MA Anulir Vonis Mati Bandar Narkoba, Kejagung Beri Respons Begini

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung (Kejagung RI) mengaku menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir vonis hukuman mati terhadap gembong narkoba Andi bin Arif alias Hendra alias Udin menjadi 14 tahun penjara.

"Biar masyarakat yang menilai putusannya," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana saat dikonfirmasi, Rabu (8/5).

Baca juga : Kejagung Blokir 66 Rekening, Sita 187 Tanah, 55 Alat Berat & 16 Mobil

Meski begitu, Ketut mengatakan pihaknya tetap menghormati putusan hukum yang telah diberikan oleh Mahkamah Agung. Ia menyebut putusan tersebut juga telah bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa diajukan banding kembali.

"Itu sudah putusan akhir, yang bisa kita lakukan hanya eksekusi melaksanakan putusan pengadilan," katanya.

Baca juga : Kejagung Sebut Jet Pribadi Harvey Moeis Terindikasi Hasil Korupsi

Sebelumnya gembong narkoba bernama Andi bin Arif alias Hendra alias Udin diselamatkan Mahkamah Agung (MA) dari vonis hukuman mati. Majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) kedua menjatuhkan hukuman terhadap Andi dengan pidana 14 tahun penjara.

Andi sendiri telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tarakan pada 9 April 2018. Hukuman mati itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Timur di Samarinda pada 31 Mei 2018.

Baca juga : Berkas Kasus Crazy Rich Budi Said Lengkap, Bakal Segera Disidang

Selanjutnya pada 29 Oktober 2018, hukuman Andi disunat di tingkat kasasi menjadi pidana penjara seumur hidup. Hukuman pidana bagi Andi semakin berkurang saat majelis PK pertama menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara pada 22 Desember 2021.

Terpidana narkoba itu terus bersiasat untuk mendapat keringanan dengan mengajukan PK kedua. Upaya tersebut membuahkan hasil. Hukuman Andi kembali disunat oleh majelis PK kedua.

"Menjatuhkan pidana kepada terpidana Andi bin Arif alias Hendra alias Udin oleh karena itu dengan pidana penjara selama 14 tahun dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan," demikian bunyi amar putusan PK kedua itu.

Dalam salinan putusan yang diterima CNNIndonesia.com, diketahui Majelis PK kedua mempunyai sejumlah pertimbangan hukum.

Dalam perkara a quo yaitu Nomor 383 PK/Pid.Sus/2021 pemohon PK kedua dalam tindak pidana "permufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram" sehingga kemudian dijatuhi pidana penjara selama 18 tahun, sedangkan dalam perkara Nomor 441/Pid.Sus/2013/PN Trk yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara "tanpa hak atau melawan hukum membeli dan menjual Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman" yang melebihi 5 gram, telah dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun.

Dengan demikian, penjatuhan pidana tersebut telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 ayat 4 KUHP karena pemohon PK kedua harus menjalani pidana selama 30 tahun penjara.

Bahwa terhadap dalil tersebut, majelis PK kedua berpendapat ketentuan Pasal 12 ayat 4 KUHP hanya dapat diberlakukan terhadap perkara-perkara pidana umum. Sedangkan dalam perkara pidana khusus harus dilihat berapa ancaman maksimal dalam ketentuan tersebut yang terbukti dilanggar terdakwa.

Dalam perkara a quo, pemohon PK kedua telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 114 ayat 2 jo Pasal 132 ayat 1 UU 35/2009 tentang Narkotika yang ancaman maksimal pidananya adalah 20 tahun penjara, sehingga apabila terjadi pembarengan (concursus) baik yang diajukan secara kumulatif atau tidak digabung atau ditentukan sebagaimana Pasal 52 KUHP selama tidak ditentukan dalam UU khusus, maka maksimum pidananya berlaku ketentuan maksimum ancaman pidana pokok ditambah 1/3 sesuai Pasal 65 KUHP dan 103 KUHP (vide SEMA 1/2022), sehingga oleh karenanya terhadap pemohon PK kedua maksimal pidana yang dijatuhkan adalah 26 tahun.