Cerita Monika 10 Bulan Ditipu Mak Comblang, Disiksa Suami China

Jakarta, law-justice.co - Monika Normiati, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhasil dipulangkan usai 10 bulan dikawini pria di China dengan modus iming-iming suami kaya. Realitasnya, ia dieksploitasi suami dan mertua di Negeri Tiongkok.

Seknas Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Boby Anwar, menjelaskan Monika baru tiba di Indonesia pada Jumat (22/6).

Baca juga : Satelit China ini Ungkap Kehancuran Gaza Lampaui Nagasaki

"Kami meyakini apa yang dialami Mbak Monika adalah TPPO. Ada tiga unsur TPPO yang terpenuhi dalam kasus ini, yaitu proses, cara, dan eksploitasi," kata Boby saat jumpa media di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/6).

Menurut Bobby, unsur `proses` terpenuhi saat Monika direkrut oleh perekrut lapangan yang biasa disebut `mak comblang`. Monika yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat, direkrut `mak comblang` yang beroperasi di Pontianak.

Baca juga : Menlu Sebut Kasus WNI di Luar Negeri Melonjak 50 Persen Jadi 53.5

Monika kemudian dipertemukan dengan dua `mak comblang` yang beroperasi di Singkawang dan Jakarta.

Selanjutnya, unsur `cara` penipuan terpenuhi saat Monika dipertemukan dengan calon suami asal China yang diklaim sebagai orang kaya. Bahkan dalam proses itu `mak comblang` mengiming-iminginya dengan jaminan seluruh kebutuhan hidup dan uang yang bisa dikirim ke keluarga saat berada di China nanti.

Baca juga : Wacana Sawah Padi China Satu Juta Hektare di Kalimantan Tak Masuk Akal

Kejahatan TPPO

Menurut Boby, unsur `eksploitasi` terpenuhi saat dipekerjakan tanpa upah dan tanpa istirahat yang cukup. Misalnya, saat Monika menolak berhubungan badan dengan suami karena kelelahan ia mendapat kekerasan fisik.

"Mereka (mak comblang) sudah punya perangkap untuk memuluskan aksi. Misal wali nikah palsu, menyiapkan semacam resepsi dan fasilitas tinggal di hotel untuk calon pengantin. Mereka memberikan uang Rp16-20 juta kepada calon pengantin sebagai pengikat," kata Boby.

Boby melanjutkan, "Mereka punya jaringan banyak, ada agen di China dan Indonesia. Jaringan tumbuh kembang karena ada perekrut yang sudah sampai ke desa-desa. Mereka mencari perempuan yang butuh uang untuk kebutuhan keluarga".

Dalam kesempatan yang sama, Monika membenarkan penjelasan Boby. Awalnya, ia dikenalkan dengan `mak comblang` yang beroperasi di Pontianak dari temannya pada awal September 2018.

Tak lama, Monika dibawa `mak comblang` yang beroperasi di Pontianak ke sebuah rumah. Di rumah itu Monika dipertemukan dengan dua calon suami asal China, Monika menolak menikah karena merasa tidak cocok.

"Dia bilang akan carikan calon lain. Selanjutnya saya dibawa ke Singkawang, di sana ada dia calon suami dan ada mak comblang (yang beroperasi di) Singkawang. Saya setuju menikah karena `mak comblang` bilang saya akan aman di sana," kata Monika.

Pernikahan

Proses berlanjut ke pernikahan di tempat rias pengantin, Monika diberi cincin dan uang tunai Rp19 juta. Dalam proses itu ada tiga `mak comblang` yang beroperasi di Pontianak, Singkawang, dan Jakarta. Mereka mengiming-imingi Monika bahwa suaminya memiliki gaji Rp10 juta per bulan dan ia boleh meminta uang untuk dikirim ke keluarganya.

Setelah itu Monika pulang ke Pontianak bersama `mak comblang` yang beroperasi di Jakarta dan suaminya. Saat sampai di rumah, `mak comblang` tersebut meminta penegasan kepada Monika soal iktikadnya untuk menikah. Setelah mengiyakan, Monika diminta menandatangani sebuah surat.

Ketua SBMI Mempawah, Mahadir, menjelaskan dalam proses pernikahan ada surat keterangan nikah dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Mempawah dan surat rekomendasi dari salah satu yayasan agama Budha. Belakangan diketahui surat Dukcapil bisa dibuat karena menghadirkan joki yang menggantikan Monika.

"Saya sudah mencari dan Dukcapil sudah membatalkan pengeluaran surat keterangan nikah itu. Mungkin takut terjerat karena kami terus mengungkap kasus ini," kata Mahadir.

Monika berangkat ke China pada pertengahan September 2018. Ketika sampai di sana ia sempat mampir ke suatu apartemen. Di lokasi itu ada tiga perempuan asal Indonesia yang juga dinikahkan. Monika mengatakan apartemen itu milik bos agen yang menjalankan perkawinan pesanan.

Selama di China, Monika tinggal bersama suami dan mertuanya, ia tidak tahu di daerah mana karena tidak diberi tahu. Monika diminta mertuanya merangkai bunga selama 12 jam tanpa henti. Bila melawan atau menolak bekerja sama Monika akan mendapat hukuman.

"Saya pernah ditelanjangi mertua karena tidak mau melayani suami dengan alasan haid, dia tidak percaya. Saya juga pernah tidur di luar tanpa selimut dan bantal saat musim dingin. Suami saya diam saja," ucap Monika.

Selain itu, Monika juga pernah tidak diberi makan selama dua sampai tiga hari karena melawan mertua. Ia juga beberapa kali menerima kekerasan fisik dari suaminya sampai akhirnya Monika melarikan diri ke kantor polisi di Provinsi Hebei dan menelpon ke KBRI untuk meminta pertolongan.

Kepolisian membantu Monika sampai ia berhasil mendapat paspor yang sebelumnya tak diberikan suami. Namun setelah itu ia tertahan di rumah ipar sehingga melarikan diri dan berhasil terbang ke Indonesia setelah melewati beberapa proses yang tidak mudah.

"Awalnya saya kabur karena bapak saya sekarat di rumah sakit, saya pakai wi-fi waktu itu. Tapi setelah sampai sini bapak saya sudah meninggal," kata Monika.

Korban Lainnya

Dari kasus ini Jaringan Buruh Migran mendata ada 13 perempuan asal Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat yang menjadi korban dugaan TPPO. Sebagaimana yang dilansir dari CNN, 2 diantara 29 perempuan sudah berhasil dipulangkan, salah satunya adalah Monika.

Boby mendapat informasi bahwa fenomena laki-laki China menikahi perempuan asal negara lain berawal dari peraturan pemerintah tahun 1973. Menurutnya saat itu pemerintah membatasi satu keluarga hanya boleh memiliki dua orang anak.

"Di sana lebih ingin punya anak laki, kalau perempuan boleh digugurkan, jadinya krisis perempuan dan kalau menikah dengan orang sana biayanya bisa sampai Rp 2 miliar. Kalau dengan pengantin perempuan di Indonesia mereka biasanya diminta menyiapkan Rp 400 juta," kata Boby.

Jaringan Buruh Migran sudah melaporkan 27 korban kepada Kementerian Luar Negeri. Menurut Boby Kementerian Luar Negeri tak bisa berbuat apa-apa karena China menganggap 27 perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sudah menikah, bukan korban TPPO.