Jalan Terjal Sang Hakim

Hamdan Zoelva, Santri Konstitusi

law-justice.co - Kehidupannya yang berangkat dari dunia santri dengan segudang integritas melejitkan karirnya di bidang hukum. Hamdan Zoelva, mencapai puncak kariernya saat ia terpilih sebagai Ketua Mahkmah Konstitusi pada 2013. Namanya kian melesat ke telinga publik saat ia memimpin sengketa hasil Pilpres 2014 antara pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.

Bumi Nusa Tenggara Barat perlu berbangga, dua putera daerahnya telah memberikan sumbangsih bagi penegakan konstitusi dalam negeri. Mereka adalah Hamdan Zoelva dan Anwar Usman. Keduanya memimpin Mahkamah Konstitusi di saat terjadinya sengketa Pilpres pada 2014 dan 2019.

Baca juga : PKS: `Dissenting Opinion` MK, Momentum Perbaiki Kualitas Pemilu

Hamdan Zoelva lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 21 Juni 1962. Ia putra dari pasangan Tuan Guru KH. Muhammad Hasan, BA dan Hj. Siti Zaenab. Ayahnya adalah pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin di Bima. Sedangkan ibunya berperan sebagai istri ulama yang sangat memerhatikan pendidikan agama anak-anaknya. Dengan latar keluarga seperti itu, Hamdan benar-benar tumbuh dalam lingkungan agama yang kuat.

Baca juga : MK Terima 297 Permohonan Gugatan Pileg, PPP Terbanyak

Hamdan Zoelva. (Foto: IG @hamdanzoel).


Semasa kanak-kanak, Hamdan tinggal di Desa Parado, sekitar 50 kilometer dari Kota Bima. Ia dibesarkan dalam tradisi keluarga santri setelah orang tuanya menyekolahkan dia di Madrasah Ibtidaiyah. Ketika menginjak kelas 4, ia pindah ke Sekolah Dasar di Kota Bima. Di sore hari, Hamdan bukannya menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak seusianya, ia malah mengisi waktunya dengan pendidikan agama di Madrasah Diniyah.

Baca juga : Terlibat Asosiasi Pengajar HTN, MKMK: Guntur Hamzah Tak Langgar Etik

Menempuh pendidikan agama tak berhenti di tingkat Diniyah. Selepas lulus SD, darah ulama membawa Hamdan kembali bersekolah ke Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Bima.

 

Kuliah Hukum Islam dan Hukum Positif

Setelah lulus Madrasah Aliyah pada 1981, Hamdan mulai menentukan jalan pengabdian hidupnya. Ia terpikat dengan dunia hukum. Uniknya, ilmu hukum yang ia geluti bukanlah hukum agama Islam sebagaimana yang telah banyak ia pelajari semasa di pesantren. Kali ini, Hamdan memilih mendalami hukum positif yang menjadi basis penegakan keadilan di Indonesia.

Keinginan untuk belajar hukum terganjal dengan cita-cita ayahandanya yang menginginkan Hamdan memperdalam ilmu agama. Pria yang dikenal kalem dan taat pada orangtuanya ini lalu memutuskan untuk mendaftar dan kuliah di Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (kini UIN) Alauddin, Makassar.

Meski begitu, tekadnya untuk belajar ilmu hukum di perguruan tinggi tak lekas ia kubur. Tak lama, tekad itu berubah menjadi nekat. Rupanya, dengan hati yang mantap Hamdan juga mendaftarkan dirinya berkuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar. Nama Hamdan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. Cita-citanya pun tercapai.

Keputusannya mengambil dua jurusan kuliah di dua perguruan tinggi bukan tanpa rintangan. Konsekuensinya, ia harus membagi waktu sebaik mungkin agar dua cita-cita yang ia emban tak terbengkalai. Tantangan semakin berat kala Hamdan melakoni statusnya sebagai mahasiswa berbarengan dengan kegiatan dia sebagai aktivis di berbagai organisasi kemahasiswaan.

