Ada 202 Kasus Pelanggaran HAM oleh Kepolisian pada 2019-2021

Jakarta, law-justice.co - Berdasarkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sepanjang 2019-2021, ada 202 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan pihak Polri.

Wakil Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Aditia Santoso mengatakan, 51 kasus terjadi pada 2019, 105 kasus pada 2020, dan 46 kasus pada 2021. "Sepanjang 2019-2021, ada 202 kasus pelanggaran oleh kepolisian," kata Aditia dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Kamis (29/7/2021).

Baca juga : 4 Ruangan Terbakar, YLBHI Hentikan Aktivitas Sementara

Rinciannya, 40 kasus terjadi di tingkat polda, 123 kasus di tingkat polres, dan 28 kasus di tingkat polsek. Sementara itu, ada 11 kasus yang tidak teridentifikasi. Kemudian, kelompok yang menjadi korban paling banyak dari perilaku kekerasan ini adalah pelaku atau tersangka sebanyak 79 kasus, mahasiswa 63 kasus, masyarakat umum 46 kasus.

Berikutnya, aktivis 18 kasus, pengacara 6 kasus, masyarakat adat 4 kasus, dan penyandang disabilitas 1 kasus. "Total ada 13.000 yang telah menjadi korban," ujar Aditia. Temuan YLBHI, ada 17 jenis bentuk pelanggaran yang dilakukan kepolisian dari 202 kasus itu. Total pelanggaran sebanyak 341 kasus. Sebab, satu orang bisa mengalami lebih dari satu kekerasan.

Baca juga : Padamkan Kebakaran di Kantor YLBHI, Seorang Petugas Damkar Meninggal

"Pelanggaran paling banyak adalah penangkapan sewenang-wenang," kata dia. Baca juga: Komnas HAM: Kekerasan 2 Oknum TNI AU di Merauke Tak Sesuai Norma HAM Aditia mengatakan, ada 85 kasus penangkapan sewenang-wenang. Kemudian, penyiksaan 40 kasus, kriminalisasi 36 kasus, penembakan 32 kasus, dan pembubaran aksi 29 kasus.

Ada pula pelanggaran dalam bentuk penganiayaan, pembiaran laporan, ancaman, penyerangan, dan perusakan. Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari mengatakan, secara khusus di masa pandemi Covid-19 ini, ada empat pelanggaran serius yang dilakukan Polri.

Baca juga : Kantornya Kebakaran, YLBHI Sebut Tak Ada Korban Jiwa

Pertama, bertalian dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Kedua, berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat dan berpartisipasi urusan pemerintahan. Ketiga, dwifungsi kepolisian. Keempat, pengabaian wewenang.

Soal pelanggaran kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, Era mencontohkan surat telegram Kapolri STR/645/X/PAM.3.2./2020 tanggal 2 Oktober 2020. Surat itu diteken Kapolri Jenderal Idham Azis untuk mengantisipasi demonstrasi dan mogok kerja buruh terkait omnibus law RUU Cipta Kerja.

Kemudian, terkait dwifungsi kepolisian, Era mengatakan setidaknya pada 2020 ada 13 orang polisi aktif yang menduduki posisi beragam di lembaga negara, perusahaan BUMN, dan kedutaan besar.

Era pun memberikan rekomendasi terhadap Polri. Menurut dia, perlu ada pengawas eksternal yang efektif bagi Polri. Selain itu, dia menyatakan perlu ada pembaruan KUHAP yang antara lain menjadikan jaksa sebagai pengendali perkara. "Serta adanya mekanisme checks and balances untuk upaya sebagaimana yang dimandatkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik," ujar Era. Terakhir, dia meminta presiden sebagai atasan langsung Kapolri segera bertindak memimpin reformasi kepolisian.