Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Seratus Hari Realisasi Jargon Presisi Kapolri, Baru Sebatas "Jarkoni"

Jakarta, law-justice.co - Sejak ditetapkan sebagai Kapolri oleh Presiden RI, usia jabatan Jenderal Listyo Sigit Prabowo kini sudah lewat seratus hari. Salah satu program prioritas Kapolri baru dalam masa seratus hari adalah melaksanakan slogan PRESISI yang diyakini bisa membuat reformasi di tubuh Polri.

Dihadapan komisi 3 DPR RI waktu fit and proper test waktu itu , Jenderal Sigit Prabowo berjanji akan melaksanakan program prioritas dengan jargon PRESISI ini sebagai program andalannya ketika terpilih nanti.  

Apa yang dimaksud dengan program priotas Kapolri yang berjargon PRESISI ini ?, Sejauhmana program ini telah di implementasikan sesuai dengan janji Kapolri ?.  Benarkah pelaksanaan program ini baru sebatas “Jarkoni” ?. Bagaimana sebaiknya Jargon PRESISI ini diimplementasi ?

Program PRESISI 

Ketika Jenderal Jenderal Listyo Sigit Prabowo  baru dilantik oleh Presiden RI, banyak pihak memberikan apresiasi terhadap sejumlah program prioritas yang dicanangkan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru pilihan Presiden Jokowi.

Program andalan Kapolri baru ini disebut dengan PRESISI singkatan dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi ,Berkeadilan  yang diyakini bisa membuat reformasi di tubuh Polri.  Menurut Listyo, pendekatan ini bisa membuat pelayanan lebih cepat, modern, mudah, dan terintegrasi. Konsep ini juga tertuang dalam makalahnya berjudul "Transpormasi Polri yang PRESISI". 

Melalui program PRESISI  ini Kapolri Sigit telah berkomitmen untuk memenuhi rasa keadilan dengan mengedepankan instrumen hukum progresif melalui penyelesaian dengan prinsip keadilan restorative yang selama ini belum terimplementasi. Bahkan, Sigit berencana membuat polsek tak lagi menyidik perkara, namun lebih dimaksimalkan dalam fungsi pencegahan, pemecahan masalah dengan musyawarah, dan menjadikan proses hukum sebagai upaya terakhir jika cara lain sudah tidak ada lagi. 

Saat menjadi Kapolri nanti, Sigit tak mau ‘hukum tajam ke bawah tumpul ke atas’ kembali terulang lagi. Apalagi seperti kasus nenek Minah yang mencuri kakao kemudian diproses hukum karena hanya untuk mewujudkan kepastian hukum, bagi Sigit, hal itu tidak boleh terjadi lagi. Penegakan hukum yang ia maksud juga termasuk ke internal Polri.

Selain itu dalam makalah yang berisi Gagasan Polri PRESISI sebanyak 120 halaman yang disampaikan di hadapan Komisi III DPR RI , Kapolri Jenderal Sigit juga memiliki komitmen kuat mengubah paradigma penegakan hukum yang dari sebelumnya berorientasi pada masalah (problem oriented policing) ke pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing), sebuah pendekatan baru yang tentunya menuntut profesionalitas tingkat tinggi dari Polri.

Konsep PRESISI yang diusung Jenderal Sigit Listyo Prabowo tersebut  tentu saja menjadi harapan baru bagi seluruh masyarakat Indonesia terhadap Korps Bhayangkara yang selama ini dinilai belum optimal menjalan tugas dan fungsi sebagai polisi. 

Konsep  PRESISI dinilai  sangat cocok untuk menghadapi tantangan zaman 4.0 dimana konsep pencegahan atau crime prevention ini sebenarnya sudah lama digaungkan sebagai salah satu bentuk kepolisian modern  untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat  sejak dini.

