Definisi Ancaman di UU PSDN soal Pembentukan Komcad Dinilai Tak Jelas

Jakarta, law-justice.co - Imparsial menilai masih banyak catatan yang harus diselesaikan di balik keberadaan UU 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN). UU itu sendiri dibuat untuk penguatan sistem pertahanan negara.

Menurut Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto mengatakan proses pembahasan PSDN dinilai dari awal sudah bermasalah. Salah satunya adalah soal pembahasan yang  dilakukan secara tidak transparan dan dibahas dalam waktu singkat di DPR.

Baca juga : MKD DPR Minta Polisi Tertibkan Plat Nomor DPR Palsu

Akibatnya, kata Ardi Manto, di kemudian hari secara substansi UU PSDN memiliki berbagai persoalan yang dikrtitik publik.

"Diantaranya adalah komponen cadangan yang bisa dikerahkan untuk ancaman non-militer dan hybrida, sementara definisi kedua ancaman tersebut tidak jelas. Ini berpotensi melahirkan konflik horizontal di masyarakat," ujar Ardi dalam FGD dan Media Briefing Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) bekerjasama dengan Imparsial dan Centra Initiative untuk membedah UU PSDN, Jumat (22/4).

Baca juga : Komunikasi Pimpinan KPK Terkait Mutasi ASN Kementan Langgar Kode Etik

Selain itu, lanjut Ardi, komponen cadangan yang berasal dari sumber daya alam dan sumber daya buatan juga tidak melalui proses yang demokratis karena melanggar prinsip kesukarelaan. Pada posisi ini, hak atas properti telah dijamin oleh konstitusi.

"Sumber anggaran Komcad dalam UU ini juga dapat diperoleh dari sumber lain yang tidak mengikat. Hal ini berpotensi melahirkan `tentara bayaran` yang dibiayai oleh pihak swasta, tapi menggunakan tangan negara untuk mengamankan kepentingan privat atau perusahaan," terangnya.

Baca juga : Soal Rangkul PKS ke Koalisi, Gerindra Tunggu Arahan Prabowo

Ditambahkan Al Araf, Ketua Centra Initiative, yang menilai bahwa UU PSDN tidak memiliki tujuan yang jelas apakah akan mengatur bela negara, wajib militer, atau keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara. Sehingga pengaturannya bersifat tumpang tindih dengan beberapa aturan legislasi lainnya.

"Padahal PBB sudah menjamin hak untuk menyatakan keberatan atas dasar keyakinan atau contentious objection bagi siapapun yang menolak ditugaskan untuk penggunaan kekerasan dalam operasi militer," pungkasnya.