Ke Arah Mana Vonis MK di Sengketa Pilpres, Adil atau Sebaliknya?

Jakarta, law-justice.co - Hari-hari ini hampir seluruh perhatian masyarakat tertuju pada sidang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang mengadili kasus sengketa Pilpres antara pasangan nomor urut 01 Jokowi –Ma’ruf Amin vs pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga. Hakim MK sendiri akan memutus perkaranya pada  tanggal 28 Juni 2019 hari selasa. Sesuai ketentuan MK, putusan sengketa hasil pemilihan umum (PHPU) harus diterbitkan maksimal 14 hari kerja. Berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, MK memang diberikan kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu/ Pemilukada.

Merujuk pada Pasal 77 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, setidaknya ada tiga kondisi putusan lembaga peradilan konstitusi tersebut. Pertama adalah jika MK berpendapat permohonan tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakannya tak dapat diterima. Kedua, jika MK berpendapat permohonan beralasan, amar putusan menyatakan dikabulkan. Dan, MK akan membatalkan hasil rekapitulasi nasional yang sudah diumumkan KPU lalu menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Terakhir jika MK berpendapat permohonan tidak beralasan, amar putusan pun menyatakan permohonannya ditolak.

Baca juga : Ini Poin Kritikan Pakar Asing soal MK Tolak Sengketa Pilpres 2024

Pada UU yang sama, pasal 10 menyatakan putusan MK bersifat final atau berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Walhasil, tak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Jika merujuk berkas permohonan yang dimasukkan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi ke MK disebutkan dalam petitumnya ada kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019. Atas dasar itu, mereka menilai perhitungan suara nasional yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sah.

Kubu Prabowo-Sandi, dalam petitum permohonan juga meminta MK membatalkan hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan KPU. Mereka pun meminta MK agar menyatakan bahwa paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma`ruf telah melakukan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat TSM.

Baca juga : Satire, Said Didu: Sepertinya `Kehebatan` Jokowi Harus Diakui!

Mereka juga meminta MK agar membatalkan atau mendiskualifikasi Jokowi-Ma`ruf dari peserta Pilpres 2019. Kemudian, menetapkan Prabowo-Sandi sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan perolehan 52 persen suara. Unggul atas Jokowi-Ma`ruf dengan 48 persen suara. Paslon 02 juga meminta MK agar memerintahkan KPU menerbitkan surat penetapan Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih seketika usai putusan dibacakan.

Kini publik dag-dig-dug menunggu keputusan apa gerangan yang bakal di jatuhkan oleh MK terkait dengan sengketa pilpres yang begitu banyak menyita perhatian seluruh warga negara karena menyangkut nasib bangsa Indonesia. Kegelisahan menunggu hasil keputusan MK ini ternyata juga di rasakan oleh Cawapres pasangan nomor urut 01, KH. Ma’ruf Amin. 

Baca juga : Pakar UGM Beberkan Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

Di kediaman rumah Ketua DPD, Osman Sapta Odang (OSO), Jakarta Selatan, beberapa waktu yang lalu, Ma`ruf pernah berbicara tentang kemenangan yang digantung. Ia menyebut kemenangannya di pilpres digantung karena menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)."Kami bersyukur karena menurut quick count, real count KPU, Pak Jokowi dan saya sebagai pemenang pilpres, tapi menangnya masih digantung, masih muallaq (sesuatu yang digantungkan). Jadi ada kawin gantung, biasanya ada kawin digantung karena belum boleh kumpul. Sekarang menang digantung karena masih menunggu keputusan MK," paparnya.

Tipis Peluang

Sebagaimana diketahui bersama, sidang pertama MK untuk mengadili perkara sengketa Pilpres telah dilakukan hari Jum’at tanggal 14 Juni 2019 yang lalu, namun beberapa pengamat menilai tipis peluang bagi pasangan nomor urut 02 untuk memenangi perkara. Adalah mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva mengatakan, pembuktian dugaan kecurangan pada Pilpres 2019 sangat sulit dilakukan. Apalagi, jika selisih perolehan suara di antara dua pasangan calon terpaut cukup jauh jaraknya.