Dalam konsep PRESISI  upaya  pencegahan atau prediktif perlu dilakukan dalam upaya pencegahan kejahatan itu sendiri. Kemudian terkait responsibilitas mengandung makna bahwa  kepolisian memang harus cepat tanggap untuk menangani kasus hukum terjadi.  Tujuannya untuk menciptakan  ketertiban dan keamanan di masyarakat agar tetap aman terkendali. 

Kini di era  4.0, atau era revolusi industri penggunaan teknologi informasi dapat membantu kepolisian untuk cepat merespons dan segera menangani segala bentuk laporan yang masuk agar cepat ditindaklanjuti. Dengan adanya responsibilitas tersebut diharapkan laporan yang bersumber dari daerah-daerah pelosok nantinya juga dapat diakomodasi. 

Apa yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Sigit Prabowo  dengan PRESISInya mengingatkan kita pada komitmen serupa yang pernah disampaikan oleh Kapolri Kapolri sebelum ini. Sebagai contoh Jenderal Tito Karnavian pernah menyampaikan program “Promoter” yaitu Polri yang profesional, modern dan terpercaya. 

Profesional: Meningkatkan kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.

Modern: Melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin modern.

Terpercaya: Melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Selanjutnya Jendral Idham Aziz penggantinya pernah meluncurkan 7 Program Prioritas yaitu mewujudkan SDM unggul, Pemantapan Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) serta Penguatan penegakan hukum yang profesional dan berkeadilan. Selain itu  Pemantapan manajemen media, Penguatan sinergi polisional, Penataan kelembagaan Serta Penguatan pengawasan.

Realisasi dari program Promoter pada zaman Jenderal Tito Karnavian  terlihat lebih banyak melakukan perubahan `tampilan` Polri di hadapan publik.  Sehingga ketika kita  mengunjungi Kantor Polisi, dari Polsek hingga Mabes Polri, tak ada lagi wajah-wajah galak Pak Polisi. Mereka berpakaian sipil seperti pegawai .  `Wajah Coklat` dan `Tampang Sordadu` hanya terlihat di/pada Polantas, Pasukan Brimob serta Densus 88. Program Promotor dari Jenderal Tito sedikit banyak tela  berhasil merobah `Wajah Kepolisian` menjadi raut humaniora, ramah, manusiawi.

Sementara itu realisasi dari  7 Program Strategis Jenderal Idam Aziz tidak terlalu terlihat dampaknya bagi perbaikan wajah Polri di masyarakat kecuali mungkin upaya perbaikan ke internal Polri sendiri.  Sepertinya 7 Program Strategis memang kalah popular dari Promoter, bahkan nama Jenderal Aziz pun terkesan kalah pop dibandingkan Jendral  Tito yang digantikannya. Lalu bagaimana halnya dengan implementasi dari  PRESISI ?

Implementasi PRESISI 

Sebagai tindaklanjut dari pelaksanaan program prioritas setelah menjadi Kapolri, Jenderal Sigit Prabowo membentuk Posko Presisi di Mabes Polri. Posko ini bertujuan untuk memantau dan mengukur kinerja jajaran Polda hingga tingkat Polsek dalam menjalankan program transformasi Polri, yakni Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan (PRESISI).

Posko Presisi ini berlokasi di lantai 3 Gedung Bareskim Mabes Polri.  Ruangan yang semula kosong ini disulap modern layaknya command center, lengkap dengan layar pemantau, ruang dan alat kerja, ruang rapat serta sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan. Posko ini sudah terbentuk dan mulai beroperasi di hari ke-33 Sigit menjabat sebagai Kapolri.

Dalam keterangan persnya, Kapolri menerangkan bahwa ia menunjuk seorang perwira tinggi kepolisian sebagai Kepala Posko PRESISI. Selain itu, sebanyak 51 perwira tinggi juga ditunjuk untuk memastikan semua terlaksana dengan baik sesuai target yang di ingini.

