Potensi Kerugian Negara dari Pengadaan Reagen PCR Disebut Capai 169 M

law-justice.co - Adanya dugaan kejanggalan dalam pengadaan reagen PCR  sempat heboh akhir-akhir ini. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut ada dugaan potensi kerugian negara senilai Rp 169,1 miliar dari pengadaan alat tes kesehatan COVID-19 tersebut.

"Sepanjang April hingga September 2020, ICW menemukan adanya pengembalian barang berupa reagen yang terjadi di 78 laboratorium pada 29 provinsi. Total barang yang dikembalikan sebanyak 498.644 tes senilai Rp 169,1 miliar," kata peneliti dari ICW, Dewi Anggraeni, dalam diskusi publik daring berjudul `Kajian Tata Kelola Distribusi Alat Kesehatan dalam Kondisi COVID-19`, Kamis (18/3/2021).

Baca juga : Respons DPR RI soal Heboh Warung Madura Dilarang Buka 24 Jam

Dalam data yang ditampilkan, ada sebanyak 493.819 reagen RNA yang dikembalikan pihak laboratorium dengan potensi kerugian negara Rp 167,6 miliar. Sedangkan untuk reagen PCR yang dikembalikan ada 4.825 dengan potensi kerugian Rp 1,5 miliar.

"Untuk reagen RNA (ini), dan hampir 5.000 untuk reagen PCR, dengan potensi kerugian negara totalnya adalah Rp 169,1 miliar karena ada hampir 500 ribu barang yang dikembalikan ke BNPB," katanya.

Baca juga : Ada Penumpang Turun, Ini 13 Momen Penting CCTV Kematian Brigadir RA

Dewi menjelaskan, sepanjang April-September 2020, ditemukan adanya pengembalian reagen dari rumah sakit ke BNPB. Hal itu terjadi karena ditemukan kualitas barang yang tidak sesuai standar. Dewi menemukan adanya kasus pengembalian reagen PCR dari rumah sakit ke BNPB karena kondisinya mendekati masa kedaluwarsa.

"Ada kasus pengembalian barang dari rumah sakit di salah satu daerah di Jawa Timur ke BNPB pada tanggal 3 September 2020. Jenis barang yang dikembalikan adalah reagen PCR sebanyak 1.850 tes. Alasan pihak rumah sakit mengembalikan reagen PCR merek Liferiver karena kondisinya yang mendekati masa kedaluwarsa, yaitu tanggal 19 Oktober 2020," jelasnya.

Baca juga : MK: PDIP Tak Cukup Bukti Jika Minta Suara PSI jadi Nol di Papua Tengah

ICW Sebut Ada Potensi Kerugian Negara Rp 169 M dari Pengadaan Reagen COVID-19ICW Sebut Ada Potensi Kerugian Negara Rp 169 M dari Pengadaan Reagen COVID-19 (Foto: Jumpa Pers ICW)
Dewi juga menemukan kasus pengembalian barang dari rumah sakit ke BNPB di Jakarta. Dia menjelaskan setidaknya ada 10 ribu alat tes yang dikembalikan.

"Misal, pada tanggal 8 September 2020 terdapat satu rumah sakit di DKI Jakarta yang mengirimkan reagen merek Wizprep ke BNPB sebanyak 10 ribu tes. Pengembalian dilakukan karena rumah sakit tidak dapat menggunakan barang yang pernah dikirimkan pada bulan Agustus 2020 lalu," ucapnya.

Dewi menyoroti soal pengembalian barang tersebut. Dia menduga ada kesalahan dalam proses perencanaan dari BNPB saat membeli reagen COVID-19.

"Banyaknya kasus pengembalian barang oleh laboratorium menunjukkan bahwa adanya kesalahan dalam proses perencanaan yang dilakukan oleh BNPB dalam membeli reagen untuk penanganan COVID-19," ungkap Dewi.

"Pembelian komponen uji spesimen PCR dan RNA diduga tidak memiliki dasar dan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Salah satu hal yang dapat diidentifikasi adalah jenis mesin yang digunakan oleh setiap perusahaan setiap laboratorium. Namun sayangnya informasi tersebut tidak ada di dalam dokumen pengadaan," imbuhnya.

ICW menyarankan agar KPK menindaklanjuti adanya dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan dalam penanganan COVID-19. Dewi turut meminta penyampaian hasil audit kepada publik.

"KPK harus menindaklanjuti dugaan korupsi pada pengadaan alat kesehatan untuk penanganan COVID-19. BPKP dan BPK harus segera menyampaikan hasil audit mengenai pengadaan alat kesehatan untuk penanganan COVID-19 kepada publik," ujarnya.

Kepala BNPB yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19, Doni Monardo, sebelumnya sudah angkat bicara soal pengembalian reagen ini. Penjelasannya dapat disimak di halaman berikutnya.

Terkait hal itu, Doni Monardo menegaskan pengadaan sejumlah alat kesehatan seperti reagen PCR selama ini diawasi beberapa lembaga seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), kejaksaan, hingga bantuan kepolisian. Hal tersebut berlaku sejak Gugus Tugas COVID-19 terbentuk.

Adapun masalah pengembalian reagen yang sempat terjadi bermula dari beberapa laboratorium yang tidak memahami penggunaan kit RNA reagen. Doni menyebut hal ini tercatat dalam laporan BPKP per Agustus lalu.

"Berhubungan dengan sejumlah reagen PCR yang dikembalikan dari beberapa lab, memang betul ada ratusan ribu reagen PCR tetapi bukan reagen PCR-nya, tapi RNA-nya yang dikembalikan oleh sejumlah lab pada bulan Agustus sesuai dengan laporan BPKB," beber Doni dalam rapat kerja bersama DPR Komisi IX Senin (15/3/2021).

Maka sejumlah lab yang tidak bisa menggunakan RNA dari reagen pengadaan BNPB akhirnya mengembalikan, dan kemudian disebar ulang ke sejumlah lab yang membutuhkan.

"Apa yang kami bahas adalah sejumlah lab tidak bisa menggunakan RNA kit yang dikirim oleh Satgas kemudian meminta informasi bagaimana dengan lab yang lain. Ternyata sebagian lab ada yang bisa menggunakan RNA yang kami kirimkan," jelasnya.

"Lantas untuk lab yang tidak bisa menggunakan itu ditarik ke Jakarta sehingga kemudian dilakukan redistribusi kepada lab-lab yang membutuhkannya," lanjut Doni.

Sosialisasi terkait pengelolaan reagen untuk sejumlah lab lantas dilakukan bersama dengan Balitbangkes. Menurut Doni, kebanyakan petugas laboratorium kala itu masih belum mengerti betul bagaimana menggunakannya.

"Alhamdulillah hari ini reagen-reagen itu sudah habis terdistribusi. Pemberitaan terjadi kerugian negara itu tidak benar," klaim Doni.

Diwawancara terpisah, Doni mengaku bersyukur atas adanya temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait pengadaan sejumlah alat kesehatan seperti reagen PCR. Dia yang meminta BPKP melakukan pengawasan. Menurutnya, lebih baik jika temuan BPKP bocor sekarang dibanding jika ia harus dipanggil KPK.

"Saya yang minta BPKP. Bukan maunya BPKP. Jadi saya yang minta Pak. Jadi kalau BPKP merasa dia terlanjur kok bocor misalnya dokumen itu, saya bilang, anda tidak salah, bocorkan saja kalau memang ada kejanggalan. Lebih baik bocor sekarang daripada nanti setelah sekian tahun saya dipanggil KPK saya bilang," kata Doni dalam rapat bersama Komisi VIII DPR, Jakarta, Selasa (16/3).