Setengah Tahun Digempur Rusia, Kenapa Ukraina Tak Kunjung Tumbang?

Jakarta, law-justice.co - Hingga saat ini, terhitung setidaknya sudah enam bulan Rusia menggempur negara tetangganya, Ukraina.

Meski nyaris setiap hari pasukan Moskow membombardir, mengapa seluruh Ukraina tak kunjung jatuh?

Baca juga : Apakah Prabowo-Megawati akan Singkirkan Jokowi?

Seperti melansir cnnindonesia.com, sejak awal invasi pada 24 Februari lalu, Rusia telah menguasai sejumlah wilayah di Ukraina. Namun, wilayah itu sebagian besar ada di bagian timur dan selatan.

Beberapa wilayah itu yakni, Luhansk dan Donestk atau yang dikenal Donbas, Zaporizhzhia, Mariupol, Melitopol Kherson, dan Semenanjung Krimea.

Baca juga : Bagaimana Investasi Crypto untuk Jangka Panjang?

Di tengah upaya Rusia menguasai sejumlah wilayah di Ukraina, mereka juga tetap melancarkan gempuran.

Pada akhir Juli lalu, setidaknya satu orang tewas akibat serangan Rusia yang menghantam sebuah hotel di kota Bahamut, Donetsk, Ukraina Timur.

Baca juga : Ketika PDIP Anggap Jokowi, Gibran dan Bobby Bagian Dari Masa Lalu

Rusia sebelumnya juga menyerang Odessa untuk menghancurkan senjata bantuan Amerika Serikat.

"Rudal jarak jauh dengan presisi tinggi yang diluncurkan dari laut menghancurkan satu kapal perang Ukraina dan pasokan rudal anti-kapal yang dikirim AS ke rezim Kyiv," demikian pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia pada 25 Juli lalu.

Terlepas dari serangan pasukan Moskow, mengapa seluruh Ukraina tak kunjung jatuh meski Rusia terus membombardir?

Pengamat hubungan internasional dari Pusat Studi Strategis dan Internasional, Waffa Kharisma, mengatakan tujuan Rusia menyerang, setidaknya untuk saat ini, bukan menjatuhkan atau mencaplok Ukraina.

"Tetapi masih kepada menangkal Ukraina mendekat ke NATO, demiliterisasi Ukraina, mempertahankan daerah yang Rusia sudah kuasai seperti Crimea, dan bisa juga terkait mendorong pergantian rezim di Ukraina," kata Waffa.

Waffa juga menegaskan bahwa pengamatan dirinya bersifat sementara dan masih jauh dari kemungkinan Rusia menjatuhkan Ukraina.

Menurut dia, perang antara Rusia dan Ukraina berlangsung lama karena berbagai faktor. Mulai dari strategi pertahanan pasukan Kyiv, hingga bantuan militer dari Barat.

Potong Jalur Logistik Rusia

Selain itu, terdapat pula kemenangan-kemenangan kecil Ukraina atas perlengkapan Rusia, seperti memutus rantai logistik dari tank-tank yang masuk sehingga Rusia sulit menguasai wilayah.

Terbaru, Ukraina menghancurkan jembatan strategis yang melintasi Sungai Dnipro, di Kota Kherson.

"Malam yang luar biasa bagi para penjajah [Rusia] di wilayah Kherson. Penghancuran jembatan Antonovsky," tulis pejabat militer Ukraina di Kota Kherson, Sergei Khlan, di Facebook.

Dampak serangan terhadap jembatan ini cukup besar. Jembatan Antonovsky merupakan penghubung pasokan utama antara kota dan tepi selatan Dnipro.

Penghancuran itu membuat Rusia memikirkan kembali jalur pasokan.

Saat ditanya apakah Rusia sengaja memperpanjang masa perang di Ukraina, Waffa punya penilaian sendiri.

"Terkait sengaja memperpanjang `nafas`, sejauh ini justru tentu tidak dari sisi Rusia keinginannya," ucap dia.

Dari pihak Rusia yang memulai invasi terlebih dahulu, mereka ingin hasil yang cepat. Namun, Ukraina mencoba menghalangi gerakan pasukan Moskow. Sehingga, dalam hal ini yang memperpanjang perang justru keberhasilan Ukraina.

"Keberhasilan Ukraina menangkal Rusia dari upaya mengamankan tujuan-tujuan perangnya," kata Waffa.

Dalam perang ada yang disebut kekuatan asimetris. Kondisi ini tak perlu seimbang, yang penting satu pihak mampu menghalau target lawan.

Tergantung Target

Di atas kertas kekuatan militer Ukraina dan Rusia tak seimbang. Namun, pertempuran itu bergantung target.

"Kalau objektifnya [sasaran] Rusia mengurangi kapasitas militer Ukraina, mungkin sudah tercapai. Tetapi jika objektif-objektif lain, Ukraina berhasil bertahan," jelas Waffa.

Selain itu, ia menerangkan andai kata Rusia menambah gempuran, mereka akan mengkhianati narasi "operasi militer khusus" yang selama ini terbangun. Ujungnya, Moskow bakal lebih banyak menelan kritik dan semakin sedikit negara yang membelanya.

Waffa juga menjelaskan, untuk bisa mengakhiri konflik biasanya semua pihak sudah dalam keadaan letih.

Mereka sama-sama mempertimbangkan jika perang berlanjut hanya akan memakan kerugian besar. Namun, ia belum melihat kelelahan baik dari Rusia maupun Ukraina.

Pengamat hubungan internasional yang fokus di kajian Eropa Timur dari Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, mengatakan hal serupa.

Menurut dia, Rusia sebenarnya tidak berperang dengan Ukraina. Dukungan Barat menjadikan perang tersebut sebagai konfrontasi tak langsung antara Moskow dan Barat.

"Tanpa dukungan Barat, Ukraina sudah lama jatuh ke tangan Rusia," jelas Mugiono.

Menyoal target, lanjut dia, Rusia sangat mempunyai kepentingan dengan Ukraina Timur. Namun, tujuan tersebut tidak bisa dicapai hanya dengan fokus ke wilayah sasaran.

"Di luar tuntutan strategis militer, ada tuntutan bagi Rusia untuk menjalankan strategi yang bersifat politik juga yakni menguasai Ukraina secara politik," imbuh dia.

Menguasai Ukraina secara politik, lanjut dia, bisa saja berupa pemerintahan yang pro-Rusia, atau pemerintahan boneka.

Tercekik di Laut Baltik dan Selat Bosporus

Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, punya penilaian yang berbeda.

"Kayaknya sih Rusia menginginkan seluruh Ukraina. Cita-cita Rusia sih seluruh Ukraina tapi kan Finlandia dan Swedia jadi anggota NATO [jadi mempersulit], " kata Suzie saat ditanya apakah Rusia cuma ingin menguasai Ukraina timur.

Dia menjelaskan Rusia tak menggempur besar-besaran saat ini karena mereka tercekik di jalur maritim seperti Laut Baltik, Bosporus dan Dardanella dan beragam sanksi.

Namun, Amerika Serikat tak akan tinggal diam jika Rusia berhasil menguasai jalur laut. Washington akan membuka paksa blokade karena risiko perang nuklir kecil.

Terlepas dari itu, Suzie mengatakan jika Rusia betul-betul menggunakan pasukan mereka, maka Ukraina akan direbut.

"Mereka berhati-hati saat ini karena belum yakin bebas dari aneka sanksi yang mencekik perekonomiannya," kata dia.