Menurut Survei, 70 Persen Warga Tolak Booster Vaksin Berbayar

Jakarta, law-justice.co - Mayoritas masyarakat Indonesia tidak setuju dengan skema booster vaksin Covid-19 berbayar yang tengah dipersiapkan pemerintah. Mereka menganggap skema vaksin berbayar berpotensi dikorupsi.

Temuan tersebut berdasarkan survei bersama KawalCovid-19, Change.org, dan Kata Data pada Agustus 2021. Sebanyak 8.299 responden dari berbagai wilayah di seluruh Indonesia terlibat survei yang dilaksanakan secara daring ini.

Dari segi sosial ekonomi (SES) sebanyak 36,7 persen responden memiliki pendapatan di atas Rp6 juta (SES A), 17,3 persen memiliki pendapatan Rp4juta-Rp 6 juta (SES B), 22,3 persen berpendapatan Rp2 juta-Rp4 juta (SES C) dan 23 persen berpendapatan di bawah Rp2 juta (SES D).

Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 70 persen responden tidak setuju dengan skema booster vaksin berbayar.

"Ini menarik bahwa dari mayoritas responden adalah SES A, dan SES B, mereka bisa bayar vaksin, dan lebih terdidik, jadi kesadarannya itu lebih tinggi. Tetapi yang menarik adalah dengan kondisi mereka bisa membayar, 70 persen dari mereka itu tidak setuju vaksin berbayar," kata Co-founder KawalCovid19, Elina Ciptadi dalam webinar, Rabu (29/9).

Mereka yang tidak setuju skema vaksin berbayar menyampaikan beberapa alasannya.

Sebanyak 73,9 persen responden tidak setuju skema vaksin berbayar karena vaksin merupakan hak warga negara, 67,9 persen tidak setuju karena ada ketidakadilan pada orang yang tidak mampu.

Kemudian sebanyak 53,5 persen responden tidak setuju karena skema vaksin berbayar bisa berpotensi menjadi ladang korupsi. Ada pula 39,3 persen responden tidak setuju karena jatah vaksin yang masih langka dan masih banyak warga yang belum kebagian vaksin.

Sementara ada 20,2 persen responden setuju dengan mekanisme vaksin berbayar, dan sekitar 9,8 persen responden menjawab tidak tahu.

Mereka yang setuju dengan skema ini mengatakan program vaksinasi Covid-19 bakal lebih cepat selesai (71,3 persen), vaksin Covid-19 berbayar hanya untuk yang mampu (52,4 persen), mengurangi antrean vaksin gratis (49,9 persen), mengurangi beban pemerintah (46,3 persen), dan bisa memilih vaksin yang dianggap baik (2,9 persen).

Prematur Bahas Booster
Dalam acara yang sama, peneliti vaksin Ines Atmosukarto menyampaikan pemerintah sebaiknya tidak membahas skema vaksinasi Covid-19 berbayar ketika capaian vaksinasi dosis pertama dan dosis dua belum 70 persen.

Menurutnya, pemerintah harus lebih dulu menggencarkan program vaksinasi Covid-19 di luar Jawa-Bali, terutama pedesaan yang notabene capaian vaksinasinya masih rendah.

"Bagi saya terlalu prematur untuk membahas booster atau vaksin berbayar. Karena kita harus fokus mencakupi vaksin dosis satu dan dua dulu, jadi sebaiknya booster berbayar ini dipakai untuk vaksinasi dosis pertama dan kedua," kata Ines.

Dia juga meragukan pendapat responden yang setuju program vaksin berbayar bakal mempercepat capaian vaksinasi Covid-19. Menurut Ines, problem vaksinasi di Indonesia adalah distribusi dan stok.

Dia juga menyinggung perihal distribusi vaksin yang rendah ke daerah-daerah. Padahal selain capaian vaksinasi yang harus tinggi, vaksin juga harus merata tersebar di daerah.

"Sebenarnya jawabannya adalah masalah logistik. Kita harus menghindari pendekatan yang fastline, karena enggak adil jadinya," tutur dia.

Sebelumnya pemerintah mengaku sedang menyiapkan skema booster vaksin Covid-19 berbayar untuk 2022. Kemenkes menyebut skema pemberian booster berbayar ini diambil lantaran pemerintah tak sanggup menanggung biaya vaksin seperti pada biaya pemberian dosis satu dan dua.