FB PRADIPTO NIWANDHONO

Partai Sosialis Indonesia dalam Kesaksian dan Otokritik

Jakarta, law-justice.co - Tulisan ini merupakan komentar saya terhadap buku yang akan terbit tulisan mendiang Imam Yudotomo tentang PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang sangat berpengaruh sekaligus kurang dipahami dalam sejarah politik Indonesia.

Sebagai orang dalam yang mengetahui dinamika internal partai dari tokoh-tokohnya secara langsung, tulisan Imam Yudotomo menjadi suatu referensi yang penting dalam kajian tentang pemikiran sosialisme di Indonesia. Ia juga merupakan refleksi penting tentang aktivisme sosialisme demokratik pasca kejatuhan Orde Baru, serta mengapa PSI sejauh ini belum juga berhasil bangkit kembali.

Baca juga : Apakah Prabowo-Megawati akan Singkirkan Jokowi?

Imam Yudotomo melalui bukunya menawarkan perspektif yang sedikit berbeda dari para Indonesianis yang rata-rata memandang PSI sebagai kelompok cendekiawan-teknokratik. Jadi lebih merupakan sejarah politik murni di mana ia menekankan aspek kelembagaan dan dinamika ideologis internal PSI sebagai titik tolaknya.

Sebagai putera Mochamad Tauchid, seorang tokoh pendiri Gerakan Tani Indonesia (GTI) -- sayap gerakan agraria yang memiliki basis pendukung ‘kelompok Yogya’ dari PSI – ia mewakili sayap populisme-kiri dalam tubuh PSI dibandingkan dengan tokoh-tokoh PSI lainnya.

Baca juga : Bagaimana Investasi Crypto untuk Jangka Panjang?

Didukung oleh Wiyono, Dayino, dan Tauchid kelompok PSI di Yogya inilah yang kemudian melahirkan ‘kelompok Patuk’ dan menjadi kader-kader utama dari pembentukan “Marx House’ pada masa keberadaan Partai Sosialis Sjahrir dan Amir Sjarifuddin (Desember 1945-Februari 1948). Banyak dari kelompok Yogya ini memiliki kedekatan ideologis dengan Djohan Sjahroezah, kemenakan Sjahrir dan sekretaris jenderal PSI yang pada zaman Jepang dan Revolusi menjadi tokoh penghubung antara kelompok Sjahrir dan Tan Malaka

Pada masa menjelang kongres PSI pertama di Bandung (Februari 1952), Djohan Sjahroezah merepresentasi kelompok dalam partai yang ingin tetap mempertahankan ajaran Marx dan Engels sebagai prinsip dasar partai meski berbeda dengan tafsiran kaum komunis. Tetapi sebagaimana diketahui bersama, PSI kemudian menetapkan sosialisme kerakyatan/demokratis sebagai haluan dasar partai.

Baca juga : Ketika PDIP Anggap Jokowi, Gibran dan Bobby Bagian Dari Masa Lalu

Salah satu arti penting buku ini, menurut saya terletak pada diskusi tentang akar ideologis ‘sosialisme kerakyatan’ PSI dan posisinya di antara varian sosialisme/Marxisme lainnya. Meskipun sedikit simplistik, penulis menyimpulkan dengan cukup tegas bahwa sosialisme kerakyatan PSI merupakan varian dari pergerakan sosial-demokrasi, meski tidak berafiliasi secara formal dengan Sosialisme Internasional (SI) sebagai federasi partai-partai buruh dan sosial demokrat dari berbagai belahan dunia.

Menurutnya, sikap resmi PSI maupun arus-utama eks-PSI yang menarik perbedaan tajam antara sosialisme kerakyatan dengan paham sosialisme demokratik atau sosial-demokrasi Barat tidak tepat. Hal ini hanya menciptakan situasi keterisolasian yang tidak perlu dari pergerakan sosialis Indonesia pasca naiknya otoritarianisme Orba.

Pergerakan kelas pekerja dan sosialis sesungguhnya akan lebih solid dan lebih baik mengorganisasikan diri dengan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari gerakan buruh internasional. Tetapi yang terjadi, kaum intelektual maupun aktivis eks-PSI tidak mampu bangkit kembali dari represi oleh rezim Demokrasi Terpimpin pada awal 1960-an ataupun pada waktu peristiwa Malari tahun 1974 karena perpecahan internal dalam barisan PSI sendiri.

Mengenai sosialisme kerakyatan atau sosialisme demokratik versi Indonesia terdapat beberapa catatan. Pertama, seperti halnya komunisme internasional yang mengalami skisma internal antara Rusia pasca-Stalin dan Maois Cina, pergerakan sosialisme demokratis juga terbelah antara sosial-demokrasi Eropa dengan sosialisme Asia yang berakar dari perjuangan anti-kolonial.

