bisa sekolah. Leng Kiauw menerima jasa mencuci dan menyetrika pakaian, memasak untuk 6 hingga 8 orang, bikin kue unjuk dijajakan dari rumah ke rumah dan toko di kota Padang. Dia juga melatih anak-anaknya bekerja. “Saya kebagian membawa kue ke lapo di Padang,” kenang Lie.

Sebagian anak-anaknya masih terlalu kecil untuk diminta membantu ibu menopang hidup keluarga. Masih ada tiga adik Lie yang usianya dibawah 10 tahun. “Ibu saya melakukan segala macam pekerjaan. Apapun dilakukannya untuk membesarkan anaknya yang 7, satu meninggal karena penyakit gampang aja, menci-menci atau diare,” kata Lie.

Lie mengaku sangat dekat dengan ibunya. Menurut dia sang mama adalah perempuan tangguh, tak pernah mengeluh dan pekerja keras. Sebisanya ia selalu ingin membahagiakan ibunya. Hingga menjelang akhir khayatnya, Lie-lah yang menjaga, merawat dan berupaya membuatnya nyaman tinggal bersamanya di Kedoya, Jakarta Barat. Saat menjelang ajal hingga hembusan nafas terakhir, Lie ada di samping ibunya. Dialah yang berbisik di telinga sang mama ketika terbaring sakit di ICU: “Mama, kalau Mama mau pergi, pergilah…” Pek Leng Kiauw meninggal di Jakarta dalam usia 91 tahun.

Dia mengenangnya sebagai perempuan lemah lembut yang gemar membantu orang lain. Pesan ibunya yang terpatri hingga kini terkait profesinya sebagai seorang dokter adalah: ”Kalau kamu jadi dokter, jangan sekali-kali memeras orang miskin.” Meski sang ibu telah pergi sejak 2007, bagi Lie perempuan yang pernah melahirkannya ini tetap hidup di dalam kenangan.

Sekolah di Jerman Hingga Meraih Empat Spesialisasi

Di zaman Lie muda, bercita-cita menjadi dokter seolah menjadi hal yang muskil diwujudkan. Terlalu tinggi dari jangkakaun seorang anak keluarga biasa-biasa. Pergi ke dokter saja sudah menjadi kemewahan tersendiri, apalagi ini, ingin menjadi dokter. Begitulah pandangan awam saat itu. Dia masih ingat bagaimana teman-teman termasuk gurunya menertawakan dirinya saat mengatakan bercita-cita menjadi dokter. Kala itu Lie yang masih duduk di kelas 4 SD diminta berpidato soal cita-cita. Diapun menyebut ingin menjadi dokter. Seisi kelas tertawa. Meski menerima cibiran, tak lantas Lie menyerah.

Lie yang lahir di Surantih, pesisir selatan Sumatera Barat, 16 April 1946, bukan berasal dari keluarga yang betul-betul miskin. Dia pernah mengenyam kehidupan cukup berlebih saat ayahnya masih sehat.

Saat berjuang menggapai cita-cita, Lie selalu membarenginya dengan doa. Dia percaya kekuatan doa. Kebiasaanya adalah berdoa di gereja yang sudah dimulai sejak masih kelas 3 SMP. Kebetulan, lokasi gereja persis di samping sekolah. Doanya pun itu-itu saja, yakni: agar bisa menjadi dokter dan sekolah dokter ke Jerman. Setamat SMP Pius di Padang, Lie kemudian mendaftar ke SMA Don Bosco di Kota Padang. Tak sulit bagi Lie untuk melanjut ke SMA. Dia diterima dengan mudah karena prestasi akademiknya selama di SMP bagus.

Meski sudah SMA, rutinitas ke gereja dengan doa yang sama pun tetap ia lakoni. Lulus SMA dengan prestasi baik, Lie pun memilih hijrak ke Jakarta mengikuti jejak sang kakak, Sebastian (Lie Tek Lian) yang telah lebih dulu kuliah di Universitas Res Publica (Ureca), Jakarta.