Salah satunya, Hamdan aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di sini, ia pernah menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi HMI Indonesia Timur. Padatnya kegiatan organisasi benar-benar membuat ia bekerja ekstra sambil kuliah di dua tempat. Demi kecintaannya terhadap organisasi, mau tak mau Hamdan dituntut untuk menentukan prioritas.

Hamdan Zoelva (kanan), usai wisuda Sarjana Hukum di Universitas Hasanuddin tahun 1986. (Foto: IG @hamdanzoel).


Walhasil, setelah tiga tahun menjalani kuliah rangkap, ia melepas pendidikannya di IAIN Alaudin. “Karena takut tidak bisa berkonsentrasi pada ketiganya, maka saya putuskan untuk melepas pendidikan di IAIN Alaudin. Padahal saat itu saya hampir mendapatkan gelar Sarjana Muda,” kenang Hamdan.


Gagal Jadi Dosen dan Pergi ke Jakarta

Berhasil menyabet gelar sarjana hukum di Universitas Hasanuddin, Hamdan mengisi kegiatan lanjutan dengan mengajar sebagai asisten dosen di almamaternya. Ia juga menyempatkan diri mengajar di Fakultas Syari`ah IAIN Alauddin. Tidak lama ia menjalani pekerjaan ini. Hanya satu tahun dari 1986 sampai 1987.

Hamdan terus meningkatkan kemampuannya mengajar di bidang hukum sampai pada gilirannya ia memutuskan ingin menjadi dosen. Gayung tak bersambut, tanpa diduga, hasratnya yang besar pada dunia pendidikan hukum kandas karena tes ujian untuk menjadi dosen di kampusnya gagal ia tembus. “Sempat tidak percaya. Saya pikir, dengan kualifikasi yang saya miliki, seharusnya saya lulus,” kata Hamdan.

Harapannya memang pupus di Makassar. Namun, kegagalan menjadi dosen bukanlah akhir dari segalanya. Di sini, ia mulai berpikir untuk merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib sebagai orang yang mengemban misi hukum. Di sini adalah titik tolak bagi kehidupan santri bergelar sarjana hukum itu.

Hamdan hijrah ke Jakarta pada 1987. Sesampainya di ibukota, ia mulai merintis karir di dunia hukum dengan bergabung di kantor pengacara O.C. Kaligis & Associate pada pertengahan 1987. Berbekal pengalaman selama hampir tiga tahun di kantor pengacara senior itu, bersama teman-temannya, ia memutuskan untuk mendirikan kantor hukum sendiri.

Berdirilah Sri Haryanti Akadijati, Poltak Hutajulu, Juniver Girsang, Hamdan Zoelva & Januardi S. Haribowo (SPJH&J) Law Firm. Pada 1997 ia meninggalkan law firm itu untuk mendirikan kantor advokat Hamdan, Sujana, Januardi & Partner (HSJ & Partner).

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva (kanan) bersama Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kiri) menunjukan bukti dari saksi ke kedua kuasa hukum pada sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres Tahun 2014 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/8/2014). (Foto: Antara).


Di tengah kesibukannya menjadi pengacara, pada tahun 1998, Hamdan mencoba masuk dunia politik. Ia bergabung dengan Partai Bulan Bintang bentukan Yusril Ihza Mahendra. Karier politiknya naik saat ia terpilih menjadi anggota DPR RI periode 1999-2004. Hamdan pun diamanahi menjadi sekretaris Fraksi Partai Bulan Bintang dan Wakil Ketua Komisi Pemerintahan (Komisi II) DPR RI.

Namun, pada pemilu berikutnya, setelah tidak lolos, Hamdan perlahan meninggalkan gelanggang politik praktis dan dia memilih kembali ke dunia advokat. Sejak itu dia mulai bergabung dengan beberapa kantor pengacara dan akhirnya kembali mendirikan kantor pengacara baru yang ia beri nama Law Firm Hamdan & Januardi.


