Menikah Secara Agama, Bisakah Bercerai Menggunakan Hukum Negara?

law-justice.co - Di Indonesia, menikah secara agama (siri) masih kerap dilakukan. Kesadaran bahwa mengikat diri dalam lembaga perkawinan harus berdasarkan hukum negara, nampaknya masih belum dipandang perlu. Padahal, risiko menikah hanya dengan hukum agama, sangat besar terlebih untuk hal yang berkaitan dengan masalah hak-hak istri dan anak.

Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan, syarat sahnya suatu perkawinan, selain dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, juga harus dicatatkan menurut perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan bagi umat Islam harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Bagi non muslim di Dinas Pencatatan Sipil.

Baca juga : Tak Bisa Nikahi Muslim, Pria Katolik Gugat UU: Perkawinan Hak Asasi!

Pernikahan yang dilaksanakan hanya dengan hukum agama dan tidak dicatat di lembaga negara, tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya, tidak ada bukti otentik berupa surat nikah yang berdampak tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum negara terhadap hak-hak istri dan anak dari perkawinan siri.

Anak yang lahir dari perkawinan jenis ini, secara hukum dianggap hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat [1] UUP jp. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam atau KHI).

Baca juga : Dispensasi Pada UU Perkawinan Jadi Masalah Bagi Perlindungan Anak

Namun peraturan tersebut, telah diperbaharui berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang diikuti dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Maka, berdasarkan peraturan tersebut, anak yang lahir dari perkawinan hukum agama, orangtuanya harus melapor pengakuan anak ke Pejabat Catatan Sipil agar hak anak bisa diakui.

Hal yang sama juga bisa dilakukan jika pasangan menikah siri ingin bercerai. Mereka harus lebih dulu mencatatkan pernikahaan sirinya di Dinas Pencatatan Sipil. Setelah itu baru bisa mengajukan gugatan cerai.

Permohonan sahnya pernikahan juga dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, dan kemudian mengajukan perceraian.

Jadi jika menikah secara agama, tidak ada lembaga negara yang berwenang menangani proses perceraian, dan memberii perlindungan pada hak-hak istri dan anak seperti diatur dalam UUP. Karena itu, catatlah pernikahan di lembaga negara, selain secara hukum agama yang dianut.

Disarikan dari: LBH Jakarta