Stafnya Lakukan Pelecehan Seksual di Kongo, Dirjen WHO Minta Maaf

Jakarta, law-justice.co - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, meminta maaf atas kasus pelecehan seksual yang dilakukan staf organisasi tersebut di Kongo.

"Hal pertama yang ingin saya katakan kepada korban dan para penyintas adalah saya minta maaf," ujar Tedros, seperti melansir cnnindonesia.com, Selasa (28/9).

Baca juga : Kasus DBD Meningkat, Seluruh Elemen Terkait Perlu Cari Solusi

Ia kemudian berkata, "Prioritas utama saya adalah pelaku tak dibebaskan, tapi dimintai pertanggungjawaban."

Menurut laporan, bahwa pelecehan seksual itu dilakukan oleh 21 orang yang direkrut oleh WHO. Puluhan orang itu direkrut untuk membantu penanganan Ebola diKongo sejak 2018 hingga 2020.

Baca juga : PKS: `Dissenting Opinion` MK, Momentum Perbaiki Kualitas Pemilu

Berdasarkan penyelidikan WHO, puluhan orang itu menawarkan pekerjaan bagi perempuan di Kongo dengan timbal balik hubungan seksual. Selain itu, ada pula perempuan Kongo yang memang menjadi korban pemerkosaan para staf.

Secara keseluruhan, setidaknya lebih dari 50 perempuan menjadi korban pelecehan seksual para staf yang direkrut WHO tersebut.

Baca juga : Skandal Emisi Bahan Bakar Jepang Kelabui Konsumen Siapa Korban?

Tim penyelidik WHO sangat terkejut ketika mendengar mengenai laporan pelecehan seksual ini karena mereka hanya fokus untuk menyelesaikan masalah Ebola yang dianggap sebagai salah satu wabah terburuk di Kongo.

"Maka, tak mengejutkan ketika kami tak siap sama sekali dengan insiden-insiden pelecehan dan eksploitasi seksual," demikian bunyi laporan tim penyelidik WHO.

Berdasarkan laporan tersebut, para pemimpin WHO sebenarnya sudah mengetahui mengenai laporan pelecehan seksual ini enam pekan lebih cepat dari yang mereka klaim.

Mereka mendasarkan argumentasi itu pada tanggal surat elektronik berisi kekhawatiran pelecehan seksual di Provinsi North Kivu yang dilayangkan ke petugas etik WHO, Andreas Militzke.

"[WHO] sudah mengetahui insiden itu sejak awal Mei 2019, bukan pada Juni 2019 seperti yang diklaim Militzke," tulis tim penyelidik.

Untuk mencegah insiden yang sama terulang, WHO sudah mengambil sejumlah langkah, salah satunya memberi kabar ke badan-badan PBB lainnya.

WHO menangguhkan kontrak empat orang tersangka yang masih dipekerjakan ketika organisasi tersebut menerima laporan.

"Organisasi kami akan melarang para tersangka menjadi karyawan WHO lagi di kemudian hari, dan kami akan memberi tahu sistem PBB yang lebih luas," kata Tedros di Twitter.