Makin Beratkan Warga, Harga Pertalite Berpotensi Naik Hingga 45%

Jakarta, law-justice.co - Harga Pertalite atau Ron 90 berpotensi kembali mengalami penyesuaian ke depannya, melihat beban subsidi fiskal yang masih besar.


Seperti diketahui, pemerintah baru menyesuaikan harga BBM jenis Pertalite naik dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter. Sementara itu, harga minyak diesel atau Solar naik dari Rp 5.150/liter ke Rp 6.800/liter.

Baca juga : Begini Respons Pertamina soal Heboh Isu Pertalite Dihapus dari SPBU

Wellian Wiranto, Ekonom OCBC Investment Research Pte Ltd., mengungkapkan setelah kenaikan bulan ini, harga eceran Pertalite masih perlu naik sekitar 45% untuk mencapai tingkat biaya produksi.

"Jika harga minyak dunia - yang akhir-akhir ini relatif jinak - semakin tidak bersahabat, risiko penyesuaian harga BBM lebih lanjut tidak dapat dikesampingkan," ujar Wellian dalam catatannya, Senin (5/9/2022).

Baca juga : Ini Alasan Pertamina Ingin Hapus Pertalite Menjadi Pertamax Green


Dia pun melihat kondisi ini akan lebih akut pada tahun 2023, ketika aturan fiskal menjaga defisit fiskal di bawah 3% dari PDB ditetapkan mengikat.

Pemerintah melihat beban subsidi yang masih tinggi pada tahun ini. Kementerian Keuangan memperkirakan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih akan membengkak sampai Rp 650 triliun meskipun penyesuaian harga sudah dilakukan.

Baca juga : Pertamina akan Tahan Harga BBM Hingga Paruh Pertama 2024

"Kebutuhan subsidi tahun 2022 masih di Rp 650 triliun. Masih nambah dari yang Rp 502 triliun kemarin walaupun BBM naik," ungkap Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara saat ditemui di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/9/2022).

"Ini situasinya dinamis, selalu disampaikan kita selalu memperhatikan kondisi itu secara dinamis. Kita berharap harga itu stabil, tapi kondisinya dinamis."


Dia menjelaskan harga minyak di dalam negeri tidak hanya ditentukan oleh harga di pasar global, tetapi juga kondisi nilai tukar dan jumlah volume yang dikonsumsi masyarakat. Perkiraan pemerintah sebelumnya adalah Rp 14.350/US$ rata-rata setahun. Akan tetapi realisasinya melemah lebih dalam.

"Kalau volumenya makin tinggi sebenarnya kita senang. Itu tandanya pemulihan ekonomi," ujarnya. Namun, di sisi lain, kondisi ini membebani subsidi pemerintah.

Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menilai pemerintah masih memiliki ruang subsidi energi sebesar Rp 590 triliun hingga Rp 650 triliun. Perhitungan ini, menurutnya, berdasarkan paparan pemerintah. Namun, dia melihat hal ini bergantung pada pergerakan harga minyak global.