Menurut Listyo, penanggung jawab di Posko Presisi ini kemudian menunjuk lagi penanggung jawab di tingkat Polda dan demikian seterusnya hingga ke tingkat polsek di seluruh wilayah RI. Penanggung jawab ini juga bertugas membuat indikator keberhasilan dengan persentase pe 30 hari, 60 hari dan 100 hari.

Pada Senin (26/4/21, Posko Presisi melaporkan bahwa dalam 60 hari kerja, Polri telah menuntaskan 1.364 kasus melalui pendekatan restorative justice atau pemenuhan rasa keadilan di masyarakat.

Selain pembentukan Posko PRESISI, berbagai program juga diluncurkan untuk mendukung tujuan Polri PRESISI. Misalnya aplikasi pengaduan masyarakat (Dumas) PRESISI. “Dumas PRESISI” diciptakan untuk mewujudkan transparansi dan handling complain bagi masyarakat luas. Melalui aplikasi akan membentuk sistem pengawasan oleh masyarakat dengan cepat, mudah, dan terukur.

Kapolri juga meluncurkan aplikasi “Propam PRESISI” yang melayani pengaduan masyarakat terkait kinerja anggota polisi. Dengan hadirnya aplikasi ini kinerja polisi dapat diawasi tidak hanya secara internal, tetapi juga secara eksternal. Sebab saat ini merupakan era keterbukaan sehingga tidak perlu ada ditutup-tutupi. Dari situ akan diketahui bagaimana potret polisi sehingga apa yang menjadi kekurangan bisa diperbaiki.

Aplikasi lain yang diluncurkan adalah aplikasi SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) dan e-PPNS (Penyidik Pengawal Negeri Sipil) berbasis online.Aplikasi ini merupakan layanan kepolisian yang memberikan informasi kepada masyarakat terkait sejauh mana perkembangan perkara yang ditangani oleh Polri.

Dalam aplikasi ini, pelapor bisa mendapat nomor telepon penyidik hingga atasan penyidik dan bisa melakukan komunikasi terkait perkembangan perkara yang dilaporkan oleh pelapor.Tujuannya sebagai bentuk transparansi penyidikan. Diharapkan juga tidak ada lagi sumbatan komunikasi atau informasi terkait penyidikan sebuah kasus.

Dibidang pelayanan, Kapolri meluncurkan aplikasi SINAR (SIM Nasional PRESISI). Peluncuran aplikasi untuk ponsel pintar tersebut bertujuan meningkatkan pelayanan masyarakat, mengenai pembuatan hingga perpanjang SIM (Surat Izin Mengemudi ).

Kapolri juga mengembangkan sistem Rekruitmen Proaktif (Rekpro) melalui aplikasi e-Rekpro untuk perekrutan anggota Polri, khususnya jalur Bintara. Aplikasi ini dibuat untuk mendukung transformasi organisasi dengan program peningkatan kinerja menjadikan SDM Polri yang unggul di era police 4.0. Program Rekpro memiliki konsep affirmative action, talent scouting dan reward.

Teranyar Kapolri meluncurkan Binmas Online System (BOS) Versi 2. Aplikasi ini dapat digunakan untuk membuat laporan yang berkenaan dengan kegiatan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat atau Bhabinkamtibmas.

Dengan kata lain, BOS merupakan aplikasi yang bisa dimanfaatkan dan digunakan baik internal dan eksternal. Internal adalah bagaimana aplikasi ini digunakan untuk membuatkan laporan terkait dengan kegiatan Bhabinkamtibmas yang ada di sektor polisi terdepan di tingkat desa.

Sebagai wujud dari pelaksanaan program Polri PRESISI, Polri juga menerima dengan  legawa hasil investigasi Komnas HAM terhadap peristiwa penembakan anggota ormas terlarang Front Pembela Islam (FPI). Polri menindaklanjuti dengan penyidikan dan penyelidikan internal oleh Divisi Propam. Serta kasus suap penghapusan Red Notice terhadap buron terpidana kasus korupsi Bank Bali.

