Evaluasi Hari Bhayangkara Polri 2022

Presisi: Perbaikan Palsu Institusi Polisi

Jakarta, law-justice.co - Dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara yang ke-76, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali menerbitkan catatan terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) untuk periode Juli 2021 – Juni 2022 khususnya di sektor Hak Asasi Manusia (HAM).

Berbagai catatan ini disusun berdasarkan data pemantauan dan advokasi yang dikerjakan KontraS sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil dalam upaya mewujudkan reformasi sektor keamanan.

Selain itu, laporan itu juga dibuat sebagai bentuk dorongan serius terhadap perbaikan kinerja institusi Kepolisian dalam kerangka agenda Reformasi Polri.

Semboyan Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) sayangnya masih menjadi jargon yang sloganistik tanpa diikuti perbaikan riil di lapangan. Kepolisian nampak belum serius menghilangkan potret buram dan kultur buruk yang menyasar pada tatanan struktural kepolisian.

Sejalan dengan hal tersebut, KontraS mengangkat tema “Perbaikan Palsu Institusi Polri” yang kami analisis ke dalam instrumen hak asasi manusia internasional. Argumentasi perbaikan palsu institusi Polri kami susun atas dasar fakta dan kenyataan di lapangan yang masih menunjukkan bahwa upaya perbaikan hanya fokus pada citra, bukan kinerja.

Kritik masyarakat yang sangat masif terjadi di satu tahun belakangan hanya disikapi dengan ucapan lip service. Berbagai temuan KontraS menunjukkan bahwa praktik kekerasan, kesewenang-wenangan, arogansi, tindakan berlebihan hingga tak manusiawi masih dilakukan oleh Kepolisian.

Sayangnya Kepolisian kerap berlindung di balik terminologi ‘oknum’ ketika ada kasus pelanggaran. Hal ini jelas kontraproduktif dengan fungsi Kepolisian yakni untuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat

Kultur kekerasan masih menjadi pekerjaan rumah utama dari institusi ini. Kepolisian kerap mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang mutlak harus dipenuhi seperti nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, dan masuk akal (reasonable).

Akibatnya praktik penggunaan senjata api tak terukur, penyiksaan, dan bentuk kekerasan lainnya tak dapat terhindarkan. Hal ini lagi-lagi bersifat paradoksal dengan semangat mewujudkan anggota Kepolisian agar lebih humanis.

Dalam periode Juli 2021 – Juni 2022, kami mencatat setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian. Sejumlah kekerasan itu telah menimbulkan 928 jiwa luka-luka, dan 59 jiwa tewas dan 1240 ditangkap. Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus.

Hal ini disebabkan oleh penggunaan kekuatan yang cenderung berlebihan dan tak terukur, ruang penggunaan diskresi yang terlalu luas oleh aparat, dan enggannya petugas di lapangan untuk tunduk pada Perkap No. 1 Tahun 2008.

Dalam setahun terakhir, Kepolisian juga seringkali memusatkan kekuatannya untuk berhadap-hadapan dengan aksi penyampaian ekspresi masyarakat. Cara-cara represif paling sering ditemukan dalam penanganan demonstrasi dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM.

Selain itu, Kepolisian juga begitu anti kritik ditunjukan dengan penghapusan mural, penangkapan pembentang poster dan pengejaran pembuat konten. Hal ini pada akhirnya menguatkan fenomena penyempitan ruang sipil dengan Polisi sebagai aktor pendorong utama.

Sayangnya, tindakan dan langkah tegas nampak tak terlihat ketika Kepolisian berhadap-hadapan dengan pelanggar hak minoritas. Kepolisian begitu abai dan nampak tak berkutik dalam menghadirkan hak atas rasa aman bagi kelompok marginal. Sikap populisme Kepolisian yang berakibat tebang pilih di lapangan dalam memberikan perlindungan juga menjadi penyebab utama.

Dalam konteks arus investasi yang dibuka secara luas hari ini, Kepolisian kami lihat berperan membangun romantisme dengan para investor. Sikap Kepolisian yang berakar dari instruksi Presiden dan Kapolri pada akhirnya berimplikasi pada naiknya eskalasi kekerasan di lapangan antara aparat dengan masyarakat.

Alih-alih menangani konflik di masyarakat dengan berkeadilan, Kepolisian malah bertindak sewenang-wenangan terhadap masyarakat, melakukan tebang pilih penegakan hukum, dan memihak pada kepentingan perusahaan.

Sorotan tajam juga ditujukan pada komitmen perbaikan pendekatan di Papua yang disebutkan oleh Kapolri dalam wujud operasi Damai Cartenz. Sayangnya komitmen tersebut tak berimplikasi apapun pada de-eskalasi kekerasan dan perubahan situasi di Papua.

Pendekatan kekerasan masih kerap dilakukan oleh kepolisian utamanya terhadap aksi penyampaian ekspresi di Papua. Hal ini sekaligus mempertontonkan bahwa negara tak handal dalam menanggapi kritik publik dan diskriminatif terhadap aspirasi OAP. Cara pandang stigmatisasi dan sekuritisasi pada akhirnya hanya membuat korban berjatuhan.

Rangkaian masalah yang ada juga akhirnya memantik kemarahan masyarkat, tercermin pada viralnya tagar #PercumaLaporPolisi, #1Day1Oknum, dan #ViralForJustice. Fenomena ini ramai utamanya di media sosial sebab begitu banyak kasus-kasus yang tidak ditindaklanjuti atau ditolak Kepolisian dengan berbagai alasan.

Hal ini jelas semakin menjauhkan Kepolisian sebagai institusi yang dapat diandalkan dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Begitupun dalam hal perspektif gender, pengarusutamaan belum maksimal dilakukan.

Masalah krusial lainnya tentu saja berkaitan dengan ketidakseriusan institusi dalam menjatuhkan hukuman pada pelanggar disiplin, etik maupun pidana. Kasus-kasus yang telah memuat pidana seringkali diselesaikan lewat mekanisme internal – yang terbukti tidak menjerakan pelaku.

Faktor inilah yang akhirnya memantik keberulangan peristiwa. Para pelaku dapat bebas menikmati impunitas tanpa merasakan diadili lewat mekanisme hukum yang memadai.

Rentetan permasalahan tersebut sudah cukup memberi desakan agar Korps Bhayangkara dapat melakukan evaluasi secara serius dan mendalam. Perbaikan harus ditujukan pada kinerja, bukan hanya citra. Sejumlah langkah konkret harus dilakukan segera guna mewujudkan institusi Kepolisian yang lebih transparan, akuntabel dan profesional.

Kesimpulannya jargon Presisi hari ini, ibarat jauh panggang dari api. Percuma jargon bagus tapi hasil kinerja faktanya sangat jauh dari harapan publik.