Utang RI ke Asing Membengkak, Ingat Dahsyatnya Krisis Moneter 1998?

Jakarta, law-justice.co - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengungkapkan saat itu aliran modal asing yang masuk ke Indonesia bentuknya commercial paper dan langsung. Hal ini karena saat itu Indonesia belum memiliki surat berharga negara (SBN).

Krisis moneter (krismon) yang terjadi pada periode 1997-1998 adalah salah satu gejolak terparah yang pernah dialami oleh Indonesia. Dalam paparan saat fit and proper test, Juda mengungkapkan kondisi krisis itu diawali dari over borrowing yang sangat besar.

Baca juga : Kasus DBD Meningkat, Seluruh Elemen Terkait Perlu Cari Solusi

"Pinjaman swasta dari luar negeri baik dalam pinjaman bank loan maupun commercial paper sangat besar," kata dia di Komisi XI DPR, Selasa (30/11/2021).


"Ini yang kemudian memantik krisis pada periode itu, Agustus 97, utangnya tentu saja membengkak, terutama di korporasi dan berimbas ke perbankan," jelas dia.

Baca juga : Pamer Starbucks Menutupi Kabah, Anak Zulkifli Hasan Dirujak Netizen

Juda mengungkapkan, saat itu memang Indonesia masih berada di bawah instruksi IMF. Saat itu pemerintah merespon dengan menaikkan bunga sangat tinggi. Hal ini membuat korporasi terdampak. Dia menyebut saat itu suku bunga berada di kisaran 70%, karena memang angka inflasi juga sangat tinggi saat itu.

Karena itu saat ini Indonesia sudah belajar dari krisis keuangan global. "Di mana kebijakan makroprudensial bisa untuk mencegah. Kalau utang dicegah dengan kebijakan makroprudensial untuk melarang rasio leverage yang melebihi kapasitas dan korporasi," ujarnya.

Baca juga : KPU Segera Konsultasi dengan DPR soal Aturan Pilkada 2024

Krisis ekonomi terparah itu terjadi di pemerintahan Presiden Soeharto dolar AS berada di kisaran Rp 2.000-2.500 karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Orde Baru kala itu tidak mau tahu, dolar AS harus bertahan di level itu.

Namun karena kebijakan itu, cadangan devisa Indonesia terus tergerus untuk menjaga kurs. Akhirnya pemerintah membuka rupiah menjadi kurs mengambang. Akhirnya dolar AS mulai merangkak naik ke Rp 4.000 di akhir 1997, lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998.

Pelemahan rupiah diperparah ketika kondisi keamanan dan politik Indonesia bergejolak. Pada Mei 1998, kerusuhan terjadi di mana-mana menuntut Presiden Soeharto mundur dan mulai dari situ krisis moneter Indonesia memuncak.

Sampai akhirnya rupiah jatuh tak berdaya saat dolar AS mencapai level Rp 16.650. Perekonomian pun kacau balau. Ekonomi Indonesia tidak tumbuh bahkan -13,1%, harga-harga pangan melambung tinggi, inflasi pun meroket hingga 82,4%. Depresiasi rupiah mencapai 197%.