Sebagai wujud pelaksanaan program Polri PRESISI pula, Kapolri berkenan untuk secara responsive meminta maaf dan mencabut kembali terkait surat telegram yang mengatur tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik. 

Kapolri memahami mengenai timbulnya penafsiran yang beragam terhadap surat telegram ini.Kasus kasus yang selama ini meresahkan masyarakat dengan adanya tilang damai dijalanan juga sudah bisa dikurangi akhir akhir ini sebagai wujud komitmen Polri dalam menjalankan Program PRESISI. 

Atas semua hal terkait dengan pelaksanaan komitmen program Polri PRESISI ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengapresiasi komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam merealisasikan program-program prioritas PRESISI . 

“Saya melihat keseriusan yang tinggi dari kapolri untuk mengaplikasikan gagasan dan programnya yang brilian,” ucap Sahroni dalam keterangannya di Jakarta, sebagaimana dikutip media, Selasa (27/4).

Menurut Sahroni, program polri presisi yang sebelumnya dikira banyak orang hanya sebagai gimmick dalam penetapan Kapolri, ternyata telah berhasil  dieksekusi. “Sampai ada posko khusus, Posko Presisi. Jadi, ini bukan jargon semata,” kata legislator NasDem itu. Politikus asal Tanjung Priok itu juga memuji kinerja Brigjen Pol Slamet Uliandi selaku ketua Posko PRESISI. 

Meskipun implementasi program Polri PRESISI mendapatkan apresiasi namun tak urung juga mendapatkan kritikan pedas dari para aktifis yang selama ini memang rajin mengkritisi kinerja Polri. Sebagai contoh KontraS memberikan catatan kritis terkait realisasi beberapa hal dari 16 (enam belas) program prioritas untuk mengukur sejauh mana institusi kepolisian mampu menghargai, melindungi, dan mengayomi.

Secara garis besar, KontraS menilai bahwa 100 hari kepemimpinan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit masih belum mampu menunjukkan perubahan signifikan dalam memperbaiki kinerja institusi Polri. Menurut KontraS, pencapaian 100 hari Kepemimpinan Kapolri Jenderal Listiyo Sigit bertolak belakang dengan tagline yang diusung, yakni prediktif, responsibiltas, dan transparan berkeadilan (PRESISI).

“Dalam konteks perubahan teknologi kepolisian modern di era police 4.0, Kapolri justru merealisasikan virtual police. Pemberlakukan virtual police ini justru menjadi alat represi baru di dunia digital karena menjadi ancaman konkret terhadap kebebasan berekspresi warga negara di media sosial.” Ungkap Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti sebagaimana di kutip media, 7/5/21.

Menurut KontraS, bentuk diskriminatif penegakan hukum tersebut membuat program prioritas kapolri dalam meningkatkan kinerja penegakan hukum justru berkebalikan dengan kondisi sebenarnya.

Selain itu, KontraS turut menyinggung praktik penyiksaan masih menjadi bagian dari cara polisi guna mendapatkan pengakuan dalam proses penyelidikan, serta mekanisme pengungkapan peristiwa dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) turut menjadi deret masalah yang tidak menjadi perhatian dalam memperbaiki kinerja Polri.

Lanjut, Kontras mengungkapkan bahwa kondisi tersebut semakin diperparah dengan mekanisme yang lemah. Komitmen Kapolri dalam menguatkan fungsi pengawasan juga tidak tercermin dari carut marutnya penegakan etik kepolisian saat ini.”Kondisi yang carut marut ini terlihat dari angka pelanggaran baik itu disiplin, etik maupun pidana yang terus mengalami kenaikkan.” Jelas Fathia.