Hal itu dikatakan Hamdan dalam wawancara dengan Aiman Witjaksono dalam program Aiman yang ditayangkan Kompas TV , Senin (20/5/2019)."Itu sangat sulit sekali, susah dan tidak gampang," ujar Hamdan Zoelva. Hamdan Zoelva menyebutkan, dalam sistem hukum mengenai pembuktian, siapa pun yang mendalilkan ada kecurangan, pihak tersebut harus bisa membuktikan kecurangan di hadapan hakim. Jika salah satu paslon menduga ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif, pihak tersebut harus bisa membuktikannya di MK.

Karena tipisnya peluang itu akhirnya ada sebagian pendukung 02 yang mulai pesimis jagonya bisa menang di MK. Apalagi setelah melihat adanya kenyataan bahwa Ketua MK Anwar Usman di media sosial diisukan sebagai bagian dari sebuah partai politik (Nasdem) yang sangat getol mendukung petahana. Sehingga tidak mungkin rasanya ia bisa memutuskan perkara dengan adil dalam sidang gugatan hasil pemilu.  Selain itu di media sosial juga ditunjukkan adanya foto Anwar Usman yang setengah membungkuk ketika bersalaman dengan Presiden Jokowi seusai mengucapkan sumpah dan janji hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, pada 7 April 2016  dan hal itu bisa ditafsirkan ia tak independen.

Dalam hal ini menurut kubu yang pesimis menilai bahwa MK sepertinya akan lebih nyaman untuk memutus sengketa dengan menolak permohonan kubu 02 ketimbang meluluskannya, meskipun pasangan calon lawan melakukan kecurangan. Apalagi narasi yang dikembangkan sekarang adalah bahwa semua pasangan telah melakukan kecurangan hanya intensitasnya saja yang beragam. Karena itu memutus yang kalah adalah kalah, jauh minim resikonya  ketimbang memutus yang menang menjadi kalah.

Berkaca pada keputusan MK tentang hasil pilkada, substansinya bukan pada curang atau tidak curang. Tetapi selisih suara yang signifikan. Seorang calon kepala daerah, bisa curang secara terstruktur, sistematis dan masif, namun tidak akan bisa dipersoalkan ke MK jika selisihnya tidak signifikan. Melebihi 2 sampai 5 % dengan pihak yang dikalahkan selaku pemohon. Pada kasus ini, MK tidak mau pusing melihat substansi permohonan. MK hanya fokus kepada selisih suara antara pemohon dengan pihak yang dimenangkan KPUD. Jika selisih suara melebihi batas ambang gugatan, maka putusan sudah pasti ditolak. MK lebih ringan pekerjaannya tanpa perlu repot memeriksa bukti berkarung-karung yang membuat pusing kepala.

Belajar dari pengalaman keputusan sengketa pemilu yang sudah-sudah,  nyaris tidak ada putusan MK yang memenangkan sengketa pemilu atau Pilpres, kecuali sedikit. Yang dimenangkan MK juga hanya mengulang pemilihan di beberapa tempat, bukan otomatis membatalkan pemenang dan menetapkan pemohon menjadi pemenang. Boleh dikatakan, semua permohonan PHPU (Perselisihan Hasil Pemungutan Suara) di MK berujung kekalahan. Baik itu Pilpres maupun Pilkada, semua harapan menang dikubur oleh MK. Karena itu, jika ada dugaan kuat rejim curang dalam Pilpres maka membawa perkara ke MK merupakan tindakan mengubur harapan saja.

Karena bagaimanapun pelaku curang pasti akan mendorong proses hukum, agar kecurangannya bisa ditutupi melalui proses hukum. Apalagi para pengadil yang memutus perkara sengketa itu merupakan “orang-orangnya” yang ditanam disana untuk mengadili perkaranya. Jadi dalam hal ini pasangan 02 seperti masuk perangkap kubu 01 saja. Itulah untungnya pihak yang sedang berkuasa, bisa mengendalikan hukum karena pengaruh kekuasaannya.

