Kubu Sipil dan Militer Tegang, PM Sudan Abdalla Hamdok Lengser

law-justice.co - Perdana Menteri pemerintahan sipil Sudan, Abdalla Hamdok, mengundurkan diri pada Minggu (2/1/2021). Pengunduran diri ini mengukuhkan posisi militer dalam pemerintahan negara itu.


"Saya berusaha semampu saya untuk menghentikan Sudan jatuh dalam kekacauan," tutur Hamdok dalam stasiun televisi nasional, dikutip dari AFP, Senin (3/1/2022)

Baca juga : Terpilih Jadi Cawapres, Gibran Belum Mundur dari Walikota Solo

Sudan kini menyeberangi titik balik yang berbahaya yang mengancam keberlangsungan hidupnya, tambah Hamdok.

Ia juga menuturkan perselisihan antara kubu sipil dan militer Sudan tidak menemukan konsensus.

Baca juga : Bos Intel Israel Mundur Imbas Kebobolan Serangan Hamas 7 Oktober

Sudan mengalami transisi pemerintahan sipil sejak 2019, kala autokrat Omar al-Bashir digulingkan. Namun, transisi ini kembali terancam akibat kudeta militer yang dilakukan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan pada 25 Oktober dan penahanan Hamdok.

Hamdok diangkat kembali pada 21 November di bawah perjanjian pemilihan umum di pertengahan 2023. Namun, beberapa media lokal melaporkan Hamdok tak berada di kantornya selama berhari-hari.

Baca juga : Jokowi Aktor Kemunduran Demokrasi tapi Dipuji karena Politik Pragmatis

Hamdok merupakan representasi pemerintahan sipil dari transisi politik Sudan yang rapuh. Lain halnya Fattah al-Burhan, ia merupakan pemimpin de facto Sudan setelah Bashir digulingkan.

Sementara itu, protes besar akan kudeta terus berlangsung bahkan setelah Hamdok kembali ditempatkan. Beberapa demonstran tak memercayai Burhan dan janjinya untuk membawa Sudah pada demokrasi penuh.

Demonstran juga menilai penempatan kembali Hamdok bertujuan untuk memberikan legitimasi pada militer, yang mereka tuduh berusaha melanjutkan rezim yang dibangun Bashir.

Pada Minggu (2/12), ribuan demonstran melewati serangan gas air mata, pengerahan pasukan besar-besaran, dan pemadaman telekomunikasi untuk menuntut pemerintahan sipil.

Mereka mengecam kudeta, meneriakkan "kekuatan untuk rakyat" dan menuntut militer kembali ke barak dalam protes yang dilakukan di dekat istana presiden kota Khartoum dan Omdurman.

Komite Dokter pro-demokrasi menuturkan pasukan keamanan membunuh tiga protestan, termasuk satu orang akibat ditembak di dada dan lainnya mengalami cedera kepala yang parah.

Sudan sendiri memiliki sejarah panjang terkait pengambilalihan militer. Meski demikian, Burhan bersikeras langkah angkatan bersenjata ini bukan untuk kudeta, tetapi untuk memperbaiki arah transisi.

Di lain sisi, penasihat politik pada Jumat (31/12) mengatakan, demonstrasi politik merupakan tindakan yang membuang waktu dan energi, dan tak mendatangkan solusi politik apapun.

Meski demikian, aktivis menuturkan dalam media sosial bahwa 2022 akan menjadi tahun berlanjutnya perlawanan. Mereka menuntut keadilan bagi orang yang terbunuh kala kudeta dan lebih dari 250 orang yang meninggal karena protes massal untuk membuka jalan bagi penggulingan Bashir.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken memperingatkan, Washington "bersiap merespons siapapun yang menghalau aspirasi masyarakata Sudan untuk pemerintahan sipil dan demokratis, dan siapapun yang berdiri di jalan akuntabilitas, keadilan, dan perdamaian."

Lebih dari 14 juta orang Sudan akan membutuhkan bantuan kemanusiaan dalam beberapa tahun ke depan, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan. Angka ini merupakan angka tertinggi dalam satu dekade.