Seperti telah diceritakan di atas, Lie kemudian melanjut kuliah di fakultas kedokteran Ureca. Selang beberapa bulan saja, terjadi hura-hara politik dengan pecahnya peristiwa G 30 S. Kampus Ureca dibakar massa dan lenyap dalam sekejap. Lie kembali tak bisa melanjut kuliah.

Saat itulah niat lama untuk sekolah kedokteran di Jerman kembali muncul meski dia tak punya gambaran bagaimana mewududkannya. Lie kemudian mulai mengumpulkan uang dengan bekerja serabutan. Sang kakak, Sebastian, mantan mahasiswa Ureca, banyak membantunya. Setelah putus kuliah, Sebastian kemudian mengelola usaha kecil dengan berjualan apa saja sambil menawarkan jasa mencarikan barang, atau istilah yang lazim kala itu “tukang catut.” Untuk menambah uang tabungan, Lie pun bekerja kepada sang kakak selama hampir dua tahun.

Setelah dirasa tabungannya mencukupi, dia pun mulai mendaftar ke sejumlah sekolah kedokteran di Jerman. Belasan surat lamaran ia tulis meski kemudian hanya satu universitas yang menerimanya, yakni Freie Universitat di Berlin Barat. Pada April 1967, Lie terbang ke Jerman.

Seolah menjadi bagian dari takdir hidupnya yang nyaris-nyaris gagal, demikianpun kisah perjalana Lie ke Jerman. Berbekal uang pas-pasan, dia nyaris menjadi korban deportasi saat transit di Perancis. Di Bandara Charles de Gaulle, Paris, ia kedapatan tak memiliki visa masuk Perancis. Masalahnya, dia sendiri pun tidak tahu jika meski hanya transit, para penumpang warga negara asing tetap memerlukan visa. Diinterogasi dengan pertanyaan bertubi-tubi, Lie yang bertubuh pendek ini pun mengaku pasrah. Dalam kepasrahan, tiba-tiba seorang komandan datang membelanya dengan mengatakan kepada rekan-rekannya bahwa negara tujuan Lie adalah Jerman bukan Perancis. Jadi menurut dia, Lie tidak perlu dideportasi. Lagipula kata sang komandan, dia hanya memegang one-way ticket.

Di kemudian hari, Lie menganggap kehidupannya yang selalu menyerempet-nyerempet gagal bukanlah sebuah kebetulan belaka. Ia yakin dirinya akan selalu dapat bertahan melewati berbagai tantangan hidup.  

 

Penampakan Lie saat masih mahasiswa kedokteran di Jerman pada 1970-an (foto: dok keluarga)

Lie menamatkan seluruh jenjang sekolah kedokterannya di Jerman, “Studi S1, S2, dan S3 semua di Jerman. Tahun 1967 saya ke Jerman, pulang 1985,” kata Dokter Lie. Dia meraih gelar PhD pada 1978 saat usianya masih 32 tahun. Enam tahun setelah itu ia beroleh empat spesialisasi bedah, yakni bedah umum, torak, jantung dan pembuluh darah. “10 tahun spesialisasi saya, baru pulang (ke Indonesia. Red).”

Saat menamatkan sekolah di Jerman bukan tanpa perjuangan. Untuk menopang biaya kuliah dan hidup, Lie menyambi kerja. Sejumlah pekerjaan pernah ia lakoni mulai dari menjadi tukang cuci piring di Kempinski Hotel saat akhir pekan, asisten di ilmu faal, buruh di perusahaan komponen otomotif Bosch, pegawai kantor pos, hingga jaga malam di rumah sakit. Buat Lie, tiada hari tanpa kerja. Tak jarang diapun mengalami depresi dan harus mengonsumsi valium.

