FBI Tuding Hacker Korut Gasak Uang Kripto Hingga US$ 600 Juta

New York, Amerika Serikat, law-justice.co - Biro Investigasi Federal Amerika Serikat atau FBI menuding hacker Korea Utara telah mencuri lebih dari US$ 600 juta dalam mata uang kripto bulan lalu dari sebuah perusahaan video game.

Pencurian ini, menurut mereka, adalah kasus terbaru dari serangkaian perampokan dunia maya yang terkait dengan Pyongyang.

Baca juga : KPK : Pejabat Pemilik Aset Kripto Miliaran Rupiah Orang Keuangan


"Melalui penyelidikan kami, kami dapat mengonfirmasi Lazarus Group dan APT38, aktor siber yang terkait dengan DPRK (Korea Utara), bertanggung jawab atas pencurian US$ 620 juta di Ethereum yang dilaporkan pada 29 Maret," kata FBI dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNN International, Jumat (15/4/2022).

"DPRK" adalah singkatan dari nama resmi Korea Utara, Republik Rakyat Demokratik Korea. Adapun Ethereum adalah platform teknologi yang terkait dengan jenis mata uang kripto.

Baca juga : KPK Temukan Pejabat Punya Aset Kripto Miliaran dalam LHKPN 2023


FBI lalu mengacu pada peretasan jaringan komputer baru-baru ini yang digunakan oleh Axie Infinity, sebuah video game yang memungkinkan pemain mendapatkan cryptocurrency. Sky Mavis, perusahaan yang menciptakan Axie Infinity, mengumumkan pada 29 Maret bahwa peretas tak dikenal telah mencuri sekitar US $600 juta, nilai pada saat peretasan ditemukan, pada 23 Maret dari "jembatan", atau jaringan yang memungkinkan pengguna untuk mengirim kripto dari satu blockchain ke blockchain lainnya.

Departemen Keuangan AS sendiri telah memberi sanksi kepada Lazarus Group, sekelompok besar peretas yang diyakini bekerja atas nama pemerintah Korea Utara. Departemen Keuangan menyetujui "dompet" atau alamat cryptocurrency tertentu, yang digunakan untuk menguangkan peretasan Axie Infinity.

Baca juga : OJK Bongkar Kasus TPPU Senilai Rp 139 T Bermodus Aset Kripto

Serangan siber telah menjadi sumber pendapatan penting bagi rezim Korea Utara selama bertahun-tahun karena pemimpinnya, Kim Jong Un, terus mengejar senjata nuklir, menurut panel PBB dan pakar keamanan siber luar.