Sementara itu Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh kepolisian tak kunjung membaik. Hal itu terlihat dari 100 hari pertama kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Bahkan, kata dia, kebijakan Kapolri baru, yakni Virtual Police (polisi virtual), berdampak pada menyusutnya kebebasan sipil karena menindak dan mengatur ekspresi warga di dunia digital. Menurut catatan KontraS, teguran yang dilayangkan Virtual Police menyasar kepada warga yang aktif mengkritisi pemerintah.

“Kami pada awalnya berharap Jenderal Listyo Sigit bisa mengubah persepsi penanganan kritik dan gagasan di media sosial secara lebih baik. Tapi hasilnya malah kontradiktif,” jelas Rivanlee dalam konferensi pers daring, Kamis (6/5).

Rivanlee menambahkan KontraS mencatat polisi setidaknya telah menegur 329 akun hingga pertengan April 2021. Salah satunya adalah teguran terhadap akun Instagram, Surabaya Melawan, setelah mengkritik Presiden Jokowi.

Peneliti KontraS Rozy Brilian menambahkan polisi juga tidak memperhatikan dampak terhadap masyarakat saat menjaga program investasi negara dan mendampingi program pemerintah terkait pemulihan ekonomi nasional. Menurutnya, kegiatan tersebut justru memunculkan ruang kriminalisasi bagi masyarakat dan aktivis. Misalnya, kriminalisasi terhadap kelompok tani di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara pada Februari lalu.

“Yang baru saja terjadi juga, kasus di Desa Wadas, Purworejo. Polisi juga mengkriminalisasi 11 orang terdiri dari warga dan advokat saat aksi penolakan bendungan pada 23 April 2021,” jelasnya.Rozy menambahkan polisi juga berlaku diskriminatif dalam penanganan kerumunan saat pandemi COVID-19.

Kata dia, polisi menyalahgunakan situasi darurat kesehatan sebagai celah pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, dalam pembubaran aksi Hari Perempuan Internasional lalu yang berujung pada kriminalisasi Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Nining Elitos. Di sisi lain, polisi tidak bertindak saat terjadi kerumunan kala Presiden Joko Widodo berkunjung ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari lalu.

KontraS juga menyoroti tidak ada perbaikan signifikan dalam penegakan kode etik kepolisian yang terlihat dari banyaknya pelanggaran disiplin, etik dan pidana. Menurut data Polri, setidaknya terdapat 536 pelanggaran disiplin, 279 pelanggaran etik, dan 147 pelanggaran pidana pada awal 2021.

Baru Sekadar “Jarkoni “?

Kita tentunya mengapresiasi respons cepat Kapolri untuk menjalankan program prioritas yang berjargon PRESISI seperti pembentukan kelembagaan Posko PRESISI, aplikasi pengaduan masyarakat (Dumas) PRESISI, aplikasi “Propam PRESISI, aplikasi SINAR (SIM Nasional PRESISI dan masih banyak lagi.

Sungguhpun demikian pelaksanaan program dengan jargon PRESISI ini jangan sampai nasibnya sama dengan program yang digagas oleh para Kapolri sebelum ini. Sebagai contoh  jargon Promoter atau profesional, modern dan terpercaya sejak zaman Jenderal Tito Karnavian hingga Idham Aziz, kerap kali salah kaprah dalam implementasi. 

Jargon Promoter diterjemahkan dengan membuat aplikasi-aplikasi yang biayanya sangat mahal tetapi tidak berguna bagi masyaraka karena tidak dimengerti atau tidak dikelola secara profesional supaya berfungsi.

Kalau misalnya dibuat aplikasi pelaporan, harus ada tenaga yang mengelola aplikasi pengaduan ini supaya terlihat ditindaklanjuti. Karena ada pengalaman yang disampaikan masyarakat dimana beberapa kali mencoba menghubungi  tetapi tidak ada respon sama sekali. Jadinya seperti robot karena pengaduan tidak ada yang menjawab atau  yang menindaklanjuti.

Dalam kaitan dengan implementasi  proram Polri yang berjagrgon PRESISI, nampaknya masyarakat lebih melihat pada hasil secara substansi. Sementara hal hal yang terkait dengan kelembagaan atau prosedur kerja internal Polri nampaknya masyarakat tidak begitu peduli.

Dengan program berjargon PRESISI diharapkan bisa terhapus pandangan masyarakat yang sering menjumpai kasus dimana kalau melapor karena kehilangan ayam bisa mengeluarkan biaya seharga kambing atau sapi.

Demikian juga adanya insiden pungli yang masih sering terjadi  di berbagai tempat diharapkan sudah tidak bisa ditemukan lagi.  Selanjutnya masyarakat yang melapor meskipun dari kalangan rakyat jelatas bisa segera ditindaklanjuti tanpa memandang  pangkat, jabatan atau uang karena faktor ini yang masyarakat  sering tidak memiliki.

Dengan program prioritas yang berjargon PRESISI, masyarakat juga ingin melihat sejauhmana kasus kasus yang mendapatkan perhatian luas bisa segera ditindaklanjuti seperti kasus hilangnya Harun Masiku, diakhirinya tindak kekerasan yang masih diperlihatkan oleh anggota Polri, ketidakadilan dalam menanggapi laporan yang ditujukan ke Polri dan masih banyak lagi.

Sampai saat ini masyarakat masih menunggu realisasi dari janji Kapolri untuk mengadili pembunuh enam laskar FPI, realisasi dari pelaksanaan penegakan hukum yang tidak tebang pilih dibuktikan dengan penangkapan terhadap mereka  yang menjadi pendukung pemerintah saat ini seperti Abu janda dan kawan kawannya yang tidak pernah diadili.

Mengapa fenomena tersebut menjadi sebuah indikator pelaksanaan program berjargon PRESISI karena selama ini  sebagian masyarakat yang menilai  di era  Presiden Joko Widodo, polisi terkesan menjadi alat penguasa, bahkan disebut-sebut di masa ini dwifungsi muncul kembali. 

Jika di masa Orde Baru aktornya adalah tentara, maka di masa sekarang  ini aktornya tak lain adalah polisi.Karena condong menjadi alat penguasa pula seorang advokat publik pernah mengatakan Polri era saat ini begitu lekat dengan kekerasan, penahanan sewenang-wenang, dan kriminalisasi. 

Hilangnya atau berkurangnya pandangan pandangan negatif sebagaimana dikemukakan diatas itulah hakekat yang menjadi tolok ukur keberhasilan program Kapolri yang berjargon PRESISI. Tanpa adanya bukti nyata untuk mengurangi atau menghilangkan stigma negatif tersebut kiranya program Kapolri yang berjargon PRESISI hanya sebuah program JARKONI, yang adalah akronim dalam budaya masyarakat marjinal di Jawa, singkatan dari `iso ngujari nanging ora iso nglakoni`, yang bermakna, tidak adanya kesesuaian antara omongan dengan sikap dan perilaku alias munafik (bisa berujar tapi tidak bisa melakoni).

Kini Kapolri Sigit baru sekitar seratus hari menduduki posisi sebagai Kapolri. Kiranya masih banyak cukup waktu untuk membuktikan bahwa apa yang diprogramkan tidak sekadar janji  atau sekadar ilusi

Akhirnya kita berharap semoga program Kapolri yang berjargon PRESISI bisa dapat terimplementasi secara substansi sehingga mampu mewujudkan sosok korps bhayangkara yang benar benar prediktif, responsif , transparan dan berkeadilan dalam mengemban tugas dan fungsi sebagai polisi.

Karena sudah lama rakyat haus akan sosok Polri yang humanis, berwajah sipil , yang benar benar mau menghargai, melindungi dan mengayomi masyarakat dengan sepenuh hati. Apakah harapan ini bisa diwujudkan di era Jendral Sigit yang telah berkomitmen untuk menjalankan program Polri yang PRESISI ?