Melenggang ke Mahkamah Konstitusi

Profesi sebagai advokat yang menjadi bagian dari hidup Hamdan selama lebih dari dua dasawarsa akhirnya harus ia tinggalkan. Pada tahun 2010, ia mencoba mengadu nasib menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Hamdan pun menjalani seleksi uji kelayakan yang digelar tiga kementerian, yakni Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Sekretaris Negara, dan Kementerian Hukum dan HAM. Hasilnya, ia lolos sebagai hakim Mahkamah Konstitusi untuk periode 2010-2015.

Sebagai salah satu tokoh perintis lahirnya MK, Hamdan pernah membayangkan, kelak ia akan menduduki kursi hakim konstitusi. “Tapi itu nanti, jika saya berusia lebih dari 50 tahun,” ujar ayah tiga orang anak ini. Alasan ia ingin menjadi hakim di usia setengah abad adalah, bahwa pada seusia itu ia akan lebih bijak.

Tetapi Tuhan sudah punya jadwal sendiri. Tiga tahun lebih muda dari umur yang ia target, atau tepatnya di usia 47 tahun, Hamdan ternyata mampu menjadi hakim Mahkamah Konstitusi dan bersanding dengan delapan hakim konstitusi lain, yang rata-rata usianya jauh di atas dia. Puncak karir Hamdan ditandai setelah lengsernya Akil Muchtar karena kasus korupsi. Ia terpilih sebagai ketua Mahkamah Konstitusi hasil dari pemilihan antar sesama hakim konstitusi untuk periode 2013-2015. “Saya menjadi hakim konstitusi termuda pada periode ini,” ujarnya.


Integritas Santri untuk Konstitusi

Tak dipungkiri menjadi hakim adalah tugas berat bagi seorang ahli hukum. Hal ini diamini oleh Hamdan. Kekhawatiran besar menjadi seorang hakim adalah runtuhnya independensi terhadap sebuah kasus hukum. Hamdan tentu sangat menjaga integritasnya sebagai penjaga hukum konstitusi. Apalagi, ia menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi sesudah menggantikan koleganya yang tersangkut kasus hukum.

Salah satu berkah dari hasil nyantri dia adalah pesan ayahandanya akan sebuah hadits yang selalu terngiang dalam kepalanya. Hadits Rasulullah SAW itu berbunyi, "Hanya ada satu dari tiga orang hakim yang masuk surga, sedangkan sisanya masuk neraka". Hadits yang dimaksud Hamdan itu menjelaskan, hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan memutus perkara dengan kebenaran.

Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpangkan hukum dan kebenaran, maka ia masuk neraka. Begitu pula hakim yang memutus perkara dengan kebodohan dan tanpa pengetahuan, jatahnya adalah neraka. “Jadi sungguh sangat berat,” tuturnya.

Nilai dan keyakinan itulah yang menumbuhkan kekuatan untuk membulatkan tekadnya menjadi hakim konstitusi, dengan berpijak pada hukum dan keadilan, tanpa memihak kecuali pada kebenaran. Menjadi hakim konstitusi lebih berat dibanding hakim biasa, karena harus memiliki sifat negarawan. Di Republik Indonesia, hanya inilah satu-satunya jabatan yang mensyaratkan pejabatnya harus seorang negarawan.

Hal ini berarti bahwa seorang hakim konstitusi harus bebas dari kepentingan apapun, kecuali kebenaran dan keadilan itu sendiri. Itulah sebabnya, seorang Hamdan Zoelva yang tumbuh dalam tradisi ke-santri-an ini menanggalkan seluruh latar belakangnya sebagai advokat dan politisi tatkala bersumpah menjadi hakim konstitusi. “Menghindari konflik kepentingan,” katanya menegaskan.