Apalagi kemudian, Lie memboyong tiga adik laki-lakinya ke Jerman. Konsekuensinya, dia harus bekerja lebih keras dan hidup hemat. Kelak ketiga adik Lie pun mengikuti ‘perintah’ nya untuk menjadi dokter. Mereka kini telah hidup mapan. Herman, adik Lie paling besar kini berkarir sebagai medical manager di sebuah perusahaan di Jerman. Sementara adik Herman, Hendra menjadi dokter urolog di sebuah kota kecil sekitar 800 km dari Berlin. Sementara yang paling kecil Harry memilih menjadi pendeta di California, Amerika Serikat.

Berjodoh dengan gadis Semarang

Lie juga menemukan jodohnya, Listijani Gunawan, saat menimba ilmu di Jerman. “Jadi ibarat kata pepatah: garam di laut, asam di gunung, bertemu di periuk. Dia orang Semarang, Tionghoa juga tapi bukan dokter. Syukur Alhamdulillah,” kenang Lie sambil tersenyum. Listijani Gunawan pada waktu itu berstatus sebagai mahasiswi fashion design di Akademi Lette Verein, Berlin. Setelah berpacaran selama 2 tahun, keduanya kemudian menikah di Jakarta pada 1976. Pasangan ini kini dikaruniai tiga orang anak.

Keluarga mungil ini hidup mapan di Jerman. Karir Lie sebagai seorang dokter memiliki masa depan yang cerah. Ekonomi keluarga pun semakin stabil. Tetapi itu tak membuatnya merasa puas. Ada pergulatan batin dalam diri Lie. Dia selalu teringat pesan mamanya agar kelak jika sudah menjadi dokter harus dipakai untuk menolong orang miskin dan menderita. Di Jerman dia tak mungkin bisa melaksanakan pesan itu karena di sana orang sudah mapan semua.

Kegelisahan ini kemudian ia sampaikan kepada sang istri dan dua anaknya pada waktu itu. Beruntung mereka mau mengerti. Menjelang pergantian tahun pada 1984-1985, keluarga kecil ini pun kemudian terbang kembali ke Indonesia.

Ternyata tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Lie tak menyangka urusannya lebih rumit dari yang ia bayangkan. Saat itu sistem kedokteran mewajibkan dokter-dokter lulusan luar negeri untuk menjalani masa adaptasi. Tujuannya baik, agar mereka lebih familiar menangani jenis penyakit yang kerap muncul di Indonesia. Selama masa adaptasi tersebut, status dokter lulusan luar negeri adalah ‘dokter di bawah pengawasan.’

Lie menjalani proses itu bukan tanpa rintangan. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, dia masih mengalami perlakukan diskriminatif. Sempat frustrasi, namun akhirnya dia berhasil melewati proses adaptasi yang panjang dan berliku hingga statusnya menjadi ‘dokter tanpa pengawasan.’ Setelah sempat menjadi dokter di Bandung dan Semarang, Lie pun berlabuh di RS Husada, Jakarta. Pada Agustus 1988, dia menjadi ahli bedah umum di rumah sakit yang digagas seorang dokter Tionghoa lulusan Belanda, Kwa Tjoan Sioe.

Om Dokter yang rajin ikut Demo

Medio Mei 1998, kawasan Pecinan Glodok bak ghost city yang ditinggalkan seluruh penduduknya. Jalan-jalan sepi, listrik padam, bara api masih nampak menyala di sejumlah bangunan pertokoan sisa aksi penjarahan dan penyerangan. Kebanyakan pemilik toko sudah kabur ke luar negeri. Itulah sepenggal catatan kondisi Jakarta saat terjadi kerusuhan sosial pada Mei 1998.

Menurut catatan Amnesty International, peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Mei 1998 menyebabkan kematian lebih dari 1.000 jiwa dan ada 85 perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan.

