Revisi UU Migas Bisa Pudarkan Kepercayaan Investor, Ini Penyebabnya

Jakarta, law-justice.co - Kepercayaan investor minyak dan gas bumi (migas) untuk berinvestasi di Indonesia disebut bisa pudar jika revisi Undang-undang Migas belum selesai. Saat ini, mereka
masih menanti penyelesaian revisi agar ada kepastian hukum untuk berinvestasi di Tanah Air.

Pudarnya kepercayaan investor bisa menjadi kendala pencapaian target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 mendatang. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal.

Baca juga : Siapa Menghalangi Revisi UU Migas, Jokowi atau SKK Migas dan DPR?

Dia pun mengungkapkan bahwa permasalahan yang dihadapi industri hulu migas selama ini adalah inkonsistensi. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Migas sampai saat ini banyak sekali perubahan kebijakan.

Setiap kali ada pergantian Menteri, menurutnya peraturan pun ikut berubah. Misalnya saja, lanjutnya, skema kontrak migas, dari mulanya kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/ PSC) Cost Recovery, kemudian berganti jadi Gross Split. Dan kini, berganti lagi di mana investor bisa memilih antara Cost Recovery atau Gross Split.

"Sebagai investor, jangan-jangan nanti ganti lagi dengan adanya Menteri baru. Inkonsistensi ini nggak bagus, karena terkait jangka panjang," ungkapnya seperti dilansir dari cnbcindonesia, Kamis (17/06/2021).

Dia menyarankan agar revisi UU Migas ini segera dirampungkan. Dengan tuntasnya revisi UU Migas, maka menurutnya ini akan membuat beberapa ketidakpastian menjadi lebih pasti.

"UU ini akan buat mungkin tadinya banyak uncertainty menjadi certainty. Saran saya, cepat keluarkan UU Migas yang baru ini," pintanya.

Kepastian ini dia sebut akan menambah kepercayaan dari investor. Apalagi, lanjutnya, pemerintah memiliki target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD). Untuk mencapai target tersebut, maka tentunya diperlukan investasi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen migas.

"Ini akan tambah kepercayaan investor untuk tanamkan lagi investasinya. Kita masih butuh investor, nggak bisa bergantung ke Pertamina saja, Pertamina ada keterbatasan juga, makanya dibantu dengan investor-investor," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tata kelola migas ini harus bisa meminimalisir birokrasi. Birokrasi menurutnya perlu ditekan, sehingga tidak membuat investor menjadi sulit mengurus perizinan dan lainnya.

"Dulu sebagai kontraktor kita difasilitasi pemerintah. Difasilitasi dari pembebasan lahan, perizinan, kita benar-benar dibantu. Sekarang dikerjakan sendiri semua," ungkapnya.

Menurutnya, bila produsen migas harus dibebankan pada proses perizinan dan lainnya, maka dikhawatirkan ini bisa mengganggu produktivitas.

"Perizinan, izin lahan, masalah sosial dan lainnya ini akan ganggu produktivitas kita. Biarkan itu ada yang pegang. Kita mohon dimaksimalkan dibantu sehingga bisa fokus pada produksi, itu yang kita harapkan," pintanya.