Sebab itulah kubu yang pesimis menyarankan supaya pendukung kubu 02 tidak perlu terlalu optimis pada keputusan MK dan sejak awal memang mendorong lebih baik tidak usah ke MK. Karena belajar dari pengalaman sebelumnya, optimisme itu akan berakhir dengan duka. Mereka lebih suka berprinsip biarkan saja secara de facto, Jokowi yang Presiden, tetapi tidak mendapat legitimasi dari 80 juta pemilih Prabowo. Sangatlah merisaukan Jokowi dan pengikutnya, jika dia menjadi Presiden, tetapi ada 80 juta orang yang punya hak pilih dan puluhan jutaan lainnya dari anak dan keluarga para pemilih 80 juta tadi (jika ditotal bisa lebih dari separuh warga Indonesia), justru menilai Jokowi bukan presidennya, tetapi Prabowo.

Terbuka Peluang

Selain mereka yang pesimis, ada juga kubu 02 yang sangat optimis sengketa pilpres di MK kali ini akan dimenanginya. Apalagi setelah menyaksikan sidang perdana di MK tempo hari dimana nampak hakim MK telah berlaku adil dalam menangani perkara. Tim hukum 02 sendiri begitu optimis bahwa pihaknya bisa meyakinkan majelis hakim agar memenuhi tuntutannya. Dalam hal ini Ketua Tim Hukum BPN Prabowo- Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, telah  mencoba merumuskan terkait terjadinya kecurangan yang bisa dikualifikasi sebagai terstruktur, sistematik, dan massif (TSM). "Ada berbagai argumen diajukan di situ dan beberapa alat bukti yang menjadi pendukung untuk menjelaskan hal itu," kata Bambang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (24/5).

Dalam hal ini Tim kuasa hukum 02 berusaha untuk  mendorong MK bukan sekadar Mahkamah Kalkulator yang bersifat numerik, tapi memeriksa  kecurangan secara keseluruhan. Langkah kuasa hukum 02 ini dinilai Mahfud MD cukup cerdik. ”Ya kalau saya melihat dari pokok permohonan yang sudah disampaikan oleh Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana (Tim Kuasa Hukum) yang saya ikuti, ini nampaknya sengketanya akan fokus ke sengketa kecurangan jadi sifatnya kualitatif bukan kuantitatif,” ujar Mahfud, Jumat (14/6/2019).

Karena berdasarkan kualitatif, bukti yang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap tak akan bisa diperiksa. Bukti-bukti form yang sekian kontainer dibawa oleh KPU mungkin tidak akan diperiksa karena pemohon tidak mendalilkan kecurangan angka itu atau pemohon tidak mendalilkan perselisihan itu bahwa ada kesalahan dalam penetapan angka. Yang didalilkan adalah adanya kecurangan dalam pembuatan keputusan yang berakibat pada angka berdasar formulir resmi, jadi yang digugatkan itu adalah kecurangan yang sifatnya kualitatif. Karena bersifat kualitatif, maka tidak perlu ada adu dokumen dalam pemeriksaan dan pembuktian di MK.

Dalam hal ini yang sedang coba dibangun oleh tim kuasa hukum 02 adalah pembentukan opini terkait legitimasi Pemilu secara keseluruhan yang telah dilaksanakan secara curang. Kuasa hukum 02 barangkali menyadari dengan selisih suara yang mencapai 16,9 juta, maka peluang pasangan nomor urut 02 untuk memenangkan kontestasi kali ini dipastikan akan sangat sulit. Oleh karena itu mereka kemudian mendorong agar sengketa pemilu kali ini diarahkan ke masalah kecurangan secara keseluruhan. Untuk itu Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sebagai tim resmi menyebutkan bahwa gugatan ke MK bukan untuk mencari menang atau kalah, tetapi ingin membuktikan tuduhan bahwa Pemilu 2019 tidaklah jujur dan adil (jurdil).