 

Dokter Lie Dharmawan (foto: P.Hasudungan Sirait/Law-justice.co)

Dokter Lie Dharmawan, aktivis sosial di gereja dan ahli bedah di Rumah Sakit Husada, termasuk satu dari sedikit orang yang cepat menerima laporan soal pemerkosaan. “Peristiwa ini sudah lama berselang, dan kadang-kadang memori kita udah mulai agak kabur-kabur. Tapi ada sesuatu yang masih membekas, yakni rasa ketakutan saat peristiwa itu terjadi,” kata Lie.

“Saya yakin tidak seorang pun tahu apa sebenarnya yang terjadi pada saat itu, kecuali kita melihat ada huru-hara, ada pembakaran, ada ini itu tanpa mengetahui apa sebenarnya yang terajdi,” ujarnya kepada Law-justice.co di kantor DoctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli) di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Pertanyaan-pertanyaan tentang apa sebetulnya yang terjadi pada korban dan mengapa dia menjadi korban, hingga kini tetap menjadi misteri. Yang Dr. Lie tahu kapasitasnya sebagai seorang ahli bedah lebih dibutuhkan ketimbang mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang ia yakin hingga kini pun belum ada jawabnya.

Lie bisa diterima para korban perkosaan karena selain berprofesi sebagai ahli bedah, dia juga sudah aktif berkegiatan sosial di sebuah geraja. Dia menjadi anggota Providentia, yayasan sosial yang dikelola Pastor John Lefreuw. Itu antara lain alasan mengapa kemudian dia banyak dirujuk para relawan kemanusiaan untuk turut membantu para korban perkosaan. Dia dianggap tepat menangani para korban yang umumnya mengalami trauma berat bahkan depresi akut.

“Awalnya saya seorang yang melakukan pekerjaan sosial di gereja, dan dalam kapasitas itulah orang-orang membawa kepada saya korban-korban,” katanya.

Lie juga dikenal akrab dengan para mahasiswa yang turun ke jalan untuk menggulingkna rezim Soeharto. Sepakat dengan perjuangan mereka, Lie tergugah untuk ikut. Hampir setiap hari dia ikut demonstrasi. Biasanya ikut bergabung setelah tugas praktiknya di Rumah Sakit Husada usai. Saat ada jadwal demonstrasi, dia juga akan menutup polikliniknya lebih awal.

“Waktu itu ada Forkot, dan lain-lain. Pokoknya siapa saja yang demo, saya ikut di belakang aja. Saya selalu pake buju putih (dokter), dan mereka (para mahasiswa. Red) tahu, ini Om dokter. Saya datang dengan (mobil) Kijang berwarna merah. Kalo saya datang, mereka sudah tahu. Om dokter datang, buka jalan,” kenangnya sambil tersenyum.

Terkait aktivitasnya ini, Lie sempat ditegur pihak rumah sakit tempatnya bekerja. Namun dia selalu menjelaskan bahwa itu dilakukan di luar jam kerja. Lie mengaku tidak mewakili kelompok atau organisasi tertentu saat ikut berdemo dengan mahasiswa. “Saya tidak punya organisasi. Saya cuma mau dari diri sendiri, mau sumbangkan sesuatu untuk membebaskan negara kita dari cengkeraman rezim otoriter.”

Begitula Lie, jika dirinya melihat ketidakadilan maka dia tak bisa tinggal diam meski harus menanggung risiko. Keterlibatan Lie sebagai aktivis tentu bukan tak mendatangkan risiko. Dirinya yang keturunan Tionghoa kerap menjadi sasaran ancaman sejumlah oknum.

 

Aktivitas sosial DoctorSHARE (foto: liputan6)

Dia mengaku beberapa kali menerima ancaman teror per telefon. Isinya seperti: “Eh kau Cina, berani ngomong ya sekarang. Enak ya berani buka-buka mulut ya, nanti saya kirim ‘preman-preman’ ke rumahmu membawa ‘cinderamata’. Atau di lain kesempatan, ada juga yang menelpon pada pagi dinihari sekutar pukul 02.00 atau 03.00: ‘Dokter sudah pulang ke rumah ya,’ atau ‘Anak dokter namanya yang pertama si anu, lahir tanggal sekian, sekolah di sana.’ Mereka tahu semua. “Jadi seperti mau ‘menyapa’, ‘Apa kabar Dok, tadi demonstrasinya gimana Dok’.

