Untungkan Singapura, Media Asing Soroti RI Buka Ekspor Pasir Laut

Jakarta, law-justice.co - Baru-baru ini, sejumlah media asing ramai-ramai menyoroti keputusan Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir laut usai 20 tahun dilarang.

Langkah tersebut dianggap turut membantu proyek perluasan lahan di Singapura, dan menimbulkan potensi kerusakan lingkungan.

Baca juga : Tak Sudi RI Terus Ekspor via Singapura, Luhut: Buka Jalur Baru ke Cina

Media yang berbasis di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), menulis laporan berjudul "Singapura mujur usai Indonesia cabut larangan ekspor pasir laut yang berlangsung 20 tahun" pada Senin (29/5).

Di paragraf pertama, mereka menyoroti kebijakan itu bisa menguntungkan Singapura dan memicu kerusakan ekosistem laut.

Baca juga : Lawrence Wong PM Singapura Gantikan Lee Hsien Loong Pada 15 Mei 2024

"Tindakan ini bisa membantu proyek perluasan di negara tetangga Singapura, tetapi juga memicu kekhawatiran di kalangan pecinta lingkungan soal habitat laut," tulis SCMP.

Indonesia sempat melarang ekspor pasir laut pada 2003. Empat tahun kemudian, mereka menegaskan langkah itu untuk melawan pengiriman ilegal.

Baca juga : Ketika Skandal Pencucian Uang Rp33 Triliun Mengguncang Singapura

Sebelum larangan itu muncul, Indonesia merupakan pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan. Pada 1997 hingga 2002, RI mengekspor pasir laut ke Singapura rata-rata 53 juta ton per tahun.

Media ekonomi Singapura, Business Times, juga turut memberitakan hal serupa.

Business Times melaporkan Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura tengah merencanakan dan merancang fase ketiga mega proyek Pelabuhan Tuas. Proses reklamasi diperkirakan selesai pada 2030-an.

Geger ekspor pasir laut ini bermula usai Presiden Indonesia Joko Widodo alias Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Aturan tersebut memungkinkan pengusaha tambang yang punya izin bisa mengumpulkan dan mengekspor pasir laut, asal kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

Pada pasal 9 di PP itu, pelaku usaha diizinkan memanfaatkan pasir laut untuk beberapa keperluan, termasuk ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian di pasal 10, perusahaan harus mendapat izin usaha pertambangan menteri ESDM atau gubernur jika ingin mengekspor dan menjual pasir laut.

Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor juga wajib mendapatkan perizinan berusaha di bidang ekspor dari menteri perdagangan.

Juru bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahyu Muryadi, menegaskan aturan itu muncul agar penambangan pasir memenuhi standar lingkungan.

Ia juga mengatakan ekspor bisa dilakukan jika kebutuhan pasir laut dalam negeri sudah terpenuhi. Namun, keputusan tersebut menuai banyak kritik.

Media Malaysia, The Star, mengutip pernyataan juru kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanuddin dalam laporan mereka.

Parid mengatakan peraturan tersebut bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk membuat ekosistem laut lebih sehat.

The Star juga mencantumkan kritik dari peneliti Greenpeace, Afdillah Chudiel. Ia menggarisbawahi penambangan pasir laut bisa mempercepat krisis iklim.

"Ini akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil dan abrasi pantai," ujar dia.

Meski Singapura jadi sorotan usai muncul PP ini, mereka belum memberikan pernyataan resmi atau tanggapan soal ekspor pasir laut RI.

Sejumlah media menghubungi Kementerian Pembangunan Singapura, tetapi mereka tak segera merespons.