Peradi Beri 49 Catatan ke DPR RI soal RUU Hukum Acara Perdata

Jakarta, law-justice.co - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) memberikan masukan kepada Komisi III DPR RI dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata).

Sekretaris Jenderal DPN Peradi, Hermansyah Dulaimi mengatakan, setidaknya pihaknya memberikan 49 masukan kepada DPR soal revisi KUHPerdata itu.

Kata dia, pihaknya sangat menunggu kesempatan itu karena sudah mendapat banyak pertanyaan soal hukum acara perdata yang sudah tidak relevan.

"Kita sudah 75 tahun merdeka tapi sampai sekarang belum ada Hukum Acara Perdata buatan sendiri," kata Hermansyah Dulaim kepada wartawan, Jumat (27/5/2022).

Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta, Rivai Kusumanegara yang juga bertindak selaku Juru Bicara (Jubir) DPN Peradi dalam RDPU ini, lantas menyampaikan 49 masukan secara detail atas RUU Hukum Acara Perdata yang merupakan inisiatif pemerintah tersebut.

Pertemuan dengan DPR itu digelar pada Rabu (25/5/2022).

Dari 49 catatan masukan DPN Peradi kepada Komisi III DPR tersebut, lanjut Rivai, ada 5 hal penting yang menjadi perhatian pihaknya.

Pertama, panggilan sidang melalui Jurusita dan delegasi Pengadilan Negeri (PN) lain agar diubah dengan pos tercatat dan tanpa delegasi seperti yang telah berjalan di PTUN dan Pengadilan Agama.

Menurutnya, cara delegasi memperlama dan rumit. Begitu juga penyampaian oleh jurusita berdampak pada besarnya biaya perkara, terutama di daerah-daerah yang wilayah hukum PN-nya meliputi beberapa kabupaten.

"Dalam pengamatan kami, cara pemanggilan dengan juru sita ini membuat biaya sangat mahal. Kalau di Jakarta, biaya perkara cukup Rp 5 juta, tapi di Kalteng atau Papua itu bisa mencapai Rp 25 juta jika para pihaknya banyak," kata Rivai Kusumanegara .

Mahalnya biaya tersebut karena luasnya wilayah hukum suatu PN yang membawahi beberapa kabupaten. Penyampaian secara langsung dan jauhnya jarak, membuat juru sita harus menyewa mobil dan bahkan sampai menginap. Padahal, hari ini jasa PT Pos Indonesia sudah sangat baik, berbeda dengan zaman lahirnya hukum acara warisan Belanda.

Kedua, pelelangan oleh PN selama ini kurang diminati masyarakat karena pemenang lelang masih harus mengeluarkan biaya pengosongan dengan kemungkinan gagal akibat gangguan di lapangan.

"Kami sarankan pengosongan dilakukan sebelum lelang agar objek yang dibeli clear, sehingga minat masyarakat meningkat," ujar Rivai Kusumanegara .

Ketiga, tahapan upaya hukum agar dikurangi dan tidak seperti sekarang hingga empat tahap. Masyarakat lelah menunggu sengketanya selesai dan berdampak pada biaya dan waktu. Banyak negara hanya mengenal satu kali upaya hukum dan sebenarnya Indonesia sudah mengadopsinya dalam perkara PHI, kepailitan, HAKI, dan pembatalan KTUN lokal. Alasan Peninjauan Kembali (PK) juga agar dibatasi sebatas adanya novum dan pertentangan antarputusan.

Keempat, eksekusi sebaiknya dilakukan tanpa delegasi melalui PN lain, karena selain lama dan rumit juga jika terdapat perlawanan akan ditangani PN delegasi, sedang berkas perkara pokok berada di PN pemutus. Penyederhanaan sistem eksekusi ini diharapkan dapat menaikan indeks EDB Indonesia.

"Kelima, e-court belum diakomodir RUU ini dan model panggilan dengan penempelan pada papan pengumuman PN dan kantor Bupati bisa digantikan dengan penayangan pada website PN," kata Rivai Kusumanegara.

Atas 49 masukan ini, Komisi III DPR termasuk para wakil dari fraksi-fraksi partai politik menyampaikan apresiasi dan meminta DPN Peradi terus mengikuti proses dan memberikan masukan dalam pembahasan RUU Hukum Acara Perdata ini. Salah satunya disampaikan oleh Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan,I Wayan Sudirta.

"Peradi menyambut baik tawaran pihak DPR karena stakeholder utama RUU Hukum Acara Perdata adalah Advokat dan Hakim, sehingga Peradi berkepentingan memajukan hukum acara perdata ini," ujar Rivai.

Terlebih, lanjut dia, KUHPerdata yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial. Sehingga saatnya Indonesia miliki undang-undang karya anak bangsa yang modern, mewujudkan fair trial, dan menjawab tantangan masa depan.

"Kami apresiasi karena RUU ini sudah kita nantikan sekian lama, akhirnya bisa bergulir. Tentunya bukan hanya menjawab persoalan-persoalan pada hari ini, tapi juga bagaimana memodernisasi peradilan, termasuk memudahkan pelayanan peradilan kepada masyarakat," ucap Rivai Kusumanegara.