Telepon bernada ancaman itu pasti terkait dengan aktivitasnya. “Saya setiap hari dulu demosntrasi dengan mahasiswa. Dari rumah sakit itu saya sendiri. Ada satu atau dua suster yang ikut,” katanya.

Khawatir teror telepon akan mewujud menjadi ancaman fisik, Lie pun memutuskna mengungsikan anak-anaknya dan istrinya ke Amerika Serikat. Dia juga kemudian mengikuti jejak anak dan istrinya setelah menyadari situasi di Jakarta kala itu makin memanas. Tidak bergabung dengan keluarganya di AS, Lie memilih terbang ke Jerman. Pada April 1999 dia meninggalkan Jakarta dan selama sekitar setahun Lie memutuskan menanggalkan aktivitas politiknya.

 

Rumah Sakit Apung DoctorSHARE (foto: Tempo)

Setelah keadaan politik membaik, Lie kembali ke Indonesia. Kini, kegiatannya lebih banyak diisi dengan beragam aktivitas sosial bersama kelompoknya di Perhimpunan Indonesia Tionghoa atau Perhimpunan INTI. Dialah penggagas berdirinya Departemen Kesehatan dalam organisasi tersebut. Jangkauan aksinya meluas dari hanya Jabodetabek, kemudian merambah sampai ke Aceh, makin intens saat provinsi yang dikenal sebagai Serambi Mekah ini dilanda Tsunami.

Lie yang sangat peduli membantu masyarakata miskin merasa perlu memiliki lembaga sendiri yang fokus pada kegiatan pelayanan kesehatan. Inilah awal gagasan berdirinya Yayasan Dokter Peduli atau DoctorSHARE. Bersama Lisa Suroso, seorang aktivis pergerakan 1998, Lie mendirikan organisasi nirlaba yang memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan. Beberapa dokter muda pun ikut bergabung. Mereka banyak menyambangi penduduk yang menderita kekurangan gizi khususnya di sejumlah daerah terpencil.

Seiring waktu, DoctorSHARE juga makin memantapkan diri pada kegiatan pelayanan medis. Pelayanan medis perdana dengan bendera DoctorSHARE ditujukan bagi korban letusan Gunung Merapi.

Tak berhenti di sana, Lie kemudian menggulirkan ide yang lebih fenomenal, yakni membangun Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta pertama di Indonesia. Tujuannya agar lebih mudah menjangkau ribuan warga miskin di pelosok-pelosok yang yang tak memiliki akses pada pelayanan medis.

Semula, banyak temannya pesimis ide tersebut dapat mewujud. Selain karena biaya yang dibutuhkan amat besar, juga ada persoalan teknis lainnya, seperti: apa jenis kapal yang hendak dipakai, berapa ukurannya, fasilitas apa saja yang perlu ada, bagaimana bahan bakarnya, dsbnya.

Namun tekad Lie sudah tak terbendung. Diapun membeli sebuah kapal pinisi di Palembang dengan harga Rp.550 juta. Uang untuk membayar uang muka sebesar Rp.350 juta berasal dari kocek pribadinya hasil dari menjual rumah. Sisanya dilunasi secara angsuran selama setahun. Dalam wawancara dengan Law-justice.co dia sempat berujar mengatakan dirinya berterima kasih pernah diwawancarai presenter Andy Noya di program televisi Kick Andy, karena usai acara talkshow tersebut ditayangkan, dia menerima sejumlah telepon yang menawarkan bantuan. Kini terbukti ide yang sudah ada di benak Lie sejak 2008 itu bukan sesuatu yang mustahil. Sejak mulai beroperasi pada 2013 hingga ini, kapal tersebut masih terus berlayar dengan selamat.