Dalam gugatan dinyatakan pula bahwa kubu Prabowo-Sandi meminta MK untuk tidak hanya memutuskan perkara berdasarkan jumlah suara atau atas dasar benar salah saja. Menurut mereka, adalah bertentangan dengan konstitusi, jika MK hanya menghitung suara dan tetap memenangkan suatu pasangan capres dan cawapres, meskipun kemenangan suara pasangan tersebut nyata-nyata adalah hasil dari kecurangan pemilu yang “terstruktur, sistematis, dan masif”.

Dari pernyataan tersebut, memang terlihat ada upaya untuk menggeser konteks sudut pandang terhadap kecurangan Pemilu. Yang ingin dicapai dari gugatan ini adalah generalisasi terhadap keseluruhan Pemilu tanpa perlu membuktikannya satu per satu sedetail mungkin. Ibaratnya seperti peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Jika ada satu titik yang berhasil dibuktikan kecurangannya, maka Pemilu secara keseluruhan harus dianggap “rusak” karena kecurangan tersebut.

Logika yang dipakai pada alur berpikir yang demikian adalah inductive reasoning atau cara berpikir induktif, di mana satu premis yang kuat dianggap punya kemampuan untuk membuat kesimpulan menjadi benar. Cara berpikir ini telah diperhatikan sejak era Aristoteles. Jadi, dalam konteks Pilpres 2019, ketika menemukan satu atau beberapa bukti bahwa penyelenggaraan kontestasi elektoral benar-benar curang, maka kesimpulan bahwa kecurangan yang “terstruktur, masif dan sistematis” dianggap bisa jadi benar karena melibatkan penyelenggara pemilu atau pihak terkait yang mempunyai kewenangan.

Jadi dalam konteks Pilpres kali ini, hasty generalization yang ingin dicapai dengan menggeser sudut pandang agar konteks Pemilu dilihat secara keseluruhan. Jika ada satu titik cacat, maka kesimpulan bahwa Pemilu secara keseluruhan cacat secara “terstruktur, masif dan sistematis” dianggap benar.

Oleh karena itu jika kuasa hukum 02 mampu meyakinkan hakim MK lewat pembuktian bahwa kecurangan Pemilu benar-benar ada, maka sangat mungkin hakim MK akan menilai penyelenggara Pemilu memang benar-benar telah dilaksanakan secara curang sehingga keputusan hakim MK akhirnya nanti berpihak kepada pasangan 02. Peluang ini rupanya juga sempat dibaca oleh  Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun yang menganggap ada celah kemenangan dari pihak pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk menang gugatan di MK.

Dilansir oleh tayangan tvOneNews, Refly mengatakan ada sejumlah dalil yang harus dibuktikan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Sandi di MK, Jumat (7/6/2019)."Yang harus dikonsentrasikan dulu bagaimana membuktikan semua dalil," kata Refly Harun. Menurutnya, jika pembuktikan dari kuasa hukum Prabowo-Sandi kuat, maka kecil kemungkinan Hakim MK (Mahkamah Konstitusi) tak mengabulkan permohonan tersebut. Walaupun MK dianggap tidak netral sekalipun, bisa saja pembuktian yang kuat akan tetap memenangkan Prabowo-Sandiaga.

Kini publik hanya bisa menduga-duga kemana arah keputusan dari hakim MK atas sengketa pilpres yang banyak menyita perhatian kita bersama. Disini harus diakui beban tim hukum Prabowo-Sandi memang berat. Apalagi dengan target memenangkan pemilu secara konstitusional melalui jalur MK. Walaupun begitu kita berharap apapun yang sedang dilakukan oleh kedua kubu dapat menjadikan hal itu sebagai proses yang dapat mendewasakan rakyat Indonesia dalam berdemokrasi dan politik, harus dengan cara yang jujur serta bermartabat. Bukan dengan cara menghalalkan segala cara, apalagi sebagai petahana yang mempunyai segala kuasa dan alat kekuasaan. Untuk apa menjadi Presiden, tetapi legitimasinya tidak mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat tahu Presiden yang terpilih melalui proses pemilu yang tidak jujur dan adil alias terstruktur, sistematis dan massif.