Dalam persoalan kolonial, kaum sosial demokrat Eropa cenderung mengambil haluan moderat dan anti-revolusioner, di mana kolonialisme dan ekspansi kapitalisme dianggap sebagai faktor progresif dalam transisi menuju masyarakat sosialis. Kalangan sosialis Belanda sebagai eksponen kebijakan etis mendukung suatu kebijakan gradual menuju otonomi negara kolonial, namun menolak cara-cara revolusioner dalam merebut kemerdekaan.

Kekhawatiran bahwa nasionalisme anti-kolonial ditunggangi oleh gerakan komunisme internasional menyebabkan ketidakpercayaan mendalam di kalangan sosialis Eropa terhadap kaum nasionalis maupun sosialis anti kolonial, dan sebaliknya. Alasan bahwa sosial-demokrasi mensyaratkan adanya perkembangan kapitalisme yang ‘matang’ dan industrialisasi sebagai prasyarat terbentuknya solidaritas kelas pekerja (proletariat) yang solid, memang benar secara teoretis namun bukan satu-satunya faktor penentu.

Kedua, meskipun kaum ‘sosialis kerakyaran’ membedakan dirinya secara tajam dengan sosialisme/sosial-demokrasi Barat dengan ikut mendukung pembentukan Asian Socialist Conference pada tahun 1952-53, dalam perkembangannya PSI memang memiliki program kerja yang sejajar dengan gerakan sosial-demokrasi Eropa. Bahkan dalam anggaran dasar dan program kerja PSI disebutkan bahwa tujuan gerakan sosialis di negara-negara Asia – yang bersifat prakapitalis -- adalah menciptakan kondisi matang untuk terciptanya masyarakat sosialis melalui peningkatan sarana produksi.

Meskipun mengakui Marxisme sebagai kerangka acuan dalam analisis sosial-ekonomi, sosialisme kerakyatan PSI menanggalkan konsep perjuangan kelas sebagai prinsip ideologis partai. Sosialisme PSI lebih dicirikan oleh ‘ekonomi terencana’ dimana unsur-unsur positif dari kapitalisme dapat dimanfaatkan untuk tujuan sosialistis/kolektivis, yaitu terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial.

Sementara unsur negatif dari kapitalisme dapat diminalisir melalui sosialisasi sarana produksi atau cabang-cabang ekonomi vital. Apa yang dimaksud dengan unsur positif itu adalah keahlian (expertise) teknis-manajerial yang diperlukan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian PSI di satu sisi menjadi partai kaum teknokrat perencana pembanguunan, sementara di sisi lainnya ia juga membangun basis kekuatan kritis atau ‘oposisi’ lunak bagi negara developmentalis.       

Di lain sisi, penonjolan konsep sosialisme kerakyatan yang bersifat unik tidak lepas dari eksepsionalisme yang memang umum dan dapat dipahami untuk sebuah negara kebangsaan yang tengah mencari identitas. Perdebatan-perdebatan di sekitar konsep ‘ekonomi Pancasila’ atau ‘ekonomi kerakyatan’ menunjukkan tendensi ini di mana orang cenderung menekankan bahwa sistem ekonomi kita adalah ‘bukan kapitalis’ namun juga ‘bukan etatis, apalagi komunis’, tetapi definisi final tampaknya belum atau tidak pernah tercapai.

Pengamat sosialisme Indonesia, Jeanne Mintz menyatakan bahwa bahasa pemikiran politik Indonesia sering diungkapkan dalam peristilahan yang ambigu berawal dari kebiasaan kaum pergerakan nasionalis untuk menghindari delik aduan subversi oleh penguasa kolonial. Entah bagaimana sesungguhnya, namun kesan ambigu dalam terminologi politik Indonesia memang ada benarnya. Istilah ‘kerakyatan’ adalah contoh yang paling jelas.

Penggunaan istilah ini dalam sila keempat Pancasila misalnya, secara jelas mengacu pada konsep ‘kedaulatan rakyat’ atau ‘demokrasi’. Tetapi pengertian demokrasi mensyaratkan pengertian rakyat sebagai subjek politik yang rasional, dan itu sesuai dengan haluan PSI ataupun pendahulunya dari PNI-Pendidikan. Dengan demikian sosialisme kerakyatan adalah sinonim dari sosialisme demokratis.

Tetapi kerakyatan dapat pula berarti ‘populisme’ atau politik yang menekankan pada massa rakyat, jika penggunaan kerakyatan dipakai oleh partai seperti PNI-nya Bung Karno atau penerus-penerusnya, misalnya. Siapa tahu, bukan? Yang pasti, penggunaan kata ‘rakyat’ atau ‘revolusi’ adalah hal yang relatif tabu dalam wacana politik Orde Baru yang lebih menyukai kata ‘masyarakat’ dan ‘pembangunan’. Jadi pemilihan kosakata ‘kerakyatan’ mengimplikasikan muatan kritis dan oposisional terhadap negara Orde Baru, apapun aliran ideologisnya.   

Dalam beberapa segi, pandangan Imam Yudotomo terhadap PSI mencerminkan perspektif kekirian sehingga ia, misalnya, menilai penentangan partai dan tokoh-tokohnya terhadap kapitalisme terlalu lunak dibandingkan kritiknya terhadap otoritarianisme fasis maupun komunis. Meski anti-komunisme merupakan hal lumrah pada tahun-tahun sekitar terbentuknya PSI, hal ini menjadi faktor yang kurang menguntungkan pada tahun-tahun akhir Orde Baru apabila hal semacam itu menjadi pandangan umum di kalangan eks-PSI.

Sikap anti komunis yang terlalu keras misalnya telah menjauhkan kaum sosialis eks-PSI dari aktivisme pro-demokrasi dalam melawan Orde Baru, yang dalam beberapa segi menunjukkan simpati terhadap ideologi kiri atau Marxisme, sementara mereka sendiri selalu menjadi sasaran kecurigaan penguasa.

Faktor perpecahan internal PSI juga menjadi hambatan terbesar bagi partai untuk menyusun kekuatan kembali. Pada saat itu, partai setidaknya terbagi menjadi tiga faksi: kelompok sayap kiri dibawah pengaruh Djohan Sjahroezah, yang meliputi sebagian besar kelompok PSI Yogya dan Jawa Timur, kelompok Sjahririan – pengikut gagasan sosialisme kerakyatan Sjahrir dibawah pengaruh Soebadio Sastrosatomo, dan kelompok sayap kanan di bawah pengaruh Sumitro Djojohadikusumo.

Kelompok terakhir ini muncul ketika kebijakan kepemimpinan Sjahrir dan Djohan yang terlalu berorientasi pada pendidikan politik dianggap membawa kegagalan PSI dalam pemilihan umum pertama di tahun 1955. Pada saat itu Sumitro yang diajukan sebagai calon ketua alternatif kemudian dibatalkan oleh segenap anggota partai meskipun ia menang dengan satu suara.

Selain sebagai ekonom-teknokrat dan pendukung sosialisme Inggris yang kuat (Fabianisme dan ekonomi Keynesian) Sumitro sendiri adalah politisi pragmatis yang juga sangat antikomunis. Namun berbeda dengan Sjahrir yang konsisten anti-otoritarianisme, Sumitro membangun hubungan yang erat dengan kaum militer antikomunis bahkan dengan Amerika Serikat, dan dengan demikian melibatkan dirinya dalam pemberontakan PRRI-Permesta.

Alhasil, Sumitro dikeluarkan dari PSI dan setelah tumbangnya kekuasaan Sukarno ia bergabung sebagai staf ekonomi Orde Baru Soeharto. Setelah wafatnya Sjahrir (1966) dan Djohan Sjahroezah (1968), praktis Soebadio menjadi tokoh paling menonjol di kalangan eks-PSI. Tetapi ia sendiri dan sejumlah orang eks-PSI lainnya tidak urung ditangkap oleh penguasa Orba setelah peristiwa Malari. Tokoh lainnya dalam barisan Sjahririan adalah Sarbini Sumawinata, ekonom UI yang sedikit kurang militan dibanding Soebadio namun merupakan PSI yang sangat ortodoks dalam menafsirkan ideologi ‘sosialisme kerakyatan’.

Selain ketiga yang tersebut di atas, terdapat kelompok keempat yang meskipun bukan bagian dari inti partai tetapi menunjukkan diri lebih solid adalah para aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) seperti Rahman Tolleng, Marsilam Simanjutak dan sebagainya. Terlihat bahwa Yudotomo, meski secara ideologis lebih dekat dengan kelompok sayap kiri, tetapi ia sendiri adalah anggota Gemsos dan melihat kelompok tersebut paling fleksibel dan prospektif dalam membangun kembali gerakan sosialis yang independen dan kritis.

Justru karena Yudotomo mengangap bahwa mayoritas atau mainstream dari eks-PSI bersikap ortodoks dan tidak kritis terhadap formulasi ideologi sosialisme kerakyatan maka mereka nyaris tidak dapat bergerak. Kritik semacam ini menurut saya layak dipertimbangkan.

Karena itu upaya untuk mengaktifkan kembali PSI melalui forum Pendidikan Sosialis Indonesia (PSI-Pendidikan) misalnya akan lebih efektif apabila pendidikan politik dalam tradisi PSI ini dikembangkan dengan mengadopsi unsur-unsur pemikiran yang tidak terbatas pada PSI lama, namun juga unsur Marxisme kritis (neo-Marxisme), Kiri Baru yang memadukan Marxisme dengan humanisme-libertarian, dan sebagainya. Karena dengan cara demikianlah, tradisi politik PSI dapat dikembangkan dan ditransmisikan ke generasi-